Rabiah Al-Adawiyah Menolak Lamaran Tiga Ulama- Rabiah Al-Adawiyah adalah sufi wanita yang terkenal dan melegenda dengan kisahnya maupun ajarannya yang mabuk ‘Cinta’ kepada sang Khalik (mahabbah ilaa Allah). Fariduddin Athar menuturkan bahwa Rabiah Al-Adawiyah lahir pada tahun 752 M di daerah Bashrah, Iraq saat masa Dinasti Abbasiyah berkuasa.

Dalam perjalanannya, memang sang sufi wanita ini tidak pernah mewarisi karya maupun ajaran sufistiknya. Namun syair-syair cinta ilahinya banyak dirujuk dan dikutip para penulis biografi para sufi.

Ada cerita menarik Rabiah Al-Adawiyah dari rasa mabuk cinta kepada Allah yang tertuang dalam kitab Durrat al-Naashihiin. Konon, ulama terkemuka di masa Tabi’in seperti Hasan Al-Bashri, Malik bin Dinar, dan Tsabit Al-Banani memiliki ketertarikan pada sang sufi wanita itu.

Selain menyukai paras kecantikannya, perangai budi pekerti serta kedalaman sisi spiritualitas Rabiah Al-Adawiyah juga memikat banyak orang termasuk mereka. Cerita ini juga bisa ditemukan dalam Rabi’a The Mystic and Her Fellow-Saints in Islam karya Margaret Smith.

Alkisah satu hari mereka bertiga bertamu ke rumah Rabiah Al-Adawiyah dengan maksud melamarnya. Mereka ‘mendesak’ Rabiah untuk memilih salah satu dari ketiganya untuk dijadikan seorang suami.

Hasan Al-Bashri mengawali pembicaraan itu, “Duhai Rabiah, pernikahan merupakan salah satu sunnah Rasulullah saw., silakan engkau memilih salah satu dari kami untuk menjadi calon suamimu.”

Rabiah kemudian menjawab, “Wahai Tuan, aku memiliki beberapa pertimbangan. Barang siapa dapat menjawab dan memecahkannya, aku bersedia menikah dengannya.”

Tak pelak Hasan Al-Bashri berkata, “Utarakanlah, jika Allah mengizinkan, aku akan jawab pertanyaan dari kegelisahanmu itu.” Pertanyaan-pertanyaan pun mulai diajukan Rabiah Al-Adawiyah.

Rabiah mengawali, “Apakah yang kelak terjadi jika aku meninggal Tuan, apakah aku mati dalam keadaan Islam atau tidak?”

Hasan Al-Bashri pun tampak hanya mampu menjawab, “Maaf duhai Rabiah, ini termasuk wilayah ghaib, Aku tidak tahu pasti kecuali Allah Swt.”

Kemudian pertanyaan dilanjutkan, “Tuan, saat aku di dalam kubur dan ditanya oleh Malaikat, mampukah aku menjawab pertanyaan mereka?”

Hasan Al-Bashri seketika menjawab, “Aku tidak tahu, hanya Allah yang mengetahui perkara itu.”

Rabiah Al-Adawiyah pun masih mengajukan beberapa pertanyaan lagi,

“Ketika manusia dikumpulkan di padang Masyhar, dan di hari perhitungan nanti buku catatan amal setiap manusia dibagikan, apakah aku akan menerima buku catatan amal dengan tangan kanan atau dengan tangan kiri Tuan?”

Hasan Al-Bashri menjawab hampir serupa dengan pertanyaan-pertanyaan sebelumnya, “Wahai Rabiah, hal itu menjadi rahasia Allah.”

“Satu hal lagi Tuan, saat manusia dipanggil menghadap Allah dan diumumkan kepada manusia tentang ahli surga dan ahli neraka, termasuk golongan manakah aku?” Lanjut Rabiah Al-Adawiyah yang masih mengajukan pertanyaan.

Lagi-lagi Hasan Al-Bashri menjawab dengan jawaban yang masih sama, “Ini adalah hal yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Allah.”

Rabiah Al-Adawiyah akhirnya mengatakan, “Aku sudah ajukan beberapa pertanyaan. Bagi orang yang masih gundah memikirkan empat masalah itu, bagaimana sempat memikirkan menikah atau aku harus bersuami dengan orang yang tak mampu dijadikan tempat untuk bersandar akan hal itu?”

Jawaban yang sungguh telak dan mematikan. Akhirnya ketiga ulama yang hadir di kediaman Rabiah Al-Adawiyah itu menangis dan keluar dengan rasa penuh penyesalan.

Walaupun kisah ini mengundang kontroversi, sebab konon usia Hasan Al-Bashri dalam Tadzkirat al-‘Auliya dikisahkan lahir tahun 642 M dan Rabiah Al-Adawiyah yang lahir 752 M dipandang terpaut jauh dan tidak memungkinkan bertemu. Atau rujukan Durrat al-Naashihiin pada kisah di atas dengan menyandarkan pada Misykat al-Anwar karangan Al-Ghazali saat ditelaah tak ada satu pun keterangan itu.

Namun kisah ini setidaknya mengajarkan hakikat ‘Cinta’ kepada Allah sang Khalik, dengan mengosongkan hati dari segalanya yang fana kecuali Allah. Berserah diri semata-mata hanya pada-Nya. Begitulah kisah mabuk ‘Cinta” bagaimana (mahabbah ilaa Allah) Rabiah Al-Adawiyah mengalahkan segalanya untuk selalu mencintai sang Pencipta.

Mabuknya Rabiah Al-Adawiyah pada Allah yang sudah sangat dalam menjadikannya ‘lebur’ dan merasa tidak butuh apapun selain sang Khalik. Meskipun begitu, Rabiah Al-Adawiyah atau tulisan ini sekalipun bukan semata menentang pernikahan sebagai sunnatullah.

Perasaan mabuk ‘Cinta’ Rabiah Al-Adawiyah tergambarkan sudah melampaui hawa nafsunya. Sebagaimana orang yang mabuk cinta, yang terpenting adalah kekasihnya. Bahkan Rabiah Al-Adawiyah pernah bermunajat “Ya Allah, jika ibadahku ini hanya menginginkan surga-Mu, maka bakarlah aku di neraka. Sebab aku hanya ingin bertemu dengan-Mu dan yang aku inginkan adalah ridha-Mu”.

Pada saat sebagian orang merasa bahwa dirinya bisa mendominasi surga, Rabiah sudah tidak lagi menginginkan itu. Karena yang ia harapkan adalah berjumpa dengan Allah dan mengharap ridha-Nya. Jika Allah sudah ridha, apapun di dunia ini akan diraih.

Itulah salah satu maqam spiritualitas dalam hidup ini yang harus senantiasa dimunajatkan, yakni mengharap ridha Allah. Akhirnya: Ihdinaa As-Shiraat al-Mustaqiim. Allahumma innaa nasaluka ridhaaka wa al-jannah wa na’udzubika min sakhotika wa an-naar.

Leave a Response