Judul              : Kitab Cerita; Esai-Esai Anak dan Pustaka

Penulis          : Setyaningsih

Penerbit        : Bilik Literasi

Cetakan         : Januari, 2020

Tebal              : 82 Halaman

ISBN               : 978-623-7258-43-8

Selama ini, perhatian kita melulu tertuju pada buku-buku berat dan novel yang digubah pemikir besar. Buku yang mempermasalahkan kondisi sosial teraktual, berjejal teori, dan argumentasi yang pelik. Di luar itu, terlebih buku anak-anak, hanya sedikit yang mau menaruh perhatian dan apresiasi sebagaimana mestinya.

Setyaningsih, sosok yang pernah memberi orasi “Buku dan Anak-Anak Indonesia” di gelaran Kampung Buku Jogja (05/09/2019) ini, menjadi salah satu di antara sekian orang yang gandrung dengan buku anak-anak. Di banyak media, ia kerap didapati menulis ulasan buku anak-anak lawas dan baru.

Bukunya “Kitab Cerita; Esai-esai Anak dan Pustaka” yang diterbitkan Bilik Literasi Solo ini menjadi bukti ia tengah bergelut serius dengan buku anak-anak. Kecerdikan dan kedalaman Setyaningsih terlihat dari setiap uraiannya yang tidak hanya mengomentari isi buku, tapi juga menempatkan buku sebagai bagian dari rentetan sejarah hidup umat manusia.

Sebelum buku ini terbit, ada buku ulasan anak-anak “Pengisah dan Pengasih” yang terbit dengan penerbit yang sama. Buku itu ditulis Bandung Mawardi, esais dan kuncen di Bilik Literasi Solo. Memang bukunya lebih tebal dan muatan topiknya lebih banyak dibanding buku yang ditulis Setyaningsih.

Kabut, sapaan akrabnya, secara sepintas melalui buku itu ingin memberi warta kepada pembaca bahwa buku anak-anak tidak hanya tentang dongeng, mitos, atau legenda. Bahkan di beberapa esainya, ia dengan jelas menyindir cara hidup manusia modern yang jauh dari sikap bersahabat dengan semesta.

Berbeda dengan Setyaningsih, ia lebih memilih buku anak-anak yang bersentuhan dengan geliat literasi. Tampaknya ia ingin melihat perkembangan literasi anak-anak dari masa ke masa. Meskipun ia sendiri mungkin sadar, bahwa literasi memang selalu menemui jalan terjal berliku yang tidak mungkin rampung dalam sekali waktu.

Di buku setebal 82 halaman ini, kita akan mendapati 10 esai. Kendati tidak dikelompokkan sesuai tema yang serupa, kesepuluh esai ini seakan ingin menjawab persoalan apakah buku anak-anak diproduksi dan diperjual-belikan hanya untuk kepentingan literasi semata? Atau malah diproduksi dan dibagikan gratis sebagai alat kendali negara, agar konstruksi berfikir anak-anak di kemudian hari turut ambil bagian membenarkan tindakan negara yang salah kaprah?

Dulu, jamak didapati cerita rakyat dengan muatan pesan kearifan yang disampaikan melalui tutur lisan. Cerita ini hidup turun-temurun. Kendati kebenarannya mungkin bisa disangsikan melalui metode riset ilmiah, tapi efek sampingnya dapat membuat manusia menjadi utuh sebagai manusia. Menghormati sesama dan semesta sebagai bagian dari dirinya.

Keberlisanan itu kini tinggal riwayat. Sebagian besar penutur sudah lanjut usia, mengalami lupa, dan generasi selanjutnya emoh mewariskan cerita arif kepada anak-keturunannya. Solusinya adalah mengikat cerita itu ke tulisan dalam bentuk sebuah buku.

Kita tentu masih ingat, di masa orde baru Pak Soeharto dengan getol memproduksi dalam skala besar buku bacaan anak. Buku-buku inpres yang berlabel ‘Milik Negara, Tidak Diperdagangkan’. Buku ini menjadi agenda terselubung demi kesuksesan politik kekuasaannya. Sedikit banyak, konten yang dimuat di buku ini merupakan olahan dari cerita rakyat.

Buku ini didistribusikan gratis ke seluruh pelosok negeri. Anak-anak dipaksa membaca cerita ilusi keberhasilan pembangunan pemerintah. Sekian topik yang memuat sejumlah persoalan seperti koperasi, listrik masuk desa, transmigrasi, modernisasi pertanian, pemberantasan buta aksara, perbaikan jalan, dan ketahanan pangan dijejalkan ke anak melalui cerita (hlm. 27).

Setyaningsih memberi komentar, “Negara Orde Baru menyampaikan pesan yang terlalu puitis. Misi buku harus berseru layaknya penyuluhan, pidato, atau nasihat. Negara terlalu memaksakan kehendak yang cepat mendewasakan anak” (hlm. 34). Anak di masa itu membaca buku tidak untuk menikmati, tapi diindoktrinasi.

Pembaca buku di masa orde baru yang dulu masih lucu, sekarang sudah berumur. Beberapa ada yang menjadi aktivis dan duduk di parlemen, getol menyuarakan suara rakyat saat kampanye, tapi tidur dan lupa memperjuangkannya ketika rapat. Beberapanya lagi ada yang menjadi orang biasa, mengabdi kepada masyarakat sesuai kapasitasnya. Bacaannya di masa lalu telah menjadi pembentuk resepsi atas sekitarnya. Buku ternyata tidak hanya sebagai aktivitas mengisi waktu luang. Tapi juga penentu, seperti apa perjalanan, sikap, respon, dan pemikiran dari generasi ke generasi (hlm. 55).

Seperti yang saya tulis di awal, Setyaningsih memposisikan buku bacaan anak sebagai bagian dari rentetan sejarah hidup. Sehingga membaca buku ini menjadi penting. Selain untuk menggurat ingatan di masa silam soal buku bacaan, juga sebagai apresiasi dan bentuk terimakasih, termasuk kepada pemerintah orde baru.

Demikian, buku ini bisa menjadi representasi dari ihwal bacaan anak yang sedikit banyak mulai terabaikan. Bukan karena sulit mencari bukunya, namun memberikan komentar sebagai bentuk apresiasi menjadi aktivitas yang dianggap membuang waktu.

Leave a Response