Qiroah

Al-Qur’an dan Ramadhan (5): Ibadah Tidak Harus di Masjid

Portrait of an Asian Muslim man, woman reciting surah al-Fatiha passage of the Qur'an, public item of all Muslims in a daily prayer at home in a single act of sujud called a sajdah or prostration

Ritual ibadah di bulan Ramadhan kali ini dipastikan banyak dilakukan di rumah, tidak di masjid, termasuk pelaksanaan shalat tarawih, shalat berjamaah, dan tadarus. Ini seiring dengan himbauan pemerintah dan MUI untuk tetap di rumah (stay at home) demi mengurangi mata rantai penularan COVID-19.

Bagi umat Islam, hal ini sejatinya tidak menggangu sama sekali terhadapan kekhusyukan pelaksanaan ritual di bulan Ramadhan. Sebab, dalam banyak kasus, tempat hanya merupakan sesuatu yang bersifat komplementer, pelengkap saja. Sedangkan yang menjadi prinsip adalah ritual itu sendiri beserta syarat dan rukunnya.

Bagi umat Islam, menjalankan ritual tidak selalu harus dilaksanakan di satu tempat, kecuali ritual-ritual tertentu seperti shalat Jum`at dan beberapa rangkaian ibadah haji dan umrah. Selebihnya, ritual dapat dilaksanakan di mana saja: di rumah, di kantor, di hotel, di tempat terbuka, di pinggir sungai, atau di mana saja.

Bahkan, kata Nabi, “Semua wilayah bumi dijadikan masjid dan suci bagiku.” Tidak jelaskan ini bahwa ritual dapat dilaksanakan di mana saja? Hadits ini menegaskan bahwa dalam menjalankan agama, jangan terpaku di tempat tertentu, termasuk masjid. Di mana saja ada kesempatan untuk menjalankan ritual, maka kerjakanlah.

Nabi mengajarkan kita cara shalat di kendaraan, cara shalat di medan peperangan, cara shalat di lapangan terbuka, cara shalat di rumah. Ini adalah persoalan fiqih beribadah di luar masjid.

Perintah-perintah beribadah di dalam al-Qur’an, selain perintah haji dan umrah, umumnya tidak menyertakan tempat.  Ini adalah pembuktian lain bahwa tempat tidak menjadi halangan seseorang untuk menjalankan ibadah. Salah satunya adalah firman Allah SWT.:

“…dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).” (Q.S. Al-Hijr [14]: 99)

Perintah beribadah dinyatakan dalam bentuk fi`il amr (kata kerja perintah). Bentuk ini memberikan pengertian bahwa ibadah merupakan kewajiban setiap individu yang tidak boleh ditinggalkan.

Kata dasar “u`bud” adalah ‘abida seakar dengan kata ’abid (hamba), dan ‘ibadah. Secara tekstual, yang menjadi pihak penerima titah adalah Nabi sendiri, yang dapat dipahami dari dhamir (kata ganti) “ka/anta” (kamu sendiri) yang disimpan dalam ungkapan “u`bud”. Meskipun demikian, sesuai kaidah, perintah ini berlaku umum bagi setiap individu muslim.

Ibadah adalah setiap aktivitas yang mendatangkan keridaan Allah. Demikian sebagian ulama mendefinisikannya. Bentuknya bermacam-macam. Ada yang membaginya menjadi dua bagian besar: Mahdhah (ibadah ritual) dan Ghair Mahdhah (non-ritual). Jadi, pada dasarnya semua aktivitas positif bisa bernilai ibadah jika diperuntukkan bagi Allah.

Yang menjadi obyek beribadah adalah Allah, tetapi pada ayat ini diungkapkan dengan kata “rabbaka” (Tuhanmu). Kata rabb digunakan dalam Al-Qur’an untuk konteks Allah sebagai pengelola alam semesta, termasuk pengurus/pengelola urusan-urusan manusia.

Kesan yang dapat dibaca dari ayat tersebut adalah Sembahlah Tuhan yang telah mengelola alam semesta ini. Atau, karena Allah telah mengelola alam semesta, maka sangat pantas jika Dia disembah.

“Hatta ya`tiyaka al-yaqin” (sampai datang kepadamu al-yaqin). Preposisi “hatta” memiliki fungsi ghayah yang karenanya diterjemahkan “sampai” atau “hingga”. Artinya, ibadah diwajibkan sampai kita wafat.  Makna wafat didapatkan dari penafsiran terhadap kata “al-yaqin”.

Tengok sekali ayat di atas, tidak ada penjelasan tentang di mana saja ibadah harus dikerjakan. Pembacaannya, ibadah dapat dilakukan di mana saja. Tentu—sekali lagi—kecuali ritual-ritual tertentu yang dijelaskan harus dilaksanakan di tempat tertentu, seperti shalat Jumat dan ritual haji dan umrah.

Di masa pandemi COVID-19 ini, yang mana kita dihimbau untuk tetap berada di dalam rumah, marilah kita jalankan ibadah kita kepada Allah SWT. di rumah saja. Insya Allah akan tetap bernilai di hadapan Allah jika dijalankan dengan ikhlas dan mengikuti aturan-aturan syariat.

Apalagi jika menjalankannya dengan niat memberikan kebaikan untuk diri sendiri dan orang lain, yaitu agar tidak tertular atau menularkan virus kepada orang lain.

Subhanallah. Begitu dalam dan indah makna yang diperlihatkan ayat di atas. Wallahu a`lam bish-shawab. (mzn)

Tulisan ini disarikan dari Gerakan Peduli Bahasa Al-Quran.

Leave a Response