Secara umum, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan makna tasawuf. Menurut Syekh Yusuf Khattar Muhammad, tasawuf merupakan salah satu cabang ilmu yang agung dan sulit untuk diraih. Ia bagaikan pohon kurma yang diminati oleh banyak kalangan, namun hanya tumbuh di daerah-daerah tertentu.

Oleh karenanya, siapapun yang bisa mempunyai ilmu tasawuf dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, akan menjadi perantara selamat dunia dan akhirat, karena ilmu tasawuf laksana obat bagi jiwa yang sedang sakit; sakit jiwa, disebabkan dengki, iri, sombong dan lainnya. Dengan mempelajari ilmu tasawuf, seseorang akan membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela tersebut.

Imam al-Ghozali dalam kitab Ayyuhal Walad memberikan penjelasan bahwa ilmu tasawuf memiliki dua pilar penting, yaitu istiqamah menjalin hubungan dengan Allah Swt dan harmonis menjalin hubungan dengan makhluk-Nya. Dengan demikian, siapa saja yang bisa istiqamah bersama Allah, berakhlak baik dengan makhluk-Nya, dan bersosial dengan mereka secara santun dan rukun, maka ia adalah orang tasawuf (sufi). (Imam al-Ghozali, Ayyuhal Walad, h. 15)

Adapun menurut Syekh Yusuf Khattar Muhammad, sebagaimana disebutkan dalam kitab Mausu’ah al-Yusufiyah fi Bayani Adillatis Sufiyah, ada 4 pilar penting dalam ilmu tasawuf yaitu:

Maksudnya, sebagai orang Islam yang ingin mencapai puncak muqarrabin (istimewa) di sisi Allah Swt, seseorang harus mempunyai hati yang bersih dari semua sifat tercela, dan mempersiapkan dirinya untuk menghadapi Dzat Yang Mahamulia dan suci dari semua kekurangan. Hal itu tentu harus dimulai dengan cara mengintrospeksi diri sendiri; apakah sudah layak atau tidak, jika tidak, tentu harus lebih meningkatkan kembali.

Tidak hanya itu, ia juga harus menimbang semua amalnya di dunia sebelum Allah menimbangnya di akhirat, serta membersihkan dirinya dari semua sifat-sifat tercela dalam dirinya. Hal itu sebagaimana yang disampaikan oleh sahabat Umar radiyallahu ‘anhu, yaitu:

“Periksalah dirimu sendiri sebelum kalian diperiksa (kelak di akhirat), dan timbanglah dirimu sendiri sebelum (amal) kalian semua ditimbang.” (Syekh Yusuf Khattar Muhammad, Mausu’ah al-Yusufiyah fi Bayani Adillatis Sufiyah, [Damaskus: Dar al-Albab 1999], juz 1, h. 18)

Semua orang Islam yang ingin menjadi istimewa di sisi Allah Swt dengan cara menekuni dan mengamalkan ilmu tasawuf harus dengan tujuan yang tulus karena Allah dalam semua sepak terjangnya, seperti ucapan dan tindakannya. Membersihkan hatinya dengan membiasakan ikhlas karena Allah semata. Sebagaimana dalam Al-Qur’an Allah berfirman:

“Dan bersabarlah engkau (Muhammad) bersama orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya.” (QS Al-Kahf: 28)

Juga disebutkan dalam ayat yang lain, Allah berfirman:

“Dan tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat padanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridaan Tuhannya Yang Mahatinggi.” (QS Al-Lail: 19-20)

Dua ayat di atas memberikan sebuah gambaran, betapa pentingnya ikhlas dengan tujuan Allah semata dalam semua pekerjaan, temasuk di antaranya, yaitu, ketika menempuh jalan mendekatkan diri pada Allah. (Syekh Yusuf, Mausu’ah al-Yusufiyah, 1999: juz 1, h. 18)

Mempunyai sikap zuhud pada dunia dan perhiasannya, dengan melepas semua urusan dunia yang bisa membuat lupa pada Allah, karena dengan zuhud artinya seseorang berusaha melepas hubungan dirinya dengan setan, sehingga ia bisa fokus beribadah pada Tuhannya. Merasa butuh pada Allah maksudnya menyendiri dari urusan dunia, dan melepasnya agar fokus meningkatkan ketakwaan.

Ia juga harus meyakini, bahwa tiada daya dan upaya, tiada nyaman begitupun sengsara, melainkan telah ditentukan oleh Allah Swt. Dan ini merupakan prinsip yang dijadikan pedoman oleh ulama tasawuf. Dalam Al-Qur’an Allah mengisahkan seseorang yang hatinya tidak bisa lupa pada Allah meski dengan adanya dunia. Yaitu:

“Orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah.” (QS An-Nur: 37)

Yang terpenting, sebagaimana yang disampaikan oleh Syekh Yusuf, yaitu bahwa sifat zuhud terhadap dunia merupakan pokok terpenting yang harus dijadikan pedoman oleh para salik dalam menekuni ilmu tasawuf menuju Allah. Artinya, dunia hanya ada dalam genggaman tangan, tidak sampai ada dalam hati.

Jika dunia tidak ada, maka tidak sampai ada rasa sedih ataupun sampai berpikir tentangnya, karena apa yang ada di sisi Allah jauh lebih banyak dan lebih sempurna di banding apa yang ada pada gennggaman tangannya. (Syekh Yusuf, Mausu’ah al-Yusufiyah, 1999: juz 1, h. 19)

Ini merupakan intisari dalam Islam dan akhlak yang selalu dipakai oleh ulama tasawuf, yaitu menjadi pribadi yang lemah lembut kepada semua keluarganya, sahabat, dan semua umat Islam. Dalam Al-Qur’an dengan tegas Allah memerintahkan, yaitu:

“Dan bertuturkatalah yang baik kepada manusia.” (QS Al-Baqarah: 83)

Dalam sebuah hadist, Rasulullah saw bersabda perihal tanda-tanda ahli surga, yaitu:

“(Tanda-tanda) ahli surga, yaitu, setiap orang yang lemah lembut, ramah tamah, dan murah hati. Sedangkan (tanda-tanda) ahli neraka yaitu, setiap orang yang keras kepada keluarga, sahabat, dan semua umat Islam.” (Syekh Yusuf, Mausu’ah al-Yusufiyah, 1999: juz 1, h. 19)

Walhasil, sangat perlu mempelajari ajaran tasawuf dan mengamalkannya sebagai kendaraan sosial, kendaraan berdagang, dan kendaraan dalam menjalani berbagai bidang sisi kehidupan yang bisa membawa manusia pada sebuah jalan spiritual ketuhanan, guna mendapatkan tujuan pengembaraan di dunia, sebagai makhluk yang mendapatkan ridla Allah Swt. Wallahu a’lam bis shawab.

Leave a Response