“Ingatlah kepada-Ku, maka Aku akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah, Ayat 152)
Demikianlah ayat yang menganjurkan manusia untuk selalu ingat kepada Allah. Ayat ini menjelaskan bahwa dalam setiap tarikan nafas dan kesadaran, seyogianya manusia selalu menempatkan Allah sebagai tempat bersandar dan pelabuhan terakhir, serta selalu mengingat-Nya di mana saja dan kapan saja.
Dalam konteks “ingat kepada Allah” ini, umat Islam tidak pernah lepas dari tiga hal. Pertama, Doa, yakni sebuah permintaan atau permohonan kepada Allah untuk mendapat kebaikan di dunia dan di akhirat.
Kedua, Wirid, yaitu lafadz-lafadz tertentu yang dibaca atau diamalkan rutin setiap hari untuk mendapat aliran berkah dari Allah. Ketiga, Zikir, yakni segala gerak-gerik atau aktivitas hati yang dapat mengantarkan manusia dekat kepada Allah.
Zikir merupakan bentuk komitmen dan kontinuitas untuk meninggalkan kondisi lupa dari Allah kemudian memasuki wilayah musyahadah (bersaksi) atas keberadaan Allah, Tuhan semesta alam yang berimplikasi pada hilangnya rasa takut atau khawatir sebab rasa cinta yang mendalam kepada-Nya.
Seseorang yang selalu zikir (ingat Allah) hidupnya akan tenang dan tenteram. Allah berfirman:
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’ad, Ayat 28)
Dalam praktik sehari-hari, zikir dibagi menjadi dua macam. Pertama, dzikr bil-lisan, yaitu mengucapkan sejumlah lafal yang dapat menggerakkan hati untuk mengingat Allah. Zikir dengan pola ini dapat dilakukan pada saat-saat tertentu dan tempat tertentu pula. Misalnya, berzikir di masjid setelah salat fardu.
Kedua, dzikr bil-qalb, yaitu keterjagaan hati untuk selalu mengingat Allah. Zikir ini dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja tidak ada batasan ruang dan waktu.
Seseorang yang sudah dekat dengan Allah biasanya lebih mengistimewakan cara ini karena implikasinya adalah perilaku diri sehari-hari. Meskipun demikian yang sempurna tentu mereka yang mampu berzikir dengan lisan sekaligus hatinya.
Walhasil, secara hakikat orientasi zikir adalah penataan hati demi mewujudkan perilaku diri. Hati memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, karena baik buruknya aktivitas manusia sangat bergantung pada kondisi hati mereka.
Dengan memperbanyak zikir, hati akan lebih tenang, tenteram, dan positif. Sebab hanya dengan zikirlah hati seseorang dapat kembali suci dan bersih dari kotoran maksiat sehari-hari. Kemudian kesucian hati ini akan mengantarkan manusia pada kesempurnaan hidup di dunia maupun di akhirat. Wallahu A’lam bis shawab.
(Disarikan dari buku Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, Dr. Said Aqil Siroj, Bab: Praktik-Praktik Tasawuf Dalam Pandangan Kontemporer, Halaman 85-98, Penerbit Mizan, Tahun 2006)