Pada bulan puasa lalu, sebelum mudik ke kampung halaman, saya menyempatkan diri bersilaturrahmi di kediaman Bu Sri Wahyaningsih. Sebelumnya, saya belum mengenal sosok perempuan yang akrab disapa Bu Wahya tersebut. Berawal dari ajakan teman saya untuk liputan ke Sanggar Anak Alam (SALAM) yang terletak di Nitiprayan, Bantul, membuat saya ingin mengenal sosoknya lebih jauh.

Pagi itu, saat menemui Bu Wahya di rumahnya yang dekat dengan lokasi SALAM. Mulanya, saya pun mengira, penggagas SALAM ialah suaminya, yakni Pak Toto Rahardjo. Usut punya usut, dugaan saya keliru. Bu Wahya, perempuan kelahiran Klaten inilah, inisator di balik berdirinya SALAM.

Perempuan lulusan ekonomi ini mendedikasikan hidupnya di bidang pendidikan. Memang, sedari belia Bu Wahya sudah dibiasakan oleh keluarganya untuk peduli dengan sesama dan kehidupan sekitar. Pun, ia juga tak segan membantu orang-orang di sekelilingnya yang membutuhkan.

Sedari kecil, mbah (kakek dan nenek) Bu Wahya juga mengajarkan banyak hal kepadanya. Seperti disiplin bangun pagi, pergi ke pasar untuk berbelanja dengan bermodal uang dari mbahnya. Kemudian hasil belanjaannya dibeli oleh mbahnya dengan harga lebih tinggi. Dari proses ini, Bu Wahya diajarkan untuk mulai hidup mandiri, agar tak selalu bergantung dengan orang lain.

Selama in, kenang Bu Wahya, ia selalu melihat apa yang dilakukan orang tua dan mbahnya. Sedari belia, Bu Wahya menjadi terbiasa bekerja. Saat bersekolah hingga kuliah, ia sudah bisa menghasilkan uang dan hidup mandiri. Juga, aktif berorganisasi maupun berkomunitas sedari di desa tempat tinggalnya hingga saat ini.

Ia bercerita, dulu, setiap akan berangkat sekolah, tepat di depan Rumah Sakit Bathesda Yogyakarta, ia kerap melihat para gelandangan yang mengais makanan dari sampah-sampah. Melihat fenomena yang tak pernah ditemui selama ia tinggal di desa kelahirannya, membuat hatinya sakit dan menjerit.

Setelah ditelusuri, kebanyakan dari mereka ialah orang desa yang bermigrasi ke kota untuk mengadu nasib. Akan tetapi, yang terjadi tak sesuai harapan mereka. Bukannya mengentaskan mereka dari belenggu kemiskinan struktural, nasib mereka malah terkatung-katung di tanah perantauan/kota.

Tentu, mereka tak punya banyak pilihan, sebab kalau pulang ke desa, aset mereka banyak yang sudah terjual dan tak sedikit yang sudah tak memiliki sanak saudara.

Bu Wahya mulai menyadari, orang-orang yang bersekolah ke kota ketika kembali ke desa, banyak yang tidak tahu apa yang akan diperbuat. Kemudian, memilih mencari pekerjaan daripada harus menciptakan pekerjaan.

Berbekal ketulusan dan ketekatan, pada 1988, lahirlah Sanggar Anak Alam (SALAM), berlokasi di Desa Lawen, Kecamaran Pandanarum, Kabupaten Banjarnegara,yang perhatian utamanya dititikberatkan pada kebutuhan dasar manusia.

Yakni pangan, kesehatan, lingkungan dan sosial budaya. Seiring berjalannya waktu, SALAM yang ada di Banjarnegara bertransformasi menjadi komunitas pemuda “ANANE29” hingga saat ini.

Pada 1996, Bu Wahya dan suaminya pindah ke Yogyakarta. Bertempat tinggal di Nitiprayan, Bu Wahya diminta untuk menjadi ketua RT. Sehingga, muncullah ide membuat gerakan yang dekat dengan kebutuhan hidup masyarakat.

Wahya juga mengajak para warga untuk melakukan riset, kemudian memetakan masalah untuk mengetahui kebutuhan mereka. Ternyata, angka anak putus sekolah juga terbilang tinggi. Selain karena masalah ekonomi, tak jarang dari mereka yang merasa kalau sekolah tak bisa memberi apa yang mereka butuhkan.

Mulanya, pada 2000 berfokus pada pendampingan kelompok remaja dengan kegiatan kejurnalistikan. Usai melalui beberapa kali evaluasi program, ternyata, dengan adanya kegiatan tersebut permasalahan dalam pendidikan mulai terpetakan.

Di dalam pelaksanaan kegiatan, para anak remaja yang tergabung kerap mengeluhkan beban yang didapat dari sekolah, cukup berat. Selain itu, tidak kontekstual dengan kebutuhan anak. Akhirnya, SALAM tergerak untuk mendirikan lembaga pendidikan sendiri.

Keresahan-keresahan mulai muncul. Terutama persoalan di bidang ekonomi dan pendidikan. Di bidang ekonomi, terjawab dengan  terbentuknya koperasi. Sedangkan untuk pendidikan, gagasan SALAM mulai dihidupkan kembali oleh Bu Wahya, dengan dibantu suaminya, Totok Rahardjo.

Pada 2004, SALAM mulai menyasar ke anak-anak usia dini. Mereka juga mulai membuat kurikulum sendiri. Kemudian, organisasi mengalami perkembangan. Sampai saat ini, jenjang kelas meliputi Taman Anak, Taman Bermain, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas. Dan, sedang dalam proses membuka jenjang Akademi.

Wahya juga menyampaikan, isu yang diusung SALAM tak sebatas sebagai pengetahuan. Namun juga mereka terapkan secara langsung. Prinsip yang mereka pegang ialah, belajar bisa dimulai dari pengalaman dan fenomena alam.

Ukuran keberhasilan peserta didik tidak dinilai berdasarkan dari hasil ujian, tetapi lebih pada proses menciptakan iklim atau ekosistem belajar. Tentu, fokusnya tidak pada anak saja. Sebab bagi SALAM, dalam proses belajar, si anak bukan objek dari sistem pendidikan. Semua pihak terlibat dan sama-sama belajar. Baik dari pihak fasilitator, orang tua, serta si anak.

Maka, ketika akan menentukan apa yang akan dipelajari, si anak, orang tua dan fasilitator diharuskan berdiskusi untuk mencari tahu apa yang dibutuhkan dan diinginkan. Sehingga, berdirinya SALAM, salah satunya sebagai bentuk mengkritisi sistem pendidikan yang ada.

Termasuk untuk membangun kesadaran mencintai produk lokal, serta memanfaatkan segala hal yang dihasilkan alam. Melalui pendidikan, SALAM berupaya membangun kesadaran  kritis dalam menyikapi fenomena kehidupan.

Karena munculnya kebutuhan sebagian orang tua untuk bisa mengakses ijazah, SALAM telah terdaftar di Kemendikbud sebagai yayasan non-formal atau Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM).

Konsisntensi menjadi prinsip yang selalu dipegang Bu Wahya. Pernah, beberapa kali ia mendapat tawaran posisi kerja di suatu lembaga besar, tapi tak diterima karena komitmennya pada SALAM.

Sebab, Bu Wahya merasa sudah bisa hidup dengan caranya. Ia juga beberapa kali mendapat tawaran beasiswa kuliah di luar negeri. Karena ada alasan yang mendasarinya, ia memilih untuk melepas kesempatan itu.

Yang ada di pikiran Bu Wahya, di Indonesia sudah banyak orang pintar. Semisal ia menerima kesempatan pendidikan di luar negeri, ia merasa apa yang didapatkan dari situ, ketika diterapkan di negara atau daerah sendiri, belum tentu sesuai dan tepat. Ia hanya ingin bisa belajar dari masyarakat tempatnya berada,

Upaya Bu Wahya mendirikan SALAM, ialah untuk mendekatkan anak-anak dengan alam dan masyarakat. Meski nantinya, mereka akan mengembangkan dirinya lagi di tempat yang berbeda.

Leave a Response