Umat Islam di Indonesia, khususnya kalangan santri dan lingkarannya sejak empat tahun yang lalu ketambahan hari besar keagamaan. Perayaan yang sebelumnya hanya hari Raya Idul Fitri setiap 1 Syawal, serta hari Raya Idul Adha setiap 10 Dzulhijjah, kini memiliki pendatang baru yaitu Hari Santri, hari raya para santri yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober. Ya, Hari Santri meskipun baru berumur balita, telah menarik perhatian hingga perayaannya begitu meriah.
Di sini kita tidak akan mendebatkan layak atau tidaknya santri mendapatkan penghargaan khusus sehingga harus diperingati secara nasional setiap tahunnya. Namun lebih pada fenomena sosial-budaya baru bahwa momentum Hari Santri menjadi ajang berpesta para santri di seluruh pelosok negeri.
Tentu kata ‘pesta’ di sini tidak saya maknai dengan hal-hal yang bersifat hura-hura sebagaimana lazimnya. Tapi di bulan Oktober ini kita bisa melihat bagaimana para santri memaknai kata ‘pesta’ sebagai sebuah pasangan abadi dari perayaan dengan caranya.
Pesantren sebagai rumah para santri, di dalamnya memiliki kekayaan dan kematangan intelektual yang dipadu pada kesalehan spiritual serta nilai-nilai etika dan moral. Sebagai sebuah lembaga intelektual, santri dengan pesantrennya merayakan peringatan ini dengan kegiatan-kegiatan ilmiah melalui bahtsul masail, diskusi, ataupun seminar-seminar. Sedangkan sebagai lembaga kebudayaan mereka merayakannya dengan festival-festival yang mempertunjukkan kesenian dan kesusastraan pesantren baik salawat maupun syiir-syiir yang diambil dari kitab kuning, serta berbagai jenis kesenian yang lain.
Sebagai seorang santri, saya melihat optimisme tinggi yang dibangun dengan tradisi baik melalui peringatan Hari Santri ini.
Sudah saatnya para santri lebih percaya diri dalam menunjukkan kemampuan dan pengetahuannya dalam rangka ikut berkontribusi dalam pembangunan ilmu pengetahuan.
Optimisme itu juga diperkuat dengan catatan sejarah bahwa sejak dahulu ulama-ulama kita dan para sarjana Islam sebelum masa kemerdekaan, mereka merupakan generasi kosmopolit terdidik pertama di Nusantara ini.
Para ulama tadi banyak yang menimba ilmu di kota Mekkah dan daerah lain di Timur-Tengah. Mereka kemudian membawa dan mewarisi sanad keilmuan dari ulama besar untuk diajarkan di pesantren-pesantren seluruh Nusantara.
Untuk itu, marilah kita sebagai santri yang telah mendapatkan berbagai kemudahan dalam belajar, dengan tekanan cenderung lebih ringan serta pengakuan dan dukungan fasilitas dari negara, kita tunjukkan bahwa santri adalah salah satu golongan terdidik matang yang mengembangkan corak keilmuan Islam moderat yang selaras dengan nilai-nilai kebudayaan.
Semoga perayaan Hari Santri ini tidak hanya menjadi ajang seremonial, melainkan juga sebagai wahana untuk mengenalkan ajaran baik dari pesantren serta lebih memasyarakatkan moderasi beragama yang menjadi ciri khasnya guna memperkuat toleransi yang akhir-akhir ini tercederai.