Umru al-Qais; Penyair Kontroversial Era Pra-Islam
Selain penyair erotis dan penuh gairah, Umru al-Qais juga tenar dengan label seorang pemabuk yang nakal. Namun, terlepas dari itu semua, bermacam penghargaan banyak disematkan kepada penyair hedon ini. Bagi al-Jahizh sendiri—seorang cendekiawan dan sastrawan Arab dari Afrika Timur, memandang Umru al-Qais sebagai penyair pertama kali dari kalangan bangsa Arab. Selain itu, ia juga dicatumkan dalam daftar penyair top Arab. Karena pola qasidah-qasidah-nya dijadikan panduan dan pegangan bagi penyair baru (muwallad) yang datang belakangan.
Kemudian al-Ashma’i—seorang ilmuwan dan ahli sastra Arab dalam kitabnya Fuhulah asy-Su’ara juga tak luput membahas kebesaran-kebasaran Umru al-Qais. Ketika berusaha menyebutkan maestro pertama, awalnya al-Ashma’i ragu-ragu antara Umru al-Qais dan an-Nabighah adz-Dzubyani. Akan tetapi segera ia mendahulukan Umru al-Qais. Menurutnya, dialah yang mendudukan posisi pertama, dialah yang sesesungguhnya raja/kepala penyair dan semua orang belajar darinya.
Ungkapan al-Ashma’i yang lain mengatakan: Yang berada di urutan paling awal di antara mereka dalam hal keindahan adalah Umru al-Qais. Ia merupakan pioner. Semua penyair mengambil ujaran darinya dan taqlid kepada polanya.
Datang selanjutnya dari Nabi Muhammad dan kalangan kritikus sastra dari Basrah, Umru al-Qais diakui sebagai penyair paling terkenal pada zaman pra-Islam. Dia adalah penulis salah satu dari tujuh qasidah dalam koleksi puisi terkenal pra-Islam Al-Muʿallaqāt.
Para filolog dari aliran Basra menganggap Umru al-Qais tidak hanya sebagai penyair terhebat di al-Muʿallaqat tetapi juga sebagai penemu bentuk ode klasik, atau qaṣidah, dan banyak konvensi lainnya yang menjadi preseden bagi penyair setelahnya. Contoh ini tertuang di baris pembuka qasidahnya yang melukiskan tangisan penyair atas jejak tempat perkemahan yang sepi. Barang kali pembukaan qaṣidah panjang Umru al-Qais yang muncul dalam al-Muʿallaqat merupakan baris puisi paling terkenal sejauh ini yang digantungkan di dinding Ka’bah.
“Bersama dukaku, mari berhenti sejenak
Mari menangis, mengenang sang kekasih dan rumah-rumah yang berserakan
Di atas puing-puing reruntuhan di antara Dakhul dan Hawmal”
Meninjau sisi keturunan Umru al-Qais, hampir tidak ada kesepakatan mengenai silsilahnya. Akan tetapi ada pendapat dominan kalau Umru al Qais lahir dari keluarga bangsawan, putra bungsu dari Hujr—raja terakhir suku Kindah yang merupakan bagian Republik Yaman saat ini. Dia lahir sekitar 501 dan meninggal sekitar 544.
Sebagaimana kebiasaan tradisi Arab sendiri, persoalan mencatutkan nama-nama para leluhurnya adalah bagian penting yang tak terelakan guna memperkuat legitimasi kebesaran seorang tokoh. Nama lengkapnya sendiri yaitu Umru al-Qais bin Hujr bin al-Harits al-Malik bin Amru al-Maqshur bin Hujr bin Aqilul Murar bin Amru bin Muawiyah bin Tsaur bin Murta’. Pendapat lain menuliskan, Umru al-Qais bin Hujr bin al-Harits bin Amru bin Hujr Aqilul Murar bin Amru bin Muawiyah bin al-Harits bin Ya’rub bin Tsaur bin Murta’ bin Muawiyah bin Kindah.
Seperti halnya pundi-pundi pujian yang digelontorkan secara silih berganti kepada Umru al-Qais, beberapa kritik juga santer dialamatkan kepadanya terkait artistik puitika dan model puisinya.
Di antara kritik ulama kepada Umru al Qais disinyalir karena penyimpangannya dari contoh atau model baku puisi. Seperti yang diriwayatkan tentang perdebatan, siapa dia antara Umru al Qais dan Alqamah al-Fahl yang lebih ahli dalam berpuisi? Tetapi, masing-masing keduannya saling mengatasnamakan dirinya sebagai yang lebih ahli daripada satunya. Lantas, Alqamah pun menawarkan agar istri Umru—Ummu Jundub menjadi hakim di antara keduanya, menilai siapa yang lebih pantas menjadi penyair sejati.
Sejurus kemudian, Ummu jundub menyuguhkan sebuah aturan dan temanya. Tantangan ini berupa satu puisi yang menggambarkan kuda dengan satu qafiyah dan satu rawi.
Umru al-Qais bersyair:
Cemeti menjadikannya lari kencang, dan betis berdarah-darah
Dan bentakan menjadikan semakin kencang larinya
Sedang Alqamah al-Fahl berkata:
Ia menyusul mereka sambil membelokan kendalinya
Ia bergerak bagai bau harum yang berhamburan
Ummu Jundub berkata kepada Umru al-Qais: “Alqamah lebih ahli berpuisi dibandingkan kamu.”
“Bagaimana mungkin?” tanya Umru
Keputusan Ummu Jundub ini didasarkan pada sikap Umru al Qais yang telah membuat capek si kuda lantaran pecutannya supaya mau berlari kencang. Sehingga cambukan-cambukan itu telah membuat kakinya letih.Berbeda lagi mengenai penilaian puisi Alqamah, dengan menyadari gerak kendalinya, ia sama sekali tidak memukulnya dan tidak pula membuat si kuda payah.
Penilaian Ummu Jundub ini tidak berkaitan dengan artistika ekspresi tetapi lebih mengarah bagaimana model yang digunakan sebagai standar—kuda berjalan cepat tanpa harus dipukul sekaligus tidak membikin kecapekan.
Lagi, saya sodorkan bentuk penyimpangan puisi Umru al-Qais dari model baku. Bait puisi ini menggambarkan seekor unta.
Aku naiki dalam peperangan bagiakan belalang
Jambulnya yang tergerai menutupi wajahnya
Kritik ini disampaikan oleh al-Ashma’i kepada Umru al Qais, bahwa: “Jika jambul menutupi wajah, kuda yang seperti itu bukanlah kuda yang baik. Karena yang baik adalah yang sewajarnya, tidak terlalu panjang jambulnya.
Berangkat dari puisi yang serupa, al-Marzabani juga ikut-ikutan mengkritik ihwal ini: “ Ini salah, sebab rambut jambul apabila menutupi mata, kuda yang dimaksudkan bukan kuda yang baik.