Pandemi Covid-19 berdampak luas pada berbagai sektor, termasuk pada sektor ketenagakerjaan. Di mana-mana terjadi gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran. Ini cukup memprihatinkan. Di tengah-tengah pemberlakuan kebijakan PSBB dan Stay at Home, sebagian orang malah harus kehilangan pekerjaannya. Dan ini pasti sangat berdampak pada anggota keluarganya.

Dalam Islam, fenomena PHK ini dapat dilihat dari berbagai sisi-sisi; dapat dari sisi pemilik perusahaan, dari sisi kesiapan pekerja yang di-PHK, dan dari sisi pemerintah.

Pemilik perusahaan sejatinya menempatkan nilai kemanusiaan pula dalam mem-PHK karyawannya, jangan hanya semata-mata faktor untung-rugi. Pekerja yang di-PHK harus mempersiapkan mental-spiritual menghadapi pemutusan tersebut. Pemerintah harus menyiapkan jaring pengaman sosial menghadapi gelombang PHK tersebut.

Islam mengatur semua tiga sisi tersebut. Apalagi ketenagakerjaan (ijarah) menjadi bagian dari pembahasan yurisprudensi Islam itu sendiri. Di bagian ajaran ini, Islam mengatur norma-norma penting terkait pemilik perusahaan dan pekerja. Mengenai kewajiban pemerintah terhadap rakyatnya, tentu Islam berbicara banyak tentangnya.

Ada satu ayat yang menurut saya merangkum ketiga sisi di atas, yaitu firman Allah SWT.:

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. Al-Qashash [28]: 77)

Tidak secara jelas diungkapkan siapa yang diperintah berbuat ihsan tersebut. Pola seperti ini dalam Al-Qur’an umumnya untuk menunjukkan bahwa titah tersebut berlaku bagi siapa saja. Dalam konteks tema ini, perintah tersebut ditujukan untuk pengusaha, pekerja, dan pemerintah.

Ada banyak definisi ihsan dikemukakan para ulama tafsir, tentunya sesuai dengan konteks ayat. Pada ayat ini, kata “ihsan” dapat didefinisikan dengan “berbuat baik kepada orang lain di luar kewajiban yang harus diberikan kepada orang tersebut”.

Secara hitung-hitungan ekonomi, seorang pengusaha harus mem-PHK karyawannya dan itu wajar dalam dunia usaha, tetapi dengan mempertimbangkan faktor kemanusiaan, pengusaha tersebut tidak melakukan PHK karyawannya. Itulah ihsan.

Seorang pekerja/karyawan sebenarnya bisa saja mempertahankan haknya untuk tidak di-PHK, tetapi mengingat kinerja perusahaannya sudah menurun, ia menerimanya dengan lapang dada. Itulah ihsan.

Pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan-kebijakan jaring sosial untuk mengatasi dampak sosial dan ekonomi bagi mereka yang di-PHK, tetapi ia terus mengeluarkan kebijakan-kebijakan tambahan. Itulah ihsan.

Titah berbuat ihsan pada ayat ini digandengkan dengan penjelasan “sebagaimana Allah berbuat ihsan kepadamu.”  Preposisi “seperti” (ka) pada ayat ini memberikan makna bahwa kita memang harus berakhlak seperti akhlak Akhlak Allah (takhallaqu bi akhlaqillah).

Renungkanlah, Allah tidak bosan-bosannya menurunkan karunia dan kenikmatan kepada kita semua, padahal tidak ada kewajiban untuk-Nya untuk melakukan hal tersebut.

Titah untuk berbuat ihsan disertai dengan larangan berbuat kerusakan (fasad) di muka bumi. “Al-Fasad” adalah aktivitas apa saja yang bersifat destruktif yang eksesnya dirasakan orang banyak. Titah ini jika diterapkan dalam konteks ketenagakerjaan, sejatinya akan melahirkan sebuah tatanan sosial yang baik.

Pengusaha tidak akan semena-mena mem-PHK karyawannya. Ia tidak akan menggunakan kesempitan untuk merugikan para pekerjanya. Ia akan menunaikan segala kewajibannya kepada pekerja, tanpa merugikan mereka. Ia akan memberikan bonus kepada pekerja-pekerjanya yang teladan.

Pekerja tidak akan asal-asalan bekerja sehingga merugikan perusahaan. Ia akan bekerja secara profesional dan penuh tanggung jawab. Ia tidak akan menuntut kepada perusahaan melebihi batas kemampuan perusahaan tersebut.

Ia juga tidak akan melakukan tindakan-tindakan yang merugikan orang lain selepas ia di-PHK. Sebaliknya, ia akan berikhtiar untuk mencari penghasilan lain secara halal.

Pemerintah tidak akan menelantarkan rakyatnya yang terkena gelombang PHK. Aparat pemerintah pengelola bantuan sosial tidak akan berbuat curang terhadap pengelolaan bantuan. Aparat pemerintah pengelola bantuan sosial akan membagikan bantuan tersebut kepada pihak-pihak yang memang berhak menerimanya.

Allah selamanya tidak mencintai perbuatan fasad. Kata “selamanya” dipahami dari bentuk fi`il mudhari’ pada ayat di atas. Dalam gramatika bahasa Arab, bentuk kata kerja seperti ini memberikan arti sekarang, akan datang, dan terus-menerus. Jadi, sampai kapan pun, perbuatan merugikan pihak lain tidak akan dicintai-Nya, artinya senantiasa dibenci-Nya.

Marilah semua pihak berempati kepada saudara-saudara kita yang di-PHK. Mari kita bantu mereka sekemampuan kita untuk meringankan bebannya. Berbuat ihsanlah kepada mereka. Jadikan bulan Ramadhan ini sebagai momentum untuk saling meringankan beban.

Demikian kajian Al-Qur’an dan Ramadhan tentang tafsir ayat yang menghimbau perusahaan tidak semena-mena melakukan PHK kepada para pekerja/ karyawannya menurut Islam. Subhanallah. Begitu dalam dan indah makna yang diperlihatkan ayat di atas. Wallahu a`lam bish-shawab.

Leave a Response