Ronggowarsito adalah pujangga legendaris yang lahir di tanah Surakarta. Ia lahir dari pasangan R.M Ranggawarsita II dan Mas Ajeng Ronggowarsito pada 14 Maret 1802 M. Nama aslinya ialah Bagus Burhan. Sosoknya memiliki tingkat popularitas yang tinggi. Namun, siapa sangka semasa kecil ia mempunyai perilaku yang terbilang nyleneh.

Hal ini terjadi ketika ia berusia 12 tahun dijuluki sebagai “santri nyleneh”. Julukan tersebut didapat saat dirinya masih nyantri di Pondok Pesantren Tegalsari, Ponorogo. Diceritakan bahwa ketika awal di Pesantren, Bagus Burhan atau Ronggowarsito tampak bodoh, dan dungu. Pun dengan perilakunya, juga kurang baik.

Seiring berjalannya waktu, perangainya berubah menjadi lebih baik berkat didikan dari Kiai Hasan Besari dan Ki Tanujaya. Di antara salah satu didikannya adalah dengan cara tirakat. Maka, tak heran pada akhirnya ia menjadi sosok fenomenal yang menghasilkan banyak karya sastra seperti Serat Hidayat Jati, Serat Jaka Lodhang, Serat Ajidarma, Serat Ajinirmala, serat Kalatidha dan masih banyak lagi.

Di antara berbagai karya Ronggowarsito, terdapat satu karya yang dianggap bagaikan memprediksi masa depan, yakni dalam Serat Kalatidha. Karya ini berbentuk tembang macapat dalam bahasa Jawa dan ditulis tahun 1860 M. Dalam salah satu baitnya Ronggowarsito menulis bahwa:

“Amenangi jaman edan, ewuh aya ing pambudi, milu edan nora tahan, yen tan milu anglakoni baya kaduman melik kaliren wekasanipun, ndilalah karsa Allah, begja-begjane kang lali luwih begja kang eling lan waspada.”

Maksud dari bait tersebut adalah mengalami zaman yang gila menjadikan serba salah dalam bersikap, ikut gila tidak tahan. Kalau tidak ikut melakukan, maka tidak akan kebagian dan menjadi kelaparan. Kemudian, di akhir kalimatnya ia memberikan wejangan bahwa seberuntung-beruntungnya manusia ialah yang selalu sadar dan waspada.

Hakikatnya, syair tersebut bukanlah sebuah ramalan. Dalam baitnya Ronggowarsito mencoba mengutarakan keadaan yang terjadi pada saat itu, seperti janji-janji raja yang tidak ditepati. Selain itu, Ronggowarsito juga mengungkapkan bagaimana polemik dan dilema hidup melalui seratnya yakni Kalatidha. Sejatinya sudah terlihat maknanya. Kala diartikan sebagai zaman. Sedangkan, tidha berarti ragu. Maka, Kalatidha merupakan zaman keraguan.

Konteks Zaman Sekarang

Hal ini cukup sesuai dengan konteks zaman sekarang. Meskipun dunia semakin canggih dengan perkembangan teknologi yang cepat, namun kenyataannya moralitas tidak berkembang dengan baik. Terbukti, seperti halnya maraknya kasus korupsi yang membuat orang kaya semakin banyak harta, sedangkan orang miskin semakin terpinggirkan. Bagaimana tidak? Zaman sekarang perolehan jabatan semarak dilakukan dengan cara yang tidak dibenarkan.

Hal ini sama dengan pepatah yang digaungkan oleh masyarakat Jawa dalam menggambarkan keadaan ini yakni “jujur ajur, ala mulya”. Maknanya, orang jujur akan hancur dan orang yang ala alias buruk akan mulya (mulia).

Pada umumnya, orang yang jujur akan banyak ditinggalkan oleh orang-orang di sekitar, karena tidak menyukai serta was- was rahasia buruknya akan diketahui. Sedangkan, bagi orang yang berperangai buruk, kini malah banyak disukai.

Bahkan, hal yang lebih edan lagi ialah mungkin sudah tidak ada lagi persahabatan, atau kawan di dunia ini, yang ada adalah kepentingan. Jadi, pertemanan diciptakan karena ada kepentingan. Kawan bisa berubah menjadi lawan. Pun sebaliknya, asalkan menguntungkan.

Maka, untuk menyiasati hal tersebut eling dan waspodo menjadi solusi seperti yang dituliskan dalam syairnya di baris akhir. Eling atau ingat yakni selalu ingat dengan apapun yang diperintahkan dan dilarang oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.

Semua hal tersebut tertulis jelas dalam Al-Qur’an, Hadis atau pun Sunah Nabi. Dengan menaati perintah Allah tersebut, maka sesungguhnya ia mendapatkan kemenangan yang besar. Hal ini juga diungkapkan dalam Al-Qur’an surah al-Ahzab ayat 70-71.

Selain itu, eling juga bisa dilakukan dengan berdzikir. Sebagaimana beberapa ayat Al-Qur’an yang menyebut tentang dzikir, di antaranya akan senantiasa mendapatkan pahala, mengampuni dosa orang yang berdzikir, dan menghidupkan hati.

Dalam hadis Nabi juga dijelaskan keutamaan dari dzikir di antaranya yaitu diliputi kebaikan, mendapatkan rahmat dari Allah, lebih dekat dengan Allah, mengontrol diri dan masih banyak lagi. Maka, telah terlihat bahwa pengamalan dzikir dapat menjadi media untuk mengontrol diri dari zaman yang edan ini.

Topik Terkait: #Ronggo Warsito#sufi

Leave a Response