Cerita ini ada dalam buku “Guruku Orang-Orang dari Pesantren” karya Kiai Saifuddin Zuhri, menteri agama tahun 1962-1967 yang juga ayah Lukman Hakim Saifuddin, menteri agama tahun 2014-2019.

Ada seorang kiai yang tengah mengajar, tiba-tiba kedatangan seorang tamu bekas teman sepesantren yang kemudian menjadi seorang kiai seperti dia di salah satu tempat yang jauh.

Saking senangnya kedatangan teman lama dan ingin menghormatinya, kiai itu kemudian terpaksa meliburkan pengajian yang biasa diampunya. Kiai itu kemudian menyuruh santrinya, sebut saja Zaid, untuk pergi ke pasar membeli kambing, serta disuruhnya pula Zaid memasak gulai kambing.

Kiai lalu mempersilakan tamunya mendiami kamar tamu yang khusus disediakan.

Sementara kedua sahabat itu ngobrol ke sana kemari dengan amat asyiknya, tentu saja saling mengisahkan pengalaman dirinya masing-masing, Zaid menghidangkan suatu jamuan istimewa. Tentu tidak ketinggalan gulai kepala kambingnya.

Dua kiai ini menyantap gulai kambing itu dengan sangat lahap. Zaid berada di kejauhan kalau-kalau ada hal yang harus dikerjakan, mengambil sendok atau menambah nasi dari dapur dan sebagainya.

Diceritakan bahwa dua sahabat itu tidak henti-hentinya ngobrol. Selalu ada yang dikisahkan dan diperbincangkan. Maklum dua kiai itu sudah tidak berjumpa berpuluh-puluh tahun.

Zaid merasa betapa lamanya mereka bersantap, tetapi hatinya disabar-sabarkan menanti, biarpun perutnya sudah merasa lapar sekali. Ia berharap akan bisa menikmati sisa hidangan yang disuguhkan pada kiai.

Ia merasa bahagia dapat berkhidmat dengan kiai. Tetapi yang membuat Zaid cemas adalah gulai kambing itu hampir ludes disantap kedua kiai ini. Untuk menghibur diri ia melirik mengawasi gulai, katanya dalam hati, “Syukurlah lidah kambing itu masih ada, mungkin bagian dialah.”

Baru saja berkata demikian dalam hatinya, tiba-tiba kiai bertanya pada tetamunya, “Oooh, jadi sudah 200 juga santrimu?” sambil mencomot lidah kambing.

Zaid kaget juga, tetapi dihiburlah batinnya, ah, kupingnya masih ada satu, mungkin itulah bagianku.

Sang tetamu mengajukan pertanyaan kepada tuan rumah, “Ente sudah punya menantu juga? Dan menantumu pun membantu mengajar di pesantren?” sambil membetot kuping kambing dan dikunyahnya cepat-cepat.

Zaid tambah panik dibuatnya, tetapi ia tenangkan hatinya sambil menghibur diri. “Ya, tapi hidung kambing itu masih ada sebagian, itulah bagianku.”

Kiai melanjutkan kisahnya, “Begini, aku ingin istriku membuka pesantren khusus buat anak-anak perempuan. Ente setuju itu?” sambil tangannya menyomot bagian hidung idaman Zaid.

Bukan main kecewa hati Zaid melihat idaman hatinya, potongan hidung kambing itu, sudah wassalam. Ia harus lebih sabarkan hatinya, dan ia melihat bahwa ada sisa dari gulai kepala kambing itu yang belum dijamah, yaitu mata kambing yang tinggal satu-satunya.

“Inilah, insyaallah, bagian ana,” demikian Zaid menghibur diri.

Dikira selesailah kedua kiai ini bersantap, sudah kedengaran dahak masing-masing menandakan keduanya makan dengan lahap dan nikmat. Kiai masih mengajukan pertanyaan pada tamunya, “Jadi sudah bulat ente naik haji tahun ini?”

Tiba-tiba tangan kiai hinggap di tulang-tulang kepala kambing sambil menggerayangi mata yang tinggal sebiji, dicolek-colek lalu dikirimnya ke mulut. Bukan main paniknya Zaid, ia tak sabar lagi, melompatlah ia memasuki ruangan hidangan.

Tak bisa menahan lagi, ia maju menghampiri kiai sambil menyibakkan matanya, lalu katanya, “Kiai, kalau masih kurang, ini mata saya…!”

Leave a Response