Biografi singkat ini menceritakan seorang tokoh sufi yang sangat terkenal yang bernama Jalaluddin Rumi. Nama kecilnya yakni Muhammad, lalu mendapat julukan Jalaluddin. Murid-murid dan para sahabatnya memanggil beliau dengan panggilan Maulana (Tuanku).

Maulana searti dengan kata Khawaja dalam bahasa Persia, sebuah penghargaan maknawi dan sosial. Kata Maulana sendiri adalah terjamahan dari bahasa Persia Khudawanda kar, yang mana julukan ini pertama kali diberikan oleh ayahnya. Dalam literatur Persia modern, dia terkenal dengan sebutan Mevlevi.

Terkadang disematkan pula julukan Rumi atau Maulana Rumi karena dia hidup di sebuah negeri Romawi, tepatnya di daerah Asia Kecil atau Anatolia yang saat ini lebih dikenal dengan sebutan Turki. Sementara itu tempat tinggal ayah dan ibunya berada di kota Konya. Di negara Barat, dia dikenal dengan sebutan Rumi.

Maulana Jalaluddin Rumi lahir di kota Balkha, salah satu kota di daerah Khurasan, pada 6 Rabi’ul Awal 604 H atau 30 September 1207 M. Nama asli ayah beliau adalah Bahauddin Muhammad, tetapi nama yang lebih masyhur adalah Baha’ Walad.

Baha’ Walad adalah seorang pakar Fiqih, pemberi fatwa, sekaligus salah satu guru tarekat al-Kubrawiyah (pengikut Najmuddin al-Kubra). Ia mendapat julukan Sultan al-Ulama (pembesar para Ulama). Dalam salah satu riwayat dikatakan bahwa julukan itu diberikan langsung oleh Nabi Muhammad Saw. melalui mimpi.

Sebagian riwayat menyatakan bahwa nasab Baha’ Walad dari jalur ayah bersambung kepada Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq, sementara dari jalur ibu memiliki ikatan darah dengan raja-raja Khawarizmi.

Gejolak politik antar kerajaan pada masa itu memaksa keluarga Rumi untuk hijrah dari satu tempat ke tempat lainnya. Misalnya saat hijrah ke Asia Kecil, mereka tinggal sementara di kota Balkha, lalu pindah ke kota lain Khurasan, seperti Wakhsy, Tirmidz, dan Samarkand.

Keluarga Baha’ Walad juga sempat singgah ke kota Naisabur, pasangan dari kota Khurasan, lalu disambut ole Syekh Fariduddin Al-Attar. Suatu ketika, Syekh Fariduddin pernah mengungkapkan rasa kagumnya dengan kepribadian Maulana Rumi. Meski masih belia, namun sudah memiliki tingkat kecerdasan dan ketangkasan yang luar biasa. Beliau juga memberikan kitab karangannya yang berjudul Asrar Namih (Book of Secrets) kepada Rumi dan berkata pada ayahnya: “Sesungguhnya anakmu akan menyalakan api dengan cepat di sekam dunia ini.”

Kemudian dari kota Naisabur, mereka beranjak menuju Baghdad. Terdapat bermacam kejadian yang dialami ayah Rumi selama tiga hari di sana. la pernah meramalkan kemungkinan runtuhnya Dinasti Bani Abbasiyah, kedatangan khalifah ke kediamannya, dan mangkatnya sang lentera agama, Abu Hafs as-Suhrawardi, seorang bijak yang alim, terpandang, dan pemilik karya monumental ‘Awarif al-Ma’arif (The Knowledge of The Spiritually Learned). Dari Baghdad,  Baha’ Walad membawa keluargnya keluar menuju Hijaz, kemudian bertolak ke kota Syam, dan menetap cukup lama di sana.

Beberapa versi riwayat yang tidak begitu valid menjelaskan perjalanan Baha’ Walad dan putranya Maulana Rumi menuju kota Arzanjan di negara Armenia. Lalu mereka juga pernah singgah dalam waktu yang lama di kota Ak-Shahr (Alsehir), Malta, dan Laranda, yang menjadi tempat wafatnya ibunda Maulana Rumi yang bernama Mu’mine Khatun.

Di tempat ini pulalah Rumi dipertemukan dengan seorang gadis bernama Jauhar Khatun yang kemudian dinikahinya dan melahirkan putra yang bernama Sultan Walad.

Perjalanan Baha’ Walad bersama putranya sampai ke kota Konya pada tahun 626 H/ 1229 M. Kedatangannya dimuliakan oleh Sultan Seljuk Romawi, Alauddin Kaiqubad. Baha’ Walad meninggal dunia pada 18 Rabi’ul Awal 628 H/ 1231 M.

Sepeninggal ayahnya, kemudian Maulana Rumi menggantikan kedudukan ayahnya dalam mengajar ilmu Fiqh, memberi fatwa dan mendidik masyarakat.

Diceritakan pula bahwa Maulana Rumi menetap di Kota Halb (nama kuno Kota Aleppo) sebelum menjelajahi separuh wilayah Damaskus. Sebagian pakar berpendapat bahwa wawasan luas Maulana Rumi yang berkaitan dengan keilmuan Islam terlihat pada kitabnya Matsnawi. Rumi berhasil memperoleh pengetahuan tersebut saat ia masih berada di Halb dan Damaskus

Dua kota tersebut terkenal dengan sekolah-sekolah Islam terkemuka yang pengajarannya dijalankan oleh para cendikiawan ilmu Fiqih tersohor. Di dekat sekolah itu, tepatnya di Damaskus, juga hidup seorang guru Irfani terbesar, Syekh Muhyiddin Ibnu ‘Arabi. Termasuk dari kebiasaan para pencari ilmu tersurat maupun tersirat adalah menelusuri separuh Damaskus dari setiap penjuru dunia Islam.

Kemudian Maulana kembali ke kota Konya dengan membawa predikat sebagai seorang yang alim akan ilmu-ilmu keislaman. Para cendikiawan dan ulama menyambut kedatangannya. Begitu pula dengan para pengikutnya, yakni kaum sufi.

Maulana Rumi meninggalkaln dua buah karya yang mengupas tentang sastra. Di antara kitabnya ada yang redaksinya berbentuk prosa dan ada pula yang susunannya berbentuk nazam. Karya yang redaksinya berbentuk prosa adalah:

Sementara karya-karya Rumi yang berupa Nazam adalah:

Di malam terakhir sebelum beliau meninggal, Rumi terkena demam parah. Namun tak sedikitpun terlihat di wajahnya ada tanda-tanda sakratulmaut. Bahkan, beliau juga masih sempat menyenandungkan lagu-lagu ghazal dan menampakkan kebahagiaan di wajahnya. la juga melarang pan sahabatnya untuk bersedih atas kepergiannya:

Di malam sebelumnya aku bermimpi melihat seorang syekh di pelataran rindu, la menudingkan tangannya padaku dan berkata: “Bersiap-siaplah untuk bertemu denganku.

Konon, syair di atas adalah bait terakhir yang digubah oleh Rumi. Akhirnya pada Ahad, 5 Jumadil Tsani 672 H/ 1273 M, ketika siang telah mengumandangkan azan perpisahan dan di senja harinya dua matahari terbenam sekaligus di ufuk Barat, yang salah satunya adalah sang surya Maulana Jalaluddin Rumi. (M. Zidni Nafi’)

Biografi ini disarikan dari buku Jalaluddin Rumi, Fihi Ma Fihi, Yogyakarta: Forum, 2014, h. 4-19.

Leave a Response