Judul : Yang Asing Di Kampung Sendiri
Penulis : Diyah Ayu Fitriyani, dkk.
Editor : Afthonul Afif
Penerbit : Parist
Tahun : 2018
Tebal : xxxiv+227 halaman
ISBN : 978-602-0864-17-4
“Pada sebuah sore di pekan terakhir Mei 2017, sekelompok anak muda penggiat literasi di kota ini mengajak saya bertemu di sebuah kedai kopi kecil yang berlokasi persis di depan kampus Universitas Muria Kudus”
Pengakuan tersebut diungkapkan Afthonul Afif di awal buku ini dalam “kesaksian editor”, bukan “kata pengantar”. Penggunaan “kesaksian” mengesankan bagaimana Afif menyaksikan sendiri proses penulisan buku ini. Penerjemah dan editor tersebut berkisah panjang lebar mengenai semangat dan perjuangan anak-anak muda tersebut dalam menulis dan menarasikan kota kelahirannya sampai lahir buku Yang Asing Di Kampung Sendiri.
Memilih jenis liputan naratif seperti prosa jurnalisme memunculkan kebanggaan, harapan, sekaligus kekhawatiran di benak Afif. Bacaan-bacaan liputan mendalam yang baginya bermutu, seperti liputan-liputan Andreas Harsono hingga karya penulis Inggris Richard Lloyd Parry, sempat membuanya cemas ketika membayangkan anak-anak muda yang ingin menulis liputan naratif tentang Kudus tersebut. Namun, ia sadar kecemasannya bukan hal yang bijak.
“Mestinya, saya fokus saja pada semangat mereka ketimbang mengeluhkan keterbatasan-keterbatasan yang sebenarnya juga terjadi di mana saja, dan dirasakan siapa saja,” tulis Afif. Keinginan mereka untuk menulis tentang kota kelahiran bagaimana pun patut didukung, terlebih di tengah kultur literasi masyarakat yang masih sangat lemah.
Hari demi hari berlalu, bulan-bulan berganti, dan setelah melewati berbagai proses penggarapan naskah, akhirnya pada bulan-bulan akhir 2018 terkumpul 12 judul tulisan yang siap diterbitkan dalam sebuah buku. Kesaksian editor berjudul Kudus yang Berusaha Menarasikan Dirinya yang dibuat lebih dari 30 halaman di awal buku ini bisa jadi bakal bikin pembaca langsung tersentuh sebelum mambaca isi buku. Tapi pembacaan mesti berlanjut.
Sembilan orang jurnalis dan penulis muda dari kota Kudus menarasikan kotanya lewat pengisahan tradisi budaya, sejarah, tradisi keagamaan, alam, hingga perkembangan etos masyarakat.
Ada berbagai kisah yang mungkin selama ini luput dari perhatian ketika bicara tentang Kudus. Tulisan berjudul Yang Asing Di Kampung Sendiri, yang menjadi judul buku, menarasikan kisah desa Loram, sebuah desa yang oleh pemerintah daerah disebut sebagai desa tertua di Kudus.
Tulisan Noor Syafaatul Udhma tersebut mengungkap berbagai tradisi di desa Loram, seperti tradisi nganten mubeng, sego kepel, Ampyang Maulid, hingga penelusuran berbagai situs kuno seperti Gapura Padureksan, makam kuno, sumur gentong, dan perahu kuno.
Upaya menghadirkan sejarah juga terlihat dalam tulisan Islakhul Muttaqin berjudul Hikayat Sebuah Desa di Dalam Desa, yang mengisahkan sejarah Desa Gabus, yang dulunya merupakan desa tersendiri sebelum pada tahun 1941 digabungkan dengan Desa Medini oleh pemerintah kolonial. Dokumen penggabungan masih ada pada tahun 1980, sebelum hilang diterjang banjir pada 1993 (hlm 47).
Penyajian narasi sejarah dianggap sebagai upaya mengenal tanah kelahiran, juga pemantik kesadaran merawatnya. Hal serupa terbaca dari tulisan berjudul Jenang Kudus Tak Sekadar Dibuat dan Dijual, Parijoto antara Mitos dan Fakta, Selayang Pandang Situs Patiayam, dan Malam 1 Suro di Negeri Pewayangan.
Pengisahan tradisi, pembuatan makanan khas, pengisahan buah parijoto dan khasiatnya, jejak sejarah bernilai pengetahuan penting dari situs purba, hingga pencatatan ritus budaya di desa tertinggi di Kudus yang berada di lereng Muria, menjadi upaya-upaya mengidentifikasi dan menarasikan Kudus.
Menyebut Kota Kudus barangkali pikiran langsung menuju pada istilah “Kota Kretek”, sebab dianggap menjadi tempat kemunculan kretek. Dalam tulisan Melacak Jejak Penemu Kretek, Zakki Amali menulis penelusuran sejarawan Kudus, Edy Supratno pada sosok Djamhari, tokoh yang diyakini berjasa besar di balik lahirnya industri kretek nasional. Penelusuran begitu terjal dan samar, sebelum akhirnya menemui titik cerah. Penelitian Edy menghasilkan temuan bahwa Djamhari dimakamkan di Tasikmalaya Jawa Barat.
Sekitar tahun 1918, terjadi kerusuhan di Kudus yang membuat Djamhari pindah ke Cirebon, sebelum akhirnya ke Tasikmalaya sampai akhir hidupnya. “Dan ketika kabut tebal sejarah tersingkap, kisah kegetiran yang justru terentang dalam perjalanan hidupnya,” tulis Zakki. Ia menilai, konsekuensi temuan ini tak sekadar menghapus kekeliruan sejarah, namun juga bisa meruntuhkan kepercayaan masyarakat Kudus yang selama ini terlanjur meyakini bahwa makam Djamhari berada di kota mereka.
\Menulis tentang Kudus tak cukup hanya dengan menelusuri apa yang nampak dari tradisi, budaya, tempat, atau benda. Sebagai kota di mana terdapat dua makam wali, yakni Sunan Kudus dan Sunan Muria, masyarakat Kudus berkembang dalam budaya yang lekat dengan keislaman dan kepesantrenan.
Imam Khanafi menulis tentang ajaran Sunan Kudus, yakni Gusjigang, singkatan dari “gus” (berakhlak bagus), “ji” (pintar ngaji, mencari ilmu), dan “gang”(pandai berdagang), yang dianggap menjadi karakter ideal masyarakat Kudus.
Sunan Kudus menuntun masyarakat Kudus agar menjadi orang yang berkepribadian bagus, tekun mengaji, dan pandai berdagang. Imam melihat semangat jigang masih terasa cukup kental di masyarakat Kudus Kulon hingga hari ini, namun kurang di Kudus Wetan. Hal ini tak lepas dari kekentalan Kudus Kulon akan corak keislaman yang berpusat pada pesantren-pesantren di sekitar Menara Kudus, sedangkan Kudus Wetan didominasi abangan dan pelaku dagang yang sebagian adalah pendatang (hlm 167).
Kudus, sebagai salah satu pusat penyebaran Islam makin tergambar dalam berbagai tradisi keagamaan yang masih kental di masyarakatnya. Dalam tulisan berjudul Hikayat Puasa 1000 Hari, Zaki Amali mengisahkan penelusurannya di daerah pesantren di Jekulo Kudus dan memotret lakon puasa Dalail Khairat yang masih mengakar di kalangan kiai dan pesantren di sana. Berbekal liputan, wawancara, dan tinjauan dari berbagai literatur, ia menelusuri awal mula tradisi tersebut dari ulama-ulama di Nusantara hingga ulama di Timur Tengah.
Lakon puasa selama 3 tahun, 3 bulan, 3 minggu, dan 3 hari tersebut jelas berat dan tak semua orang sanggup menjalankan. Zaki menulis kisah para pengamal puasa Dalail, baik yang berhasil melaluinya dan merasakan keberkahannya, yang nyaris gagal karena godaan syahwat, hingga yang benar-benar batal lantaran dilanda demam dahsyat.
Menelusurinya, Zaki menilai puasa Dalail Khairat telah melambungkan nama Kudus sebagai salah satu pusat persebaran Islam di pantai utara Jawa. “Sebutan Kudus Kota Santri nampaknya bukan isapan jempol belaka,” tulis Zaki.
Pembaca boleh jadi kurang puas membaca buku ini jika sejak awal hanya terpikat keterangan di sampul buku berbunyi “Kudus dalam Prosa Jurnalisme”. Suguhan liputan naratif yang eksploratif, mendalam, memiliki detail kuat serta bisa benar-benar memberi impact pada emosi pembaca memang belum bisa dirasakan merata di setiap tulisan. Tapi upaya para penulis menarasikan kota mereka dalam sebuah buku tetaplah hal positif yang mesti didukung, terlebih jika kita peduli pada literasi dan sejarah kota.
Buku ini bisa menjadi bagian dari proses penulis menciptakan karya serupa yang lebih baik selanjutnya Buku ini juga bisa menjadi pemantik bagi tumbuhnya ikhtiar-ikhtiar serupa di kota-kota lain. Kudus telah ditulis dan Kudus telah dibaca. Tapi Kudus masih bisa terus ditulis dan Kudus masih bisa terus dibaca. Begitu juga dengan kota-kota lainnya.