Dalam dunia tasawuf, nama Jalaluddin Rumi mungkin sangat familiar bagi kita. Iya, dia lah sosok pendiri dan muassis Tarekat Maulawiyah yang menjunjung tinggi akan esensi cinta. Perkataannya yang indah nan terang bak mentari terbit di waktu fajar yang menyinari kita dari gelapnya sang malam, begitu kata para muridnya.
Di sisi lain, saat para sufi dan ahli irfan di zamannya memilih jalan khouf (takut) dalam ajaran tarekatnya dan juga memilih hidup zuhud menjauhi gemerlapnya dunia, Rumi malah sebaliknya.
Ia memilih jalan cinta dan membaur bersama dunia, karena baginya dunia adalah wasilah untuk suluk menuju Sang Pencipta dan hakikat cinta merupakan keimanan manusia.
Dalam buku Rubaiyyat-nya, Rumi berkata;
Artinya:
“Oh, tingkah laku cinta adalah keimanan
Bukan duka, juga bukan kematian.”
(Rumi, Rubaiyyat, Ruba’i, 1416)
Begitulah Rumi, ia memandang semuanya dengan penuh cinta, sampai-sampai ia serupakan cinta dengan sebuah keimanan, dan tanpa cinta seseorang akan turun dari derajat kemanusian, sebagaimana yang pernah ia katakan dalam buku Divan e Syams-nya;
Artinya:
“Jika cinta tak ada dalam diri manusia
Ia seperti kayu dan bebatuan di hadapan Tuhannya.”
(Rumi, Divan e Syams, Qazal, 1331)
Dari bait di atas, terlihat sekali bahwa mazhab yang Rumi rintis adalah mazhab yang mengedepankan serta menjunjung tinggi akan nilai cinta, dan itu semua ia tunjukkan selama perjalanan hidupnya. Rumi tidak hanya berkata dalam gubahannya, namun ia memang benar-benar mengamalkan ajaran agama yang telah didakwahkannya.
Menebar kasih, cinta dan menghormati semua ciptaan yang ada merupakan tingkah laku Jalaluddin Rumi yang tak dapat dipisahkan dari dirinya. Bahkan di saat semua orang meremehkan dan merendahkan salah satu ciptaan Allah Swt. yaitu perempuan, Rumi berada di garda paling depan dalam membela eksistensi perempuan.
Benar, semua itu karena didikan dari sang ayah yang sangat menghormati perempuan, khususnya ibunya. Maka tak heran, jika akhirnya Rumi juga sangat mencintai istrinya dan menghormati semua permpuan yang ada di masanya. Bagi Rumi, menghormati perempuan merupakan salah satu syarat wajib yang harus dilakukan oleh seorang salik dalam sair o suluk-nya.
Dan salah satu perempuan yang beruntung serta menjadi saksi atas penuh cintanya Rumi terhadap perempuan adalah Kara Khatoon. Ia adalah istri kedua Jalaluddin Rumi. Baik Kara Khatoon atau pun Rumi, keduanya sama-sama ditinggal meninggal terlebih dahulu oleh pasangannya.
Hingga akhirnya mereka berdua bertemu dan bersatu dalam mahligai pernikahan untuk kedua kalinya dalam hidupnya.
Walaupun Kara Khatoon merupakan istri kedua Jalaluddin Rumi dalam hidupnya, tapi ia mendapatkan tempat yang sangat spesial di hati Rumi. Semua itu didapatkannya karena buah keikhlasannya dalam beribadah bersama Jalaluddin Rumi, bahkan para penulis sejarah mencatat cintanya kepada Jalaluddin Rumi begitu besar dan ikhlas semata-mata hanya karena ridha Allah Swt.
Hingga suatu ketika dalam buku Manaqib al-‘Arifin karya Syamsudin Aflaky, diriwayatkan;
Suatu hari di musim dingin, Syams Tabrizi berkunjung ke kediaman Jalaluddin Rumi. Setelah berbincang-bincang sebentar, keduanya lantas bergegas menuju mihrab untuk melakukan ritual ibadah bersama. Di saat yang sama, Kara Khatoon berada tepat di pintu mihrab untuk melihat bagaimana keduanya beribadah.
Tak lama setelah keduanya berada di dalam mihrab, tiba-tiba tembok mihrab runtuh dan muncullah enam orang pemuda yang membawa setangkai bunga untuk diberikan kepada Jalaluddin Rumi.
Setelah bunga diterima oleh Rumi, mereka semua bersiap-siap melaksanakan sembahyang berjamaah. Rumi yang sebelumnya memberikan isyarat kepada Syams Tabrizi untuk menjadi imam jamaah, akhirnya menjadi imam atas komando Syams Tabrizi.
Akhirnya sembahyang pun selesai, dan keenam pemuda itu kembali menghilang melalui reruntuhan tembok yang sama. Melihat kejadian yang aneh itu, Kara Khatoon tak sadarkan diri. Tak berselang lama, Rumi pun membangunkannya dan memberinya setangkai bunga yang tadi dibawa oleh salah satu keenam pemuda tersebut.
Di hari berikutnya, Kara Khatoon membawa bunga pemberian Rumi ke toko bunga untuk mengetahui jenisnya. Namun lagi-lagi ia dibuat kaget, karena ternyata bunga itu berasal dari Negara yang jauh dan tidak mungkin tumbuh di saat musim dingin seperti ini.
Setelah sampai di rumah, Rumi lantas berkata kepadanya, “Simpanlah bunga ini, jangan sampai orang lainnya menyentuhnya. Semoga Allah Swt. selalu menjagamu dari setiap keburukan yang ada.”
Dari kisah di atas tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa Rumi begitu sayang kepada istrinya, begitupun sebaliknya. Hingga akhirnya Rumi memberikan sesuatu yang sangat spesial (setangkai bunga) yang didapatkannya saat berada dalam keadaan mukasyafah kepada Kara Khatoon sebagai hadiah atas keikhlasannya selama ini.
Dan begitulah cinta; memberi tanpa harus diminta, menghormati tanpa melukai serta menyayangi hingga tak ada kata-kata lagi.