Ki Ageng Suryomentaraman adalah salah satu tokoh pujangga dan filsuf besar dalam khazanah budaya Jawa. Ia merupakan anak ke-55 dari pasangan Sultan Hamengku Buwono VII dengan istri keduanya, B.R.A. Retnomandoyo.

Sejatinya, sejak kecil Suryomenteraman dilanda krisis eksistensial dan jati diri. Hal ini terekam dalam masa muda sang tokoh, yang bergelimang dengan kekayaan dan sembah-puji kehormatan sebagai pangeran di Keraton Jogja, yang justru malah membuatnya gelisah. Ia dirundung penderitaan dan ketidakpuasan hidup tersebab jarang bertemu orang (seprana-seprene ora tau kepethuk wong).

Untuk mengatasi hal itu, ia pun meninggalkan keraton, mengembara mengunjungi tempat-tempat keramat, bergaul dengan masyarakat desa, pinggiran. Bahkan ia menyamar sebagai penjual batik dan penggali sumur. Oleh karena itu, Suryomentaraman meminta kepada ayahnya, untuk melepas gelar kebangsawanannya dan menolak segala fasilitas yang diberikan oleh keraton.

Dari berbagai perenungan dan pengalaman hidupnya, maka terciptalah risalah Kawaruh Jiwa sebagai buku yang mengajarkan ‘pendidikan’ kejiwaan manusia. Menurut Suryamentaraman sendiri, Kawruh Jiwa adalah pengetahuan yang berusaha mengetahui jiwa dengan segala wataknya, persis seperti ilmu tentang hewan, tanaman, dan yang lain, beserta wataknya.

Saya juga mengamini demikian, bahwa Kawruh Jiwa karya tokoh besar Jawa ini merupakan ilmu yang membahas masalah kejiwaan (psikologi) manusia yang banyak menjelaskan cara hidup dengan mudah dan bahagia tanpa melibatkan hal-hal mistis dan mewah. Dengan penataan psikologis manusia, maka menghasilkan jiwa-jiwa yang bersahabat dengan alam dan seisinya. Sehingga hal itu memicu keseimbangan relasi antara manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam.

Oleh karena itu, maka banyak pula tokoh yang mengatakan bahwa Suryomentaraman adalah seorang filsuf. Alasannya, dalam Kawruh Jiwa banyak dibangun konsep pemikiran yang menilai ulang sebagian istilah-istilah di lingkungan masyarakat Jawa, menyederhanakan serta membersihkan dari konotasi mistik sehingga tersusun pengetahuan yang integral, koheren, dan metodis. Juga tidak menyentuh pengetahuan esoteris lama seperti Tuhan, kehidupan pasca-kematian, dan akhirat.

Atas pemikiran inilah yang membedakan Suryomentaraman dengan pujangga Jawa lain seperti Yasadipura, Ranggawarsita, ataupun Mangkunegara IV. Bahkan ia patut disejajarkan dengan para filsuf seperti Sartre, Camus, Heidger, atau Plato.

Berikut cara-cara mendidik anak yang disarikan dari buku “Psikologi Suryomentaraman” karya Afthonul Afif yang mengulas dengan apik Kawruh Jiwa-nya Ki Ageng Suryomanteraman.

Rasa cinta terhadap sesama akan tumbuh dalam diri anak apabila orang tua mengajarkan dan membiasakannya untuk tidak membeda-bedakan terhadap orang lain. Semisal ketika seorang anak menangis karena mainannya dipinjam orang lain. Untuk meredakan tangisan anak tersebut, kemudian orang tuanya berkata, “Diam sayang, si Anu memang nakal, suka merebut mainanmu”.

Pendidikan seperti ini akan menumbuhkan rasa suka berselisih dan bertengkar dengan orang lain. Seharusnya, orang tuanya berkata seperti ini, “Mengapa mesti menangis sayang? Temanmu hanya meminjam sebentar, nanti juga akan dikembalikan. Kalian bisa bermain bersama. Lebih menyenangkan bukan?”

Orang tua yang sering mengejek atau merendahkan anaknya, maka anak tersebut akan tumbuh dengan rasa yang kurang percaya diri, dan cenderung menyalahkan diri sendiri ketika melakukan kesalahan. Sementara itu, kebiasaan orang tua mengejek orang lain di hadapan anaknya, akan menyuburkan rasa sombong, benci, dan rasa berselisih dalam diri anak.

Seringkali dijumpai, para orang tua menggunakan ancaman agar anak menjadi patuh terhadap mereka. Anak yang terbiasa mendapat ancaman dari orang tua, akan tumbuh menjadi pribadi yang penakut, pembohong, peragu, mudah panik, dan mudah berkeluh kesah. Anak tersebut akan melihat orang tua mereka sebagai sumber ancaman dan sosok yang menakutkan.

Jika pendidikan semacam ini dibiarkan, akan berakibat menyemaikan bibit-bibit kebencian anak terhadap orang tua mereka. Pada akhirnya, hubungan orang tua dengan anak akan merenggang.

Mungkin banyak dari orang tua yang tidak menyadari bahwa membiasakan kebohongan terhadap anak akan menghilangkan rasa kepercayaannya kepada orang tua mereka. Kepercayaan rendah dari anak terhadap orang tua, akan mengikiskan rasa cinta kepada orang tuanya. Hal itu juga akan berimplikasi kepada cara bergaul anak terhadap temannya. Anak akan sulit percaya dan peduli terhadap orang lain ketika dewasa.

Contoh masalah seperti ini ketika orang tua memberikan perhatian yang beda kepada anak-anaknya. Hal ini akan menghasilkan jiwa anak yang tumbuh tanpa memiliki rasa solid dalam pergaulan. Ketika dia berbuat salah, akan menunjukkan sikap yang egoistik, suka menyalahkan, dan tidak berempati terhadap kesusahan orang lain. Sebaliknya, ketika si anak berbuat benar akan merasa sombong dan merendahkan orang lain.

Untuk mengatasi hal ini, maka orang tua harus memberikan sikap dan perhatian yang adil, memberikan penjelasan bahwa merasa benar sendiri dan menyalahkan orang lain adalah sifat tercela dan tidak baik.

Umumnya, orang tua sering kali memberikan iming-iming berupa hadiah, agar anak mengikuti permintaan orang tua. Justru sikap seperti ini akan menciptakan jiwa anak yang pamrih, malas, hanya memikirkan kenyamanan diri sendiri, dan berat memberikan bantuan kepada orang lain jika dirasa tidak menguntungkan dirinya. Solusinya, orang tua harus memberikan penjelasan dan pengertian sampai si anak paham dan menerima, mengapa orang tua menyuruh berbuat demikian.

Anak yang terlalu sering dipuji, ketika tumbuh dewasa akan menjadi pribadi yang cenderung menutupi bahkan menolak kelemahan dan kegagalan dirinya. Hal ini berefek bagaimana si anak mudah iri dengki bila melihat kesuksesan orang lain. Pujian dalam skala yang wajar, justru berguna untuk membentuk rasa percaya diri pada anak tersebut. Namun, bila terus menerus dilakukan akan mengkerdilkan rasa cinta dalam dirinya karena kuatnya motif persaingan dengan sesamanya.

Demikianlah beberapa cara mendidikan anak menurut Ki Ageng Suryomentaraman. Wallahu a’lam.

Leave a Response