Judul Buku      : Ulama Politik dan Narasi Kebangsaan: Fragmentasi Otoritas Kegamaan di    Kota-kota Indonesia

Editor              : Ibnu Burdah, Najib Kailani dan Munirul Ikhwan

Terbit              : Februari 2019

Tebal               : 468 +XXXIV

Penerbit          : PusPIDep Press Yogyakarta

 

Ulama merupakan merupakan aktor penting yang mewarnai dinamika keagamaan, sosial, politik, kebangsaan Indonesia dari masa ke masa. Jejak partisipasi mereka dalam menggelindingkan wacana kebangsaan Indonesia dapat dilihat jauh sebelum Indonesia merdeka.

Pada Munas Alim Ulama tahun 1935, di Banjarmasin, misalnya, ulama-ulama yang tergabung dalam Nahdhatul Ulama secara tegas telah mengeluarkan fatwa bahwa kelak Indonesia berdiri sebagai daarussalam, negara yang aman dan damai. Demikian juga ketika menjelang kemerdekaan, ulama telah menjadi soko guru dan peletak dasar ideologi kebangsaan Indonesia.

Peran KH. Wahid Hasyim (NU), Ki Hadi Bagus Kusumo (Muhammadiyah), dan Kasman Singodimejo (Masyumi) untuk menyebutkan beberapa tokoh ulama, sangatlah penting dalam mendorong terjadinya negosiasi yang akhirnya mengantar Pancasila dikukuhkan sebagai dasar negara Indonesia.

Pasca reformasi, Indonesia dihadapkan pada munculnya radikalisme Islam dan konservatisme. Relasi agama-negara yang telah mewujud dalam negara Pancasila mulai ramai lagi diperbincangkan dan diperdebatkan legetimasinya di ruang publik.

Tuntutan kembali kepada Piagam Jakarta menguat, seiring dengan meningkatkan intensitas pergerakan Islam militan dan mereka menggelar aksi-aksi militan di ruang-ruang publik. Politik desentralisasi menjadikan kontestasi memperebutkan simbol-simbol keislaman dan wacana dominan keislaman semakin ketat dan terjadi baik di lokal maupun di pusat kekuasaan.

Dalam satu dekade pascareformasi negara tampak gamang merespon munculnya wacana-wacana alternatif yang mendiskusikan hubungan agama dan negara dengan mengusulkan syari’ah sebagai dasar hukum. Dalam kondisi seperti ini, aktor-aktor keagamaan baru, tampak lebih leluasa untuk tampil dan bergerak di ruang-ruang publik, mempopulerkan wacana Islam tandingan dan alternatif dalam beragam corak; Jihadi, Tahriri, Salafi dan Tarbawi.

Buku ini merupakan hasil penelitian survei dan lapangan di 15 kota yang bertujuan mengukur keberterimaan dan penolakan ulama terhadap negara-bangsa. Dalam penelitian ini ulama dikelompokkan kedalam tujuh karakteristik berdasarkan keberterimaan mereka dan penolakan mereka terhadap konsep negara-bangsa. Tubuh karakter tersebut antara lain; progresif, inklusif, moderat, konservatif, eksklusif, radikal dan ekstrem.

Buku ini juga mendasarkan diri pada survei berbasis kelompok (group based survey) dengan responden dari kelompok ulama atau tokoh Islam. Survei ini melibatkan 450 responden yang tersebar di 15 kota,  Banda Aceh, Manado, Medan, Makassar, Padang, Banjarmasin, Pontianak, Palangkaraya, Ambon, Denpasar, Jakarta, Bandung, Surabaya dan Surakarta.

Buku ini memberikan kesimpulan bahwa ulama-ulama yang ada di kota metropolitan Islam tampak konservatif dan nuansa islamisme tampak kental memengaruhi artikulasi dan ekspresi mereka.

Berbeda dengan kota metropolitan, ulama di kota-kota dengan muslim sebagai minoritas menunjukkan penerimaan yang relatif kuat terhadap negara dan bangsa. Keragaman konteks dan argumen ulama-ulama memberikan pemahaman kepada kita betapa kaya dan kompleks wacana kebangsaan ulama-ulama kita.

Wacana lokal dan issu nasional saling kait berkelindan mewarnai artikulasi, interpretasi dan persepsi ulama kita terhadap negara-bangsa. Salah satu kekuatan yang dimiliki buku ini adalah kekayaan data dan juga metodologi yang digunakan dalam penelitian.

Metode sampling dalam buku ini menggunakan proportinate stratified random sampling dengan mempertimbangkan persebaran sampling responden secara memadai dari setiap kelompok ulama dan karakter kota yang diteliti.

Buku ini memotret dengan apik perkembangan keislaman dan otoritas keulamaan terhadap negara bangsa. Buku ini very recommended bagi mahasiswa atau peneliti yang hendak meneliti tentang issu aktual tentang ulama, politik, gerakan sosial ormas, radikalisme, konservatisme dan Islamisme.

Ketebalan buku yang mencapai 400 lebih halaman ini mencerminkan bagaimana keseriusan para peneliti dalam melakukan penelitian mereka. Tidak hanya itu, peneliti-peneliti juga jebolan universitas atau perguruan tinggi ternama, Noor Haidi Hasan, Yunus Masrukhin, Munirul Ikhwan dan lain sebagainya. Selamat membaca buku apik dan mencerdaskan ini.

Wallahu A’lam Bi Ashawaab.

Leave a Response