Nana Asma’u, Ikon Feminis Muslimah Afrika
Asma’u binti Utsman Dan Fodio, atau panggilan akrabnya Nana Asma’u. Lahir di sebuah desa bernama Degel yang terletak di Nigeria utara sekitar tahun 1793. Dahulunya, Degel merupakan bagian dari wilayah Hausa di Gobir. Degel terkenal sebagai rumah bagi pembaharu Islam Fulani Utsman dan Fodio dari tahun 1774 hingga 1804. Sedangkan Gobir adalah sebuah negara-kota yang didirikan oleh Hausa pada abad kesebelas, yang menjadi lawan utama dari reformator Islam Fulani Utsman dan Fodio.
Gobir adalah sebuah negara-kota di sebuah tempat yang sekarang disebut Nigeria. Didirikan oleh Hausa pada abad kesebelas. Gobir adalah salah satu dari tujuh kerajaan asli Huasaland dan berlanjut di bawah pemerintahan Hausa selama hampir tujuh ratus tahun. Ibukotanya adalah kota Alkalawa.
Gobir secara khusus dikenal sebagai lawan utama dari reformator Islam Fulani Utsman dan Fodio. Dan Fodio, ayah Asma’u menggalang banyak pengikut di daerah Degel. Bahkan karena takut akan kekuatannya yang berkembang, Yunfa, penguasa kala itu memerintahkan dia dan para pengikutnya ke pengasingan. Hal itu memicu Perang Fulani. Kondisi sosio-geografis inilah yang membentuk pribadi Asma’u dewasa dan merekamnya dalam karyanya.
Nana Asma’u mempunyai saudara kembar laki-laki yang meninggal pada 1817. Sepuluh tahun pertamanya ia habiskan untuk fokus pada ilmu, mulai menghafal Alquran, belajar membaca, menulis, dan cabang-cabang ilmu lainnya. Seperti tajwid, ushul, fikih, tafsir dan lainnya di bawah didikan ayahnya sendiri.
Kelak ia akan mewarisi sifat ayahnya sebagai pejuang. Pada usianya kesebelas, ia beserta klannya bermigrasi karena menghindari penganiayaan yang disebabkan oleh jihad yang dilancarkan oleh ayahnya. Lalu pada usia yang sudah matang, ia menikah dengan Gidado dan Laima dan dikaruniai enam putra.
Seperti yang ditulis Beverly B. Mack dan Jean Boyd dalam buku mereka, One Woman’s Jihad: Nana Asma’u; Scholar and Scribe (2000), Asma’u adalah seorang wanita muslim Afrika Barat abad ke-19 yang masyhur karena aktivitas politik, pendidkan dan reformasi sosial yang ia galakkan. Asma’u juga merupakan seorang penyair ulung yang menguasai empat bahasa; Arab, Fulfude/Fula/Fulani, Hausa dan Tamacheck/Tuareg.
Salah satu karya pertama yang ia tulis adalah The Way the Pious. Puisi itu ia tulis pada 1820 tentang moralitas. Asma’u terus menulis puisi dan prosa yang berkaitan dengan perang, keberanian, agama dan peran perempuan dalam komunitas Qadiriyya. Ia menggunakan puisinya untuk hal yang sangat dekat dan dikenalnya, pendidikan wanita dan kelas-kelas yang ia adakan sebagai bagian dari gerakan Yan Taru di pelosok desa. Karena baginya, menolak wanita—yang memiliki kesempatan yang sama—untuk mengembangkan bakat yang diberikan Tuhan adalah sama dengan menantang kehendak-Nya
Nana Asma’u mulai mendidik para wanita di rumah bersama suaminya, Gidado. Setelah saudara laki-lakinya meninggal, ia dan suaminya menulis beberapa karya tentang kehidupan ayahnya, Shehu Utsman, Fodio, dan kakaknya. Dari sepetak kamar inilah berkembang menjadi sistem organisir. Di mana perempuan dari desa-desa terpencil, atau disebut Jaji, datang ke Sokoto untuk menerima pengajaran tambahan. Lalu kembali dan mengajarkannya kepada wanita di pedesaan.
Metode pengajaran utama yang digunakan para Jaji adalah pengulangan dan penghafalan yang disusun oleh Asma’u dan perempuan lainnya. Di antara puisinya memuat tema ajaran pokok seperti pentingnya Alquran, tauhid, para waliyullah wanita, tanda-tanda kiamat, jihad, cinta kepada Nabi Muhammad dan lain sebagainya. Melalui “puisi mengajar” itulah, Asma’u mengajar generasi perempuan dan anak-anak Afrika.
Karya Nana Asma’u konon mencapai empat puluhan lebih. Namun yang diketahui di antaranya adalah Harakat al-Lughah wa Adabiha fi Nigeria, al-Tsaqafah al-‘Arabiyyah fi Nigeria, Tanbih al-‘Amilin dan Fi Khashaish Suwar al-Quran al-Karim. Selain itu, beberapa syair yang masyhur adalah berjudul Ila Allah Asyku (Hanya kepada Allah aku mengadu), A’aynayya Juda (Apakah kedua mataku rela?)” dan Akrim Bijahbadzina (Muliakanlah cerdikpandai kami).
Tidak mudah untuk mengetahui tulisan Asma’u. Jean Boyd dalam bukunya The Caliph’s Sister mengakui bahwa pengetahuannya dan sebagian besar orang mengenai Nana Asma’u masih samar. Ia memang terkenal, namun fakta yang diketahui hanya sebatas; dia adalah putri Shehu Utsman dan saudara perempuan Muhammad Bello. Semua orang tahu tentang dia, tapi tidak ada orang yang saya ajak bicara, yang bisa memberitahu saya detil apa saja tentang hidupnya.
Nana Asma’u wafat pada tahun 1864 M. Pemakamannya dihadiri oleh ribuan orang dari berbagai penjuru. Terutama wanita-wanita dan anak-anak dari desa terpencil yang ia perjuangkan masa depannya. Sepeninggalnya, kelas yang ia dirikan di rumahnya dilanjutkan oleh saudara perempuannya, Maryam. Pada tahun 1870-an ia berpindah ke tempat saudara perempuannya.