Salah-satu anugerah Tuhan bagi bangsa Indonesia adalah telah melahirkan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Anugerah besar ini disebabkan oleh banyaknya jasa yang telah ditorehkan Gus Dur pada bangsa Indonesia, yang menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang semakin demokratis dan berkedaulatan rakyat.

Gus Dur telah berhasil meletakkan sendi-sendi dasar demokrasi yang membuat bangsa ini terbebas dari absolutisme kekuasaan. Gus Dur juga mampu menciptakan standar dan integritas kepemimpinan, dari yang awalnya totaliter menuju model kepimpinan egaliter. Wajar jika hingga detik ini usulan menjadikanya sebagai Pahlawan Nasional datang dari beragam kalangan.

Kiprah Gus Dur untuk bangsa ini memang tidak perlu diragukan, baik kiprahnya dalam hal-hal yang serius seperti persoalan-persoalan politik, pemerintahan dan demokrasi. Pun juga kiprahnya dalam hal-hal yang tidak serius seperti usaha membahagiakan rakyat melalui humor.

Humor Gus Dur banyak mengisi ruang dan dimensi, mulai dari ruang politik, pemerintahan, sosial kemasyarakatan, hingga pada ruang-ruang sakral keagamaan. Gus Dur pun mampu ‘menggurihkan’ situasi hanya dengan sepatah humor yang memang sering dilontarkan dalam setiap kesempatan.

Salah-satu humor Gus Dur yang banyak mengisi ruang publik kita ialah humor-humornya seputar korupsi. Lumayan banyak joke-joke berkualitas yang dilantunkannya untuk sekedar memberikan gambaran betapa parahnya kondisi negeri ini, suatu negeri yang seluruh potensinya telah habis dibabat oleh para pelaku korupsi.

Beberapa humor tersebut antara lain: Pertama, humor tentang ‘korupsi meja’ yang dikelakarkan Gus Dur di kediamannya ketika menjamu beberapa tamu. Saat perbincangan sedang berlangsung, tiba-tiba salah seorang tamu bertanya “Gus kenapa ya kok di negara kita korupsi seolah menjadi budaya?”

Mendengar pernyataan itu, Gus Dur dengan santai menjawab “Ah, budaya gimana, wong zaman sekarang korupsi relatif sudah bisa dipantau, dibanding era-era sebelumnya.”

Mendengar jawaban ini tamu yang lain tiba-tiba menimpali, “Relatif gimana maksudnya Gus?”, lalu Gus Dur pun menjawab “Karena di zaman Orde Lama, korupsi di bawah meja. Di zaman Orde Baru di atas meja. Nah, di zaman Reformasi, mejanya sekalian dikorupsi,” Sontak suara gelak tawa memenuhi seisi ruang tamu (Fathoni; 2014).

Ungkapan ‘mejanya sekalian dikorupsi’ menjadi isyarat bahwa tingkat korupsi di era reformasi justru semakin tidak terbendung. Hal ini disebabkan oleh tingkat pemerataan pelaku korupsi yang bahkan bisa menyasar di tingkat daerah dan desa. Berbeda dengan pelaku korupsi di era orde Baru yang hanya dinikmati oleh kalangan elit istana dan keluarga besar penguasa.

Kedua, humor tentang semua Presiden Indonesia pelaku KKN (Zikra; 2010), humor ini dilontarkan Gus Dur saat mengisi tausiyah pernikahan seorang putra pengasuh Pesantren Genggong di Probolinggo pada tahun 2002. Saat itu, Gus Dur berujar, “Semua presiden Indonesia KKN, termasuk saya”.

Kok bisa, tanya Gus Dur dalam lanjutan ceramahnya, “Ya, presiden pertama, Soekarno, itu saya katakan Kanan Kiri Nona (KKN). Presiden kedua, Soeharto, juga KKN, tapi yang ini soal “Kanan Kiri Nabrak”. Yang ketiga (B.J. Habibie) ini malah lebih parah “Kecil Kecil Nekat”. Yang Keempat, anda sudah tahu semua, Kanan Kiri Nuntun (KKN). Dan yang terakhir ini “Kayak Kuda Nil” (KKN).

Titik tekan Gus Dur dalam humor ini sebenarnya tertuju pada persoalan korupsi yang melanda pemerintahan Orde Baru. Sebab di zaman inilah korupsi dijadikan budaya oleh penguasa dan pihak-pihak dalam lingkaran kekuasaan.

Ketiga, humor tentang Pak Harto dan dosa besarnya, joke ini disampaikannya di salah-satu acara di TV swasta, saat itu Gus Dur berujar, “Pak Harto itu orang pinter loh, jasanya bagi bangsa ini besar sekali, walaupun dosanya juga besar”. Sebagaimana joke-joke sebelumnya, joke ini pun berhasil mengguncang tawa seisi stasiun televisi.

Pada humor ini, Gus Dur secara fair mengakui bahwa Soeharto memiliki andil besar dalam upaya pembangunan bangsa ini, sekalipun ada banyak noda-noda hitam yang dimainkan dan menjadi warisan perilaku yang bahkan hingga saat ini masih dilakukan, salah-satu noda itu adalah korupsi.

Artinya seburuk apapun kebijakan Soeharto dalam memberi ruang korupsi kepada para elitnya, dan selicik apapun cara-caranya dalam menjegal dan menghabisi lawan-lawan politiknya, tetap harus kita akui bahwa Soeharto adalah salah-satu dari deretan orang hebat yang pernah dilahirkan oleh rahim ibu pertiwi.

Keempat, humor tentang korupsi doa, humor ini disampaikan Gus Dur saat perjalanan pulang dari gedung KPK dalam rangka memberikan dukungan moril atas kasus Cicak Vs Buaya. Kasus ini membuat KPK dipaksa berhadapan dengan Polri karena lembaga ini mengusut kasus-kasus korupsi yang kebetulan melibatkan beberapa elit Polri.

Pada momen ini Gus Dur meyakinkan KPK untuk terus bergerak melawan praktik korupsi sekalipun harus berhadapan dengan institusi segarang Polri. Acara ini kemudian ditutup dengan doa yang secara khusus Gus Dur meminta Maman Imanul Haq untuk memimpin pembacaannya.

Pasca selesainya acara Gus Dur langsung bertolak ke gedung PBNU, ketika berada di dalam mobil, ia sempat bergurau pada Maman, “Kiai, mbok yo kalau doa jangan dikorupsi. Masa doa rabbana taqabbal minna-nya tidak ada watub ‘alaina-nya,” ucapnya disambut tawa Maman (NU Online; 2019).

Pada kesempatan ini, Gus Dur seolah mengingatkan pada kita bahwa potensi korupsi bisa muncul kapan saja dan di mana saja, termasuk di lingkungan keagamaan. Prinsip kehati-hatian dalam bertindak sangat patut diperhatikan, utamanya terhadap tindakan-tindakan yang bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat.

Keseluruhan humor tentang korupsi ini merupakan salah-satu upaya Gus Dur dalam mencerahkan rakyat seputar kondisi korupsi di negeri ini. Tapi, cara yang dipilih tidak langsung menghujam pada pemberian informasi yang justru membuat rakyat semakin berduka. Apapun kondisinya, rakyat harus tetap bahagia, minimal dengan gelak tawa.

Segala cara yang ditempuh Gus Dur ini seyogyanya menjadi teladan bagi kita dalam upaya membasmi korupsi. Semua elemen masyarakat diharapkan ‘turun gunung’ untuk melawan penyebaran ‘wabah’ ini. Kita juga bebas melakukan aksi perlawanan sesuai kemampuan yang dimiliki, termasuk perlawanan melalui humor!

Leave a Response