Meskipun era Raden Ajeng Kartini sudah lewat terlampau jauh, namun masih saja ada sebagian besar orang Indonesia yang masih memiliki pandangan bahwa perempuan itu tak perlu mengenyam pendidikan yang tinggi-tinggi. Cukup MA atau SMA, bahkan SMP/MTs saja sudah lebih dari cukup. Pendidikan tinggi itu hanya untuk laki-laki. Budaya patriarki ‘akut’ ini sudah mengakar kuat di tengah masyarakat selama berabad-abad.
Perempuan seringkali ‘terpaksa’ mundur atau bahkan gagal menempuh pendidikan tinggi disebabkan oleh banyak faktor; mulai dari ‘intepretasi agama’ yang dangkal, stereotip peran gender (perempuan hanya bertanggung jawab dalam urusan domestik) yang masih berkembang kuat di masyarakat, katrok-isme, hingga mitos-mitos yang membuat para perempuan tidak mempunyai tekad kuat dan kepercayaan tinggi untuk mengenyam pendidikan tinggi. Inilah di antara belenggu yang perlu dibongkar secara serius.
Akses pendidikan bagi perempuan di negara ini sejatinya sudah tersedia di mana-mana, terbuka lebar. Bahkan jalur beasiswa juga jumlahnya sangat banyak. Namun, sekali lagi, karena berbagai faktor sebagaimana disebutkan di atas, menjadikan perempuan harus berusaha ekstra keras untuk bisa memenuhi kebutuhan intelektualnya.
Bahkan jika dalam suatu keluarga yang memiliki keterbatasan dalam bidang ekonomi memiliki dua saudara misalnya; satu laki-laki dan satu lagi perempuan. Maka saudara perempuan harus melapangkan dada untuk mengurung keinginannya melanjutkan ke pendidikan tinggi karena harus mementingkan pendidikan saudara laki-lakinya.
Alih-alih bisa studi lanjut, anak perempuan tersebut, oleh orang tua mereka justru akan didorong—jika tidak ingin dikatakan dipaksa—untuk menikah saja. Perlakuan perempuan semacam ini lazim terjadi di hampir seluruh desa-desa di tanah air. Orang tua cenderung mementingkan kepentingan jangka pendek, yakni menikahkan anaknya agar beban kehidupan anaknya tak sepenuhnya berada di bawah tanggung jawab orang tua.
Survei Pusat Data dan Statistik Pendidikan (PDSP) Kemendikbud tahun 2013 menunjukkan, persentase perempuan pengajar perguruan tinggi sebesar 40,58%, sementara pengajar perguruan tinggi laki-laki sebesar 59,42%. Kemendikbud memandang, adanya persepsi bahwa perempuan hanya bertanggung jawab dalam urusan domestik membuat mereka kurang termotivasi untuk menempuh jenjang pendidikan ketingkat perguruan tinggi.
Harus diakui juga bahwa saat ini sudah mulai terbangun sebuah kesadaran bahwa pendidikan itu merupakan sebuah kebutuhan yang fundamental bagi semua orang, termasuk perempuan. Kita bisa melihat, betapa di berbagai perguruan tinggi dan tempat-tempat strategis lini kehidupan (jabatan publik) sudah mulai dijejaki oleh perempuan.
Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan sudah menjadi perhatian besar bagi para perempuan Indonesia di tengah masih maraknya persepsi bahwa perempuan tak perlu mengenyam pendidikan yang tinggi karena ranahnya sebatas di sumur, kasur dan dapur.
Istri dan buku bagi kebanyakan ulama sering menjadi madu. Banyak istri yang cemburu kepada buku, karena kepada buku suaminya lebih fokus untuk mendapatkan ilmu.
Pendidikan bukan hanya milik lelaki saja—sebagaimana persepsi yang berkembang selama ini. Perempuan juga perlu mendapatkan pendidikan tinggi. Terlebih sebagai seorang yang memiliki tanggung jawab besar yang menentukan, perempuan harus mempunyai bekal yang cukup dan mumpuni.
Namun, sekali lagi, masih banyak perempuan dan orang tua yang menganggap bahwa pendidikan tinggi itu hanya untuk laki-laki. Selain itu, perempuan yang sarjana namun hanya mengasuh anak dianggap sebagai suatu persoalan.
Oleh sebab itu, tulisan ini akan menguak tentang perlunya pendidikan tinggi bagi perempuan. Setidaknya ada empat alasan mengapa Pendidikan tinggi itu penting bagi perempuan.
Pertama, pendidikan adalah kunci perkembangan dan peningkatan kualitas diri. Ungkapan bahwa belajar bisa di mana saja tanpa harus menjadi mahasiswa/mahasiswi memang ada benarnya. Namun, dengan mengenyam pendidikan tinggi, kita akan belajar banyak hal kepada guru atau dosen yang memiliki kapasitas yang memadai. Di sinilah urgensinya mengenyam pendidikan tinggi. Dalam bahasa Immanuel Kant, pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia.
Kembali pada konteks pembahasan. Perempuan yang berpendidikan akan membentuk dirinya sebagai pribadi yang lebih siap dan sigap dalam menghadapi persoalan hidup. Bahkan dengan bekal pendidikan yang memadai, ia akan menjadi sosok yang matang dalam pemikiran, progesif, dan solutif serta inovtatif. Modal ini bisa didapatkan melalui pendidikan tinggi (Anna Farida, Perempuan dan Literasi, 2018).
Dengan demikian, perempuan yang berpendidikan tinggi akan mudah berkembang, mampu membentengi diri dari pengaruh buruk peekembangan zaman dan dapat menjawab tantangan zaman karena memiliki bekal ilmu. Hal ini penting diraih oleh perempuan karena banyak hal; di antaranya sebagai bukti bahwa perempuan itu memiliki posisi sosial yang sama dengan laki-laki.
Lebih dari itu juga sebagai jawaban bahwa perempuan memang bisa diharapkan dan diandalkan sehingga mematahkan stereotip bahwa perempuan hanya bisa di kasur, dapur dan sumur.
Kedua, membentuk pola pikir yang kritis. Berpikir kritis dapat diartikan sebagai upaya seseorang untuk memeriksa kebenaran suatu informasi menggunakan ketersediaan bukti, logika dan kesadaran akan bias (Halpen, 1998; Larsson, 2017). Kompetensi ini sangat diperlukan di era saat ini, di mana kondisi sosial yang semakin kompleks dan kemajuan teknologi informasi mendorong derasnya pertukaran informasi yang belum terverifikasi.
Pola pikir kritis itu bisa muncul seiring dengan aktivitas belajar di ranah yang tinggi. Dengan pola pikir yang kritis, perempuan akan terlihat semakin gagah. Selain itu, bisa menjadi jalan untuk menapaki karir yang lebih menjanjikan. Semua ini bisa terjadi jika perempuan mengenyam pendidikan tinggi.
Al-Walidah dalam Tabayun di Era Generasi Millenial (2017) memberikan informasi kepada kita semua bahwa ketidak-mampuan seseorang untuk mengkritisi suatu peristiwa atau informasi akan berakibat terhadap problematika sosial dan chaos dalam berbagai aspek kehidupan manusia.
Jika dikontekstualisasikan dengan perempuan dan pendidikan, maka dapat berarti bahwa perempuan harus memiliki pola pikir kritis supaya ia bisa menjadi problem solver dalam lingkungannya. Hemat kata, berpikir kritis adalah ruh dari setiap gerakan yang bisa mengubah tataran menjadi lebih baik.
Ketiga, menjadi madrasah pertama bagi anaknya. Menurut Ahmad Tafsir (1994: 155), dalam pandangan Islam, keluarga atau rumah tangga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangan seseorang (anak-red). Abu Ahmadi (1991: 177) menambahkan bahwa orang tua tanpa tanpa ada yang memerintah langsung memikul tugas sebagai pendidik, baik bersifat sebagai pemelihara, pengasuh, pembimbing, pembina maupun guru dan pemimpin bagi anaknya.
Oleh karena itu, dalam terminilogi Islam, ibu dikenal sebagai madrasah pertama bagi anaknya. Pada posisi yang sangat strategis ini, perempuan idealnya memiliki tingkat kecerdasan yang di atas rata-rata. Dan di antara jalannya adalah dengan mengenyam pendidikan setingi-tingginya.
Jika demikian yang terjadi, maka generasi yang dibesarkan oleh perempuan semacam ini akan menjadi generasi berkualitas. Atau paling tidak, generasi ini sudah memiliki landasan kuat untuk bekal perkembangan anak ke depan.
Keempat, tempat bertukar pikiran yang nyaman dan asyik bagi pasangan. Di antara kenikmatan hidup adalah mempunyai pasangan yang nyaman dan asyik diajak ngobrol dan diskusi. Terkait hal ini, ada pernyataan menarik dari Mohammad Nasih, yakni: “Istri dan buku bagi kebanyakan ulama sering menjadi madu. Banyak istri yang cemburu kepada buku, karena kepada buku suaminya lebih fokus untuk mendapatkan ilmu.”
Lebih lanjut, pendiri Sekolah Alam Planet NUFO itu memberikan sebuh solusi kepada para perempuan: “Temukan istri yang lebih dibanding buku. Yang berilmu dan bisa diajak diskusi.”
Sesungguhnya ada ‘jutaan’ alasan mengapa pendidikan tinggi sangat perlu bagi perempuan. Namun, empat alasan sebagaimana diuraikan di atas kiranya sudah sangat cukup membuktikan sekaligus mengajarkan bahwa pendidikan tinggi tidak hanya perlu bagi seorang laki-laki sebagaimana anggapan yang banyak berkembangan di masyarakat. Melainkan perempuan juga perlu.
Harus diakui pula bahwa pendidikan tinggi tidak lantas otomatis menjadikan perempuan dapat berpikir kritis, menjadi madrasah pertama yang baik bagi anak dan tempat bertukar pikiran yang nyaman dan asyik bagi pasangan. Namun, pendidikan yang tinggi adalah jalan yang paling logis untuk meraih semua itu. Wallahu a’lam bi al-shawab.