Tanpa dilatari momentum komunal bersifat sosial dan kultural, serentak dan masif, orang-orang memamerkan masakan selama di rumah saja dalam rangka isolasi diri menghadapi wabah Covid-19. Ya, memasak saat wabah corona. Inilah gerakan spontanitas tanpa embel-embel birokratis ketika bisnis makanan daring sempat melejit dan warung makan dengan menu futuristik berekspansi.

Pelbagai promo dan layanan antar makanan tentu masih sangat diminati. Unggahan-unggahan masakan buatan rumah tangga yang menyapa di status WhatsApp, beranda Facebook, atau cerita IG, bukan sekadar alasan untuk ngirit, hidup lebih sehat dan bersih, atau rekreatif mengalami aktivitas merumah.

Bahkan beberapa hotel biasa menyajikan menu baru dan promo bersantap di tempat. Menggarap katering menu rumahan work from home olahan chef  seolah mereka memasak langsung dari dapur kita.

Secara tidak sadar, ada perayaan kembali pada salah satu kebudayaan tertua yang ditemukan manusia. Memasak telah menentukan adaptasi tubuh menerima makanan dan bagaimana peradaban makan dibentuk. Perjalanan panjang dari cara hidup berburu-mengumpul ke bertani membuat cara makan dan jenis makan pun berevolusi. Racikan resep makan(an) pun menjadi salah satu hal diwariskan dari leluhur.

Dalam sejarah peradaban makan, kelebihan manusia ada bukan karena selera terhadap makanan. Manusia menciptakan pola sesuai kemampuan beradaptasi di banyak latar serta kondisi. Menurut Richard Wrangham, ahli primatologi Harvard, salah satu temuan sangat menentukan adalah teknologi memasak yang dimulai sejak 40.000 tahun silam (Ann Gibbons di National Geographic edisi September 2014).

Dikatakan, “Mengolah dan memanaskan makanan “mempracernanya,” sehingga sistem pencernaan kita dapat menyerap lebih banyak makanan matang daripada mentah. Sehingga bahan bakar untuk otak pun bertambah.”

Selain bertungkus lumus dengan keajaiban proses kimiawi dilakukan pencernaan, kemampuan manusia memberi makna sering meletakkan peristiwa memasak secara emosional. Melampaui arti harfiah mengenyangkan tubuh, makanan justru menyatukan setiap orang dengan kenyataan di sekitarnya. Kita bisa membuktikannya lewat kutipan-kutipan yang dihimpun dalam Cooks Quotations (Helen Exley, 1995) yang menampilkan kebijakan makanan dan memasak dari tokoh lawas sampai mutakhir.

Peristiwa memasak sangat penting karena memiliki tautan dengan keluarga, kondisi alam, gairah seni dan pengetahuan, sampai situasi sosial dan politik. Ahli sekaligus penulis buku makanan dan perjalanan Keith Floyd (1984-2009) misalnya mengatakan, “Rumah adalah tempat di mana semangkuk sup mendidih perlahan-lahan di atas tungku, memenuhi dapur dengan aromanya yang lembut…memenuhi hatimu, dan kemudian perutmu, dengan keriangan.”

Sup adalah sajian dasariah rumah. Di Indonesia dengan kebudayaan makan bersama di rumah, pasti pernah merasakan sup yang diolah dari dapur sendiri. Bahkan dalam strategi pengiklanan penyedap rasa, perusahan tahu cara menampilkan keluarga harmonis dan hangat menyantap sup olahan ibu.

Kritikus dan penulis Inggris John Ruskin (1819-1990) bahkan meletakkan derajat memasak berkelas intelek sekaligus romantik. Ruskin mengatakan, “Memasak berarti memahami Medea, Circe, Calypso, dan Sheba. Memasak sama artinya dengan memahami rasa dari berbagai jenis tanaman, buah-buahan, minyak dan sebagainya.

..Memasak juga berarti belajar berhemat seperti nasihat nenek moyangmu. Memasak sama halnya dengan menguasai ilmu kimia modern, mengetahui seluk beluk seni dari Perancis, dan mengetahui adat istiadat orang Arab. Memasak berarti meminta setiap orang untuk menikmati hidangan yang lezat untuk disantap.”

Prestasi dari Dapur

Hari-hari di rumah selama wabah Corona, mengepulkan dapur keluarga. Barangkali, inilah ruang paling sering disambangi daripada ruang lainnya yang justru mengaburkan tatanan patriarki yang sering menempatkan perempuan atau ibu “ditakdirkan” memasak. Di sana juga ada bapak lebih jago masak dan anak-anak belajar memasak. Yang cukup menarik kabar dari kaum muda lajang ngekos yang di hari biasa kemungkinan lebih rajin makan di luar.

Tiba-tiba ada kesadaran bahwa hakikat kenyang serta sehat sekaligus berdaulat cukup pangan di tengah wabah tidak bisa melulu diatasi oleh makanan instan dan layanan pesan antar. Kaum muda ini memilih mengepulkan kebudayaan berhemat khas nenek moyang dan menekan konsumerisme berlebih makan.

Salah satu penyair asal Solo dan kini berkarir Jogja misalnya, pada 5 Maret 2020 mengunggah foto masakan tidak bernama status WhatsApp. Masakan mungkin dimaksudkan sebagai oseng-oseng. Ia melengkapi foto dengan caption, “kenapa pengetahuan dasar biologi agak penting, bahkan mungkin sebelum pengetahuan boga itu sendiri. hasil olah rasaku selama ini selalu memilih satu: enak atau bagus penampilannya. belum dua-duanya. hoaaam.”

Memang, paduan jamur, sosis, dan tempe yang hancur menampilkan warna kurang semarak. Tapi tampilan tidak molek ini bisa menjanjikan satu hal, rasa enak.

Di hari sama, teman sekaligus perempuan karir dari Semarang juga mengunggah masakan berkuah dan menulis, “Potongan terong, buncis, kol, kulit melinjo dan irisan cabai dimasak dengan kuah santan encer yang gurih. Yups, lodeh merupakan salah satu masakan tradisional Indonesia yang sangat enak. Hahaha setidaknya versiku.”

Menjadi perempuan tradisional mahir memasak itu biasa. Tapi membanggakan justru di saat prestasi diukur dengan latar pendidikan modern dan capaian karir. Memasak adalah pilihan merdeka yang membanggakan.

Jurnalis dan penulis makanan Michael Pollan mengatakan tradisi dan kebudayaan memuat sumber kebijaksanaan makanan yang menyelamatkan hidup manusia. Pollan menghimpun kebijaksanaan yang patut dijalani dan sangat relevan saat ini dalam buku Food Rules: Pedoman bagi Para Penyantap Makanan (2011).

Di sini, memasak menjadi salah satu jaminan bagi kesehatan,“Jika Anda mengizinkan pihak lain memasak untuk Anda, lebih baik dimasak oleh manusia lain, bukan perusahaan. Umumnya, perusahaan memasak menggunakan terlalu banyak garam, lemak, dan gula, begitu pula dengan zat pengawet, pewarna, dan hal-hal biologis baru lainnya.”

Orang-orang tidak memasak bukan masalah tidak bisa memasak, tapi waktu, harga, ketidakpraktisan, beban kerja, bahkan macet. Pollan merasa penting menambah catatan untuk menyantap menu restoran hanya di momentum khusus.

Saat ini, industrialisasi makanan memang paling menyokong kebutuhan pangan. Pollan menganjurkan, “Bukanlah makanan kalau datangnya melalui jendela mobil Anda” atau “Bukanlah makanan jika memiliki nama yang sama di semua bahasa (pikirkan Big Mac, Cheetos, atau Pringles).”

Memasak untuk menikmati karya rasa, bukan semata hasil teknis. Bahkan di tengah wabah ini, makanan selalu berupaya menciptakan mukjizat kebersamaan. Solidaritas mewujud dalam berbagi sembako, mengenyangkan tidak berpunya, saling mengirim sayuran, donasi pangan, atau pendirian dapur-dapur umum untuk saling menguatkan lumbung pangan. Sekecil apa pun, solidaritas tetap dimasak di tengah harapan.

Ya masakan, buatlah setiap orang tidak lapar hari ini!

 

Leave a Response