Bertaubat lalu mengulangi kesalahan kadang akan membuat diri kita merasa bersalah; merasa bermain-main dengan taubat. Namun, kalau kita tahu bahwa mungkin saja taubat kita tidak akan bertahan lama, apakah lantas sebaiknya tidak usah bertaubat saja?

Tepatkah bila kita menuruti kata hati, “Untuk apa bertaubat? Toh, mungkin tidak akan bertahan lama. Apa tidak nanti saja pada waktu ada kesempatan untuk bertaubat dengan sungguh-sungguh?”

Keraguan-keraguan ini memang lumrah bila muncul. Sebab para ulama memang mensyaratkan bahwa bertaubat haruslah bersungguh-sungguh.

Dalam hal ini Imam Al-Ghazali dalam kitab Minhajul Abidin berkomentar tentang syarat-syarat taubat:

“Salah satu dari empat (4) syarat taubat adalah meninggalkan memilih dosa. Maksudnya bertekad kuat dan memantapkan hati untuk tidak mengulangi dosa lagi sama sekali. Apabila ia meninggalkan dosa sementara dalam hati masih ada keinginan mengulanginya lagi; atau tidak berkeinginan tapi muncul keraguan ia benar-benar yakin akan berhenti atau tidak, maka sebenarnya ia hanya menghindari dosa, bukan sedang bertaubat.”

Syarat taubat menurut Al-Ghazali ini yang kadang memunculkan kebimbangan akan bertaubat atau tidak. Kebimbangan ini muncul sebab si pelaku ragu bahwa dirinya kelak bisa memegang ucapannya atau tidak.

Terkait fenomena ini, Imam Al-Ghazali dalam Minhajul Abidin berkomentar dengan tegas untuk tidak mendengarkan keraguan itu. Itu adalah tipu muslihat setan.

Tidak jadi bertaubat sebab ragu apakah kelak ia bisa benar-benar bersungguh-sungguh bartaubat atau tidak, adalah salah satu bentuk tipu muslihat setan. Imam al-Ghazali berkomentar: “Apabila engkau berkata: ‘Aku tidak bertaubat sebab aku tahu bahwa diriku akan mengulanginya lagi dan tidak bersungguh-sungguh bertaubat, sehingga tidak ada faidahnya bertaubat,’ ketahulilah bahwa ucapan itu adalah tipu muslihat setan!

Al-Ghazali beralasan bahwa, bagaimana ia tahu bahwa yang ia takutkan akan benar-benar terjadi? Bagaimana bila semisal ternyata ia menerima taqdir meninggal dalam keadaan masih bertaubat, dan tidak sampai mengulangi kesalahannya kembali?

Demikian ini adalah dua pertanyaan penting yang menunjukkan, bahwa tidak bertaubat sebab bimbang apakah bisa benar-benar berhenti atau tidak, adalah sesuatu yang salah.

Imam Al-Ghazali kemudian lanjut menjelaskan, bahwa andai ia khawatir tidak bisa bersungguh-sungguh dalam bertaubat, maka cukuplah ia meyakinkan diri serta meningkatkan kesungguhan. Setelah itu, kewajibannya hanyalah berusaha menyempurnakan taubat itu sendiri.

Apabila taubatnya sempurna, maka keinginannya telah tercapai. Apabila tidak, maka setidaknya dosa yang telah berlalu telah diampuni. Dan yang tersisa hanyalah dosa-dosa akibat perbuatan yang baru saja ia lakukan.

Apakah bertentangan antara keterangan tentang syarat taubat dan perintah Al-Ghazali untuk mengabaikan kebimbangan untuk bisa konsisten bertaubat, atau tidak? Jawabannya adalah tidak.

Sebab, antara bersungguh-sungguh saat bertaubat dengan tahu bahwa mungkin ia tidak akan konsisten dalam bertaubat, adalah dua masalah yang berbeda. Sungguh-sungguh adalah soal tekad serta kemantapan hati. Yang berusaha dihindari adalah adanya niat “bermain-main” terhadap taubat yang sedang ia lakukan.

Sedang soal kedepannya apakah ia dapat konsisten atau tidak dengan taubatnya, adalah persoalan kemampuan diri yang dituntut untuk berusaha menepati ucapannya sendiri. Itu adalah kewajiban lain selain dari tidak ada niatan untuk mempermainkan taubat.

Dalam segi waktu pelaksanaannya sendiri juga berbeda. Tidak ada niatan untuk ‘bermain-main’ wajib ada tatkala bertaubat. Sedang kewajiban konsisten baru diwajibkan setelah bertaubat dan ada sampai manusia meninggal.

Imam al-Ghazali menjelaskan, orang yang bertaubat terkait apakah ia bisa konsisten dengan taubatnya atau tidak, berada diantara dua keuntungan. Apabila ia konsisten, ia memperoleh keuntungan tidak memiliki dosa sama sekali. Apabila ia tidak mampu konsisten, ia memperoleh keuntungan terhapusnya dosa yang sudah ia taubati.

Bandingkan bila ia tidak jadi bertaubat sebab kekhawatiran yang belum tentu terjadi. Justru ia malah tidak mendapat apa-apa.

Ini adalah satu dari sekian masalah tipu muslihat setan, yang apabila tidak diketahui dengan baik akan menimbulkan kerugian besar bagi orang yang mendekatkan diri kepada Allah. Sebab membutuhkan ketelitian dan kecermatan terhadap strategi setan dalam menyesatkan manusia. Masalah serupa dapat dipelajari dalam karya Al-Ghazali yang berjudul Al-Kasyfu Wat Tabyin, Fi Ghururil Khalqi Ajma’in. wallahu a’lam

Leave a Response