Ummu Salamah adalah istri Rasulullah yang dipersunting pada tahun ke-4 Hijriyah (626 M). Meski ketika itu usia Ummu Salamah sudah tidak muda lagi, tapi ia merupakan perempuan yang sangat cantik. Bahkan, Siti A’isyah sangat cemburu ketika mendengar kabar tentang kecantikan Ummu Salamah. Sewaktu Siti A’isyah melihat untuk pertama kali, ia menahan nafas: “Ia lebih cantik dari apa yang digambarkan orang!”.
Pengarang kitab Al-Isaba, sebagaimana dikutip oleh Fatima Mernissi dalam bukunya Women and Islam, melukiskan Ummu Salamah sebagai “Perempuan yang memiliki kecantikan luar biasa, suara sangat bagus, kekuatan untuk berpikir cepat dan kemampuan untuk memberikan pendapat yang tepat”.
Ummu Salamah berasal dari suku Quraisy, seperti juga Rasulullah. Ketika Rasulullah melamarnya, Ummu Salamah telah memiliki empat anak dari perkawinannya yang pertama. Malahan, dikisahkan bahwa Ummu Salamah sempat menolak lamaran Rasulullah dan berkata, “Saya telah memiliki anak dan saya sangat pencemburu”.
Mendengar kata-kata itu, Rasulullah tidak pupus. Justru beliau membujuk Ummu Salamah dan mengatakan kepadanya akan meminta kepada Allah agar menghilangkan sifat pencemburunya itu. Soal umur pun Rasulullah tak masalah, beliau mengatakan bahwa aku memiliki istri yang lebih tua dari Ummu Salamah, yakni Siti Khadijah.
Kabarnya, Ummu Salamahlah yang memberikan anak laki-laki dalam perkawinannya dengan Rasulullah. Cerita ini saya kurang begitu mengetahuinya, tapi yang jelas Ummu Salamah masih menyusui bayi terakhirnya, Zainab, ketika menikah dan berumah tangga dengan Rasulullah.
Dalam konteks sejarah, Ummu Salamah adalah salah satu perempuan bangsawan Quraisy. Kecantikan fisik dan kepandaiannya, menjaminnya memiliki kekuasaan atas para pengikutnya, serta hak istimewa penasihat dalam masalah-masalah kemasyarakatan. Meski begitu, Ummu Salamah bukanlah satu-satunya yang seperti itu. Istri Rasulullah yang pertama, Siti Khadijah, juga termasuk tipe perempuan seperti Ummu Salamah. Yakni seorang perempuan yang penuh inisiatif, baik di kehidupan privat maupun publik.
Terlepas dari itu semua, Ummu Salamah merupakan seorang perempuan yang berbakat dan cukup kritis dalam memberikan penilaian, khususnya terkait ajaran-ajaran Islam. Rasulullah pun tak begitu kaget dengan kepiawaian Ummu Salamah yang sering mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat politik-emansipatif.
Misalnya, Ummu Salamah pernah bertanya kepada Rasul, “Mengapa hanya pria saja yang disebutkan dalam Alquran, sementara kami tidak? Setelah mengajukan pertanyaan ini, Ummu Salamah kemudian menunggu turunnya wahyu yang akan menjawab tentang hal itu.
Dikisahkan, ketika Ummu Salamah tengah menyisir rambutnya dan was-was pertanyaannya tak dijawab, ia mendengar Rasulullah ceramah di masjid dan membacakan ayat terakhir yang diturunkan. Hal ini terkait dengan jawaban dari pertanyaannya sebagai berikut:
“Wahai Manusia! Allah telah berfirman dalam Alquran: “Sesungguhnya laki-laki Muslim dan perempuan Muslimah, laki-laki yang Mu’min dan perempuan yang Mu’minat…. Dan Rasul terus melanjutkan ayatnya hingga kalimat terakhir: “…maka Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS. Surat Al Ahzab :35).
Ayat yang disampaikan Rasulullah di atas merupakan jawaban Allah kepada Ummu Salamah yang sangat jelas dan tegas. Di ayat itu, Allah menyebut dua jenis kelamin dan keduanya memiliki kedudukan yang sama di hadapan Allah. Yakni seorang yang beriman dalam komunitas masyarakat Islam.
Ini menandakan bahwa kedua jenis kelamin baik perempuan dan laki-laki, merupakan bagian penting dari kerajaan Allah dan bukan lantaran jenis kelamin yang menentukan amal perbuatan seseorang.
Pertanyaannya adalah, apakah pertanyaan Ummu Salamah yang bersifat emansipatif dan penuh perjuangan dalam mengangkat martabat kaum perempuan di atas, merupakan pertanyaan inisiatifnya sendiri atau memang pertanyaan itu merupakan kegelisahan semua perempuan pada masa Rasul? Apakah pertanyaan itu mencerminkan diri Ummu Salamah sendiri atau juga pandangan umum perempuan Madinah?
Hemat saya, pertanyaan Ummu Salamah itu sangat mewakili gerakan protes kaum perempuan pada masa Rasul. Hal ini bisa dimungkinkan karena dalam pertanyaan itu ada semacam hasil agitasi politik. Artinya, di belakang itu ada perkumpulan perempuan Muslimah yang ingin mempertegas kedudukan mereka dalam Islam. Mereka bertanya, apakah agama ini hanya ramah pada laki-laki saja?
Bahkan di dalam kitab Tafsir at-Thabari disebutkan bahwa pertanyaan yang dimunculkan oleh Ummu Salamah merupakan inisiatif yang muncul dari sekelompok perempuan. “Sejumlah perempuan mendatangi istri-istri Rasulullah dan berkata: “Allah telah menyebut tentang Anda (istri-istri Rasulullah) di dalam Alquran, tetapi dia tidak pernah menyebut sesuatupun tentang kami. Apakah tidak ada sesuatu tentang kami yang layak disebutkan?”
Ternyata, kegelisahan para perempuan ini tidaklah berujung pada isapan jempol semata. Kegelisahan mereka sebagaimana juga dialami oleh Ummu Salamah, benar-benar dijawab oleh Allah melalui sebuah ayat. Inti ayat tersebut hendak menghancurkan praktik-praktik kotor pra-Islam yang mendukung termarjinalnya kaum perempuan dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan.
Selama berangsur-angsur, perjuangan emansipasi perempuan juga mengalami perkembangan yang cukup pesat. Hal ini ditandai oleh turunnya sebuah surat yang menggunakan nama perempuan, surat ke-4, an-Nisa’, yang berisi tentang hukum baru mengenai warisan dan mencabut hak milik istimewa bagi kaum pria.