Istana-istana terbangun megah nan indah. Istana itu seperti gedung pencakar langit, bertingkat-tingkat tapi tak dibuat oleh tangan-tangan berdosa. Taman istana terdapat berbagai bunga. Juga kupu-kupu tak terhitung jumlahnya. Rerumputan hijau ikut memperindah. Tak ada siang malam. Juga tak ada batas waktu. Semua penghuni bahagia sesuai keinginannya.

Hari Jumat pasar mulai ramai oleh penduduk di sana. Mereka sibuk. Tidak dengan Zahrah. Salah satu penduduk. Ia berpakaian serba hijau yang terbuat dari sutera tebal dihiasi dengan manik-manik. Bercahaya dan harum misik. Ia juga mengenakan kerudung.

Zahrah tak terlalu bergairah datang ke pasar. Ia duduk di atas batu yang terbuat dari mutiara di dekat sugai susu yang harum nan jernih. Namun, Zahrah tak tergoda untuk meneguknya. Ia hanya diam memandangi taman bunga.

Di udara ada seekor kuda bersayap mendekat. Lalu kuda itu turun di dekat batu yang diduduki Zahrah. Seseorang turun dari punggung kuda. Ia duduk menemani Zahrah di atas batu. Kuda itu terbang lagi bagai burung.

Sesekali ada pelayan datang kepada Zahrah membawa nampan yang terbuat dari emas. Nampan itu berisi makanan lezat. Zahrah melihat pelayan itu. ia senyum sambil menggelengkan kepala. Pelayan itu berlalu.

“Kenapa Mbak Zahrah hanya merenung?” Tanya seseorang di dekat Zahrah. “Mbak mikirin apa?” Lanjutnya.

“Saya khawatir kepada suami.”

“Memangnya kenapa dengan suami Mbak?”

Zahrah diam. Mengingat masa-masa dengan suaminya. Kenangan tak terlupakan yang mengantarkan dirinya menjadi penduduk Jannah. Memori yang menghentikan waktu. Segala terasa indah untuknya.

Semua bermula dari pertemuan tak terduga. Saat ia keluar dari kampus untuk menunggu angkot, duduk di pinggir jalan. Ada seseorang mendekat. Mengambil sesuatu di belakang seorang gadis. Tiba-tiba laki-laki itu menjulurkan dompet hitam pada gadis itu. gadis itu diam memandanginya.

“Ini dompet, Adek?”

Zahrah mengambil dompetnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia lupa. Lelaki itu memandang Zahra agak lama. Lalu senyum. Zahrah tak membalas senyum itu. Ia hanya melamun.

“Angkot?” Tanya seorang kernet. Tak sadar angkot sudah mangkrak di depannya. Zahrah mengangguk. Ia meninggalkan laki-laki itu.

“Kenapa Mbak tidak mengucapkan terima kasih?” Sela perempuan itu.

“Saya baru ingat di dalam angkot.”

Zahrah minta turun dari angkot. Ia berniat mengucapkan kalimat itu. tapi laki-laki itu sudah berlalu. Dalam hati ia berharap bisa bertemu kembali. Mungkin besok…

Sudah dua minggu ia tak jumpa lagi. Ia mencari-cari juga tak kunjung dapat. Tapi ruang dan waktu agaknya telah menggelar rencananya sendiri.

Zahrah sejak lulus kuliah S1 sudah ditunangkan. Ia tak pernah tahu tunangannya. Karena tunangannya masih kuliah di luar negeri.

***

Pernikahan Zahrah dengan Ridwan selesai, setelah beberapa kali Ridwan salah mengucapkan nama pengantin.

Dalam hati Zahrah kecewa. Ia sadar bahwa suaminya masih menyimpan nama orang lain. Tapi Zahrah tak akan mengecewakan orang tuanya. Suatu saat ia yakin suaminya akan mencintainya.

Malam pertama untuk mempelai baru ibarat Traveling ke dunia dongeng yang hanya bisa dikhayal oleh orang yang tak menikah. Begitu juga Zahrah, tak merasakan Traveling itu. Ridwan beralasan badannya kurang sehat. Sudah dua minggu sejak pernikahan, Ridwan tak pernah sehat.

Zahrah selalu menyiapkan segala keperluan suaminya meski tak pernah digubris. Ia akan berusaha membahagiakan Ridwan.

Suatu ketika Zahrah sudah menyiapkan makan bersama.  Di ruang tamu Zahrah menunggu suaminya sampai larut malam. Tapi Ridwan tak kunjung datang hingga pagi. Zahrah gelisah. Apa benar bahwa suaminya tak pernah mencintainya? Gumamnya dalam hati.

“Mas kemana saja?”

Ridwan tak menjawab. Ia berlalu meninggalkan Zahrah.

“Mas jawab pertanyaan saya.” Sambil mengejar Ridwan.

Ridwan berhenti. Ia tatap Zahrah. “Saya akan menceraikan kamu.”

Zahrah tersentak kaget. Air matanya hampir buncah. Tapi, cepat-cepat ia  tahan.“Memangnya salah saya apa Mas?”

“Kamu tidak salah apa-apa. Hanya saja saya tidak mencintai kamu. Kita dijodohkan.”

Zahrah diam membisu. Ia tatap wajah suaminya. Bibirnya gemetar. Sesaat ia mengucapkan kata. “Saya ridho Mas Ridwan nikah lagi. Tapi jangan ceraikan saya. Izinkan saya berbakti pada Mas. Cinta saya hanya untuk suami saya. Yaitu Mas Ridwan.”

“Kalau itu mau kamu, ya terserah. Yang penting saya akan menikah lagi.” Ridwan berlalu.

Zahrah mematung. Tak sadar apa yang dikatakan. Kenapa bibir Zahrah begitu saja berucap. Apakah ia akan sanggup menerima semua?

Perempuan mana yang merelakan suaminya mendua? jika bukan perempuan itu adalah perempuan salehah.

Sesaat pelayan datang lagi menawarkan makanan. Zahrah menggeleng. Lalu pelayan itu pergi.

“Mbak tahu akibat mengatakan itu?” Zahrah mengangguk. Matanya berkaca-kaca.

Selesai Ridwan menikah. Semua perhatiannya tertuju pada istri ke duanya. Hati mana yang tak sakit, saat ia peduli pada seseorang, tapi seseorang itu tak memedulikannya? Begitulah kejadian yang dialami Zahrah. Hati yang terpecah-pecah ia pendam sebaik mungkin agar tak diketahui suaminya.

Perhatian istri kedua kepada Ridwan, jika dibandingkan dengan Zahrah tidak ada apa-apanya. Tapi Zahrah masih peduli terhadap suaminya, di kala sakit, ada masalah, sampai pertengkaran dengan istri barunya.

Tak penting bagi Zahrah apakah suaminya cinta padanya atau tidak, yang penting adalah bagaimana Zahrah senantiasa membuat suaminya bahagia. Mencintai tapi tak dicintai adalah hal yang wajar. Karena cinta adalah perasaan yang tak bisa dipaksa.

Tuhan telah memberi pelajaran pada seseorang melalui kisahnya. Entah seseorang sadar atau tidak saat itu. tapi suatu saat ia akan sadar.

Setiap harinya Zahrah tak pernah lupa apa kebutuhan suaminya. Hati Ridwan mulai terketuk. Ia baru menyadari cinta Zahrah. Tapi, guratan takdir tak menghendaki pengabdian Zahrah berlangsung lama. Lagi-lagi Ridwan akan mendapat pelajarannya.

Ridwan terlambat memberi cintanya pada Zahrah. Ridwan kehilangan  Zahrah untuk selama-lamanya. Terkadang orang harus menunggu sampai malam hari untuk mengerti betapa menyenangkannya siang hari.

Ridwan menemukan sebuah kotak kecil saat ia membersihkan kamar Zahrah. Kotak itu berisi sepucuk surat. Zahrah meninggalkan surat untuk Ridwan. Ia duduk di kasur membuka surat itu dan membacanya. Air mata Ridwan buncah.

Assalamualaikum… Mas Ridwan. Suami tercinta.

Mas ingat pertemuan pertama kita. Lima tahun sebelum pernikahan kita, saat Mas memberikan dompet hitam pada seorang gadis? Gadis itu adalah saya. Zahrah. Saya lupa mengucapkan terima kasih. Saat itu saya teringat tunangan saya yang tak pernah saya tahu wajahnya. Saya berharap tunangan saya adalah seseorang yang memberi dompet itu. yaitu Mas Ridwan.

Saat itu saya turun dari angkot untuk mengucapkan terima kasih, tapi Mas sudah berlalu. Dan saya mencari-cari Mas selama dua minggu. Harapan itu kandas. Ternyata tuhan mentakdirkan saya bertemu lagi setelah lima tahun. Mas Ridwan tidak tahu saya. Karena saat itu saya bercadar. Saya tak ingin selain suami saya melihat saya. Saya tak ingin wajah ini menjadi perantara dosa.

Saya ucapkan “Terima kasih” untuk dompet yang ditemukan Mas dan “terima kasih” saya banyak belajar dari Mas tentang kesabaran dan ketabahan. Saya akan terus berdoa untuk kebahagiaan Mas. Semoga tuhan membahagiakan Mas Ridwan.

Salam, Zahrah. Istri yang selalu mencintai Mas…

“Mbak tidak tersakiti saat dimadu?”

“Perempuan mana yang tak tersakiti saat ia dimadu?” Jawabnya.

“Kenapa tidak melarang suami Mbak untuk kawin lagi?”

“Agama tidak melarang poligami. Kenapa saya akan melarang poligami? Meski itu menyakitkan.”

Perempuan itu memanggil kuda terbangnya. Ia berlalu meninggalkan Zahrah sendiri. Sejenak Zahrah teringat suara seseorang. Suara yang tak asing. Lalu Zahrah menoleh ke perempuan itu. Perempuan itu tersenyum kepada Zahrah. Perempuan itu…

Maafkan saya Mbak. Saya telah merampas kebahagiaan Mbak dengan Mas Ridwan. Sebuah surat yang ditinggalkan perempuan di samping Zahrah.

Leave a Response