Peristiwa Ashabul Ukhdud terjadi kira-kira pada tahun 523 M. Peristiwa ini terjadi atas perintah Raja Zur’ah Dzu Nuwas bin Tuban As’ad, seorang Raja Himyar (Yaman) yang beragama Yahudi.

Ibnu Hisyam dalam Sirah Nabawiyah menafsirkan bahwa apa yang dimaksud dengan Ukhdud adalah sebuah lubang yang memanjang di tanah seperti parit, aliran air dan sebagainya. Jamak dari kata Ukhdud adalah Akkahadiid.

Ashabul Ukhdud merupakan kisah keteguhan orang-orang beriman yang memperjuangkan ketauhidan mereka kepada Allah Swt. Demi mempertahankan keimanannya, mereka rela mengorbankan nyawa.

Dalam Tafsir al-Mishbah karya M. Quraisy Shihab dijelaskan bahwa orang-orang yang disiksa dalam kisah Ashabul Ukhdud merujuk kepada kelompok kaum Nasrani di wilayah Najran. Agama Nasrani yang dipeluk penduduk Najran merupakan agama yang masih murni menerapkan syari’at agama Nabi Isa a.s yakni hanya bertuhankan Allah Swt.

Kisah pengorbanan orang-orang beriman dalam peristiwa Ashabul Ukhdud banyak mengandung pelajaran dan hikmah. Itulah sebabnya Allah mengabadikan kisah ini di dalam Surah al-Buruj ayat 4-8. Allah Swt berfirman:

Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar. Ketika mereka duduk di sekitarnya sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman. Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji” Q.S al-Buruj Ayat 4-8

Dzu Nuwas diangkat menjadi Raja Himyar menggantikan Lakhni’ah. Lakhni’ah merupakan seorang raja yang gemar melakukan hubungan sesama jenis, seperti kaum Nabi Luth a.s.

Saat Dzu Nuwas diminta untuk datang ke istana dengan maksud tertentu, ia berhasil membunuh Lakhni’ah dengan menikamnya menggunakan pisau dan meletakkan kepalanya di lubang angin agar disaksikan oleh penduduk Himyar.

Melihat itu, penduduk Himyar berkata kepadanya bahwa tidak ada yang pantas menjadi raja selanjutnya bagi mereka kecuali Dzu Nuwas, karena ia telah berhasil membunuh seorang raja seperti Lakhni’ah.

Dimulailah pada saat itu, Dzu Nuwas menjadi Raja Himyar dan menjadi raja terakhir kabilah itu dengan menamai dirinya sebagai Yusuf Ash’ar.

Sebelum mengenal agama Nasrani, penduduk Najran kerap menyembah pohon kurma besar. Kota Najran juga merupakan tempat berkumpulnya orang-orang yang ingin belajar ilmu sihir pada waktu itu.

Masuknya agama Nasrani di Kota Najran berawal dari seorang anak muda (ghulam) yang ingin belajar ilmu agama dan ilmu sihir secara bersamaan. Saat di perjalanan dalam menuntut ilmu, anak muda ini bertemu dengan seseorang bernama Faimiyun.

Faimiyun merupakan seorang pemeluk agama Nasrani yang taat. Ia dianugerahi Allah semacam karomah yang kemudian membuat anak muda itu takjub.

Lama kelamaan, anak muda itu lebih memilih keimanan dengan belajar ilmu agama dan meninggalkan ilmu sihir. Anak muda itu yang kemudian mendakwahkan ajaran agama Nasrani kepada penduduk Najran.

Dalam Sirah Nabawiyah karya Ibnu Hisyam, dikatakan bahwa anak muda itu bernama Abdullah bin Ats Tsamir. Ia juga dikaruniai oleh Allah semacam karomah seperti dapat menyembuhkan orang yang sakit dengan cara bermunajat kepada Allah Swt. Hal inilah yang membuat penduduk Najran tertarik dengan agama Nasrani dan menjadi pemeluknya.

Di masa pemerintahannya, Dzu Nuwas berinisiatif untuk melakukan ekspansi penyebaran agama Yahudi ke berbagai wilayah, termasuk Kota Najran. Ketika sampai di wilayah Najran, ia menjumpai bahwa sebagian besar penduduk Najran telah memeluk agama Nasrani.

Karena hal ini, Dzu Nuwas meminta penduduk Najran untuk meninggalkan keyakinannya dan memeluk agama Yahudi. Namun penduduk Najran tetap berpegang teguh pada keyakinannya. Dzu Nuwas yang geram meminta penduduk Najran untuk memilih salah satu dari dua hal, yakni masuk agama Yahudi atau dibunuh.

Penduduk Najran lebih memilih mati daripada masuk agama Yahudi. Terjadilah penangkapan besar-besaran terhadap penduduk Najran atas perintah Dzu Nuwas.

Mereka yang melawan langsung dibunuh di tempat, sedangkan mereka yang ditangkap hidup-hidup menjadi tawanan. Kemudian Dzu Nuwas menyiapkan sebuah lubang yang memanjang seperti parit dan di dalamnya telah dinyalakan api yang begitu besar yang dapat membakar habis apa saja yang dimasukkan ke dalamnya.

Kemudian, Dzu Nuwas memerintahkan penduduk Najran untuk berbaris di pinggir parit. Mereka yang enggan memeluk agama Yahudi diperintahkan untuk menjatuhkan diri ke dalam parit tersebut. Begitu dahsyatnya peristiwa ini, sehingga jumlah penduduk Najran yang terbunuh ditaksir mencapai 20.000 jiwa.

Dalam kisah Ashabul Ukhdud, terdapat pula peristiwa tragis lain yang menyertainya. Yakni ketika seorang ibu dan bayinya yang masih dalam buaian diminta untuk melemparkan diri ke dalam parit. Ibu tersebut awalnya ragu karena merasa kasihan kepada anaknya yang masih kecil.

Namun karena atas izin Allah Swt, bayi tersebut bisa berbicara dan berkata kepada ibundanya: “Duhai ibu, bersabarlah karena engkau sesungguhnya di atas kebenaran”. Karena perkataan bayinya tadi, dengan yakin ibu tersebut melemparkan diri ke dalam parit berapi. Akhirnya keduanya kembali kepada Sang Pencipta dengan keimanan yang tetap teguh di dalam hati.

Salah satu penduduk Najran yang mampu lolos dari pembunuhan massal ini adalah Daus Dzu Tsa’labah. Ia melarikan diri ke negeri Syam dan meminta bantuan kepada Kekaisaran Romawi. Bantuan itu disetujui oleh penguasa Romawi dengan cara meminta Raja Najasyi di Abesinia (karena lebih dekat dengan Najran) untuk membantu Daus Dzu Tsa’labah mengusir Dzu Nuwas.

Daus Dzu Tsa’labah yang membawa surat perintah dari Kekaisaran Romawi kemudian menyeberangi laut menuju Abesinia (Afrika) untuk bertemu Raja Najsyi. Raja Najasyi menyanggupi permintaan ini, kemudian ia menyiapkan 70.000 bala tentara di bawah komando Panglima Aryath dan wakilnya yang bernama Abrahah al-Asyram.

Pasukan Abesinia dan Himyar kemudian bertempur di wilayah Najran. Pasukan Dzu Nuwas terpukul mundur. Ketika Dzu Nuwas mengetahui apa yang terjadi pada dirinya dan pasukannya, ia mengarahkan kudanya menuju laut dan berjalan melewatinya. Ia dan pasukannya melewati permukaan laut dimulai dari air yang masih dangkal ke air yang lebih dalam hingga akhirnya mereka tenggelam.

Leave a Response