Menjelang hari raya Idulfitri, saya makin kerap melihat unggahan teman-teman saya yang saling berbagi antaran. Saya pun termasuk yang menerima bingkisan dari teman-teman saya. Sungguh konten seperti itu menenangkan hati. Menandakan bahwa kepedulian di antara teman-teman saya masih terbangun baik. Bahwa keberadaan kita tidak dilupakan oleh orang sekeliling.

Saya hanya tersenyum simpul sembari lega saat mendengar teman-teman saya berseloroh seperti ini di media sosial mereka.

“Alhamdulillah barusan dapat paket. Lumayan buat buka puasa.”

Atau seperti ini:

“Ya ampun, senangnya terima bingkisan dari si A. Tahu saja kalau anak kos rindu kampung halaman.”

Mungkin juga kalian paling sering mendengar yang seperti ini:

“Terima kasih ya A buat hampersnya. Nanti aku buka dulu ya. Unboxing ala-ala selebgram.”

Ya, kini istilah hampers kerap digunakan untuk menyebut bingkisan yang dikirim orang lain untuk kita. Kata ini semakin populer semenjak para selebgram merekam aktivitas mereka membuka paket.

Entah itu bingkisan dari para pelapak daring yang minta tolong dipromosikan dagangannya. Atau bingkisan ucapan terima kasih, paket kado, atau antaran sebagai tanda silaturahmi. Kita juga jadi mengenal pula kegiatan unboxing.

Buat yang belum mengakrabi istilah tersebut, mungkin rasanya asing dan membutuhkan waktu lama untuk mencerna kata hampers. Bahkan bisa-bisa mengira artinya adalah popok bayi. Memang hampir-hampir mirip pelafalannya.

Jadi, hampers itu merujuk kepada antaran yang diserahkan (baik secara langsung atau melalui perantara jasa logistik atau pengantaran) kepada sanak saudara, kerabat, atau teman. Ditujukan sebagai bentuk kepedulian dan kasih sayang. Bentuknya bisa berupa barang atau makanan.

Ada yang memberikan barang-barang favorit penerima, barang yang sudah lama diidamkan sang penerima, serta hasil karya atau contoh sampel kreasi sang pengirim. Tujuannya semata-mata untuk berbagi kebahagiaan dan sukacita. Para orang tua mungkin akan menyebutnya sebagai parsel. Barang yang dibungkus dengan kertas, tas, ataupun keranjang yang nantinya diberikan kepada orang lain.

Kemudian di linimasa media sosial ada pula orang-orang yang sibuk mengomentari tentang penggunaan kata hampers untuk menggantikan istilah parsel. Semua berdebat dengan sudut pandang masing-masing.

Tentu tidak masalah karena masing-masing orang punya pendapatnya sendiri-sendiri. Namun jangan sampai perdebatan ini justru memicu perselisihan lalu menghilangkan esensi utama dari hampers atau parsel itu. Kita harusnya fokus dengan nilai kebaikan dari pemberian hampers.

Sekarang, tak usahlah menghabiskan waktu untuk mencari mana yang benar, hampers atau parsel. Ingatlah bahwa yang harus kita junjung tinggi adalah prinsip berbaginya. Apalagi di masa pandemi seperti ini, kita begitu rentan dilanda depresi.

Isolasi yang membuat kita merasa sendiri. Terkurung sepi. Rawan diliputi kesedihan tiada henti. Antaran dari orang lain seolah hadir sebagai obat rindu yang memuncak.

Ternyata, tradisi berbagi ini juga tidak hanya dikenal masyarakat modern. Nilai-nilai berbagai ternyata telah tertanam secara turun-temurun. Sebelum orang-orang meributkan tentang hampers atau lebaran.

Saya ingat betul, kehidupan bertetangga di desa saya begitu akur dan penuh dengan rasa kepedulian. Setiap kali mendiang nenek saya memasak atau berkreasi membuat kudapan kue, ia pasti tak lupa untuk menyisihkan hasil olahannya ke dalam rantang besi (mangkok bersusun).

Tentu ia sudah memastikan sejak awal, porsi masaknya juga telah disesuaikan dengan jumlah dan porsi makan penghuni rumah. Termasuk kalau-kalau, saya atau adik saya tanduk (tambah makan).

Rantang itu lantas ia tutup rapat dan ia tenteng menuju rumah Mak Ru, tetangga samping samping rumah. Mak Ru pun tak membiarkan nenek pulang dengan tangan kosong. Ia juga sibuk mengisi kembali rantang nenek dengan masakannya hari itu. Begitulah kenangan manis yang saya ingat tentang aktivitas berbagi dari lingkungan terdekat.

Ada pula aktivitas berbagi lainnya yang masih lekat di memori saya. Di lingkungan tempat tinggal saya dulu, tiap-tiap rumah menggantungkan semacam wadah (boleh dari apapun). Nantinya wadah tersebut diisi dengan sejumput beras yang akan diambil oleh petugas ronda.

Petugas lalu mengumpulkannya dalam satu wadah. Setelah dewasa saya baru tahu makna dari kebiasaan “jumputan” itu, aksi berbagi beras dari warga kampung yang bertujuan untuk memastikan warga yang kurang mampu tercukupi kebutuhan pangan pokoknya.

Aksi kepedulian rupanya juga telah diterapkan para penghuni di lingkungan kampung saya dulu. Tiap kali ada warga yang dirundung berita kematian, para tetangga berbondong-bondong menyumbang. Sebagai tanda uluran duka cita.

Tidak melulu berupa uang, ada yang mengerahkan tenaga untuk membantu acara pengajian mengenang meninggalnya almarhum dalam periode 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan seterusnya. Ada pula yang meringankan logistik acara, membantu penyediaan barang seperti membagi beras, gula, dan teh. Acara berbagi ini juga tidak hanya berlaku saat acara lelayu.

Saat acara bahagia pun para tetangga saya tanpa diminta, secara sukarela langsung menggalakkan aktivitas berbagai. Misalnya saat ada hajatan pernikahan, para tetangga tak sungkan memberikan pasokan makanan untuk mendukung kelangsungan acara.

Si tuan rumah acara pun tak ketinggalan memberikan berkat (umumnya berisi makanan yang diwadahi dalam besek-tempat dari anyaman bambu) karena para tamu dan tetangga yang hadir telah berkenan memberikan doa.

Kisah lainnya tentang tradisi berbagi yang saya kenal, datang dari kecamatan paling ujung timur dari Kabupaten Kendal-tempat saya lahir, besar, dan menetap. Tepatnya di Kecamatan Kaliwungu yang tersohor karena banyak pondok pesantrennya.

Tiap kali menjelang lebaran, warga yang tinggal di sana akan melestarikan tradisi yang sudah ada sejak zaman dulu. Namanya tradisi weh-wehan. Para tetangga saling berkunjung sambil menenteng aneka jajanan atau makanan.

Makanan tersebut nantinya akan ditaruh di rumah tamu yang dikunjungi. Tamu yang menerima lantas membalasnya dengan memberikan makanan yang juga sudah dipersiapkan. Semua berlandas kerelaan, tanpa diiringi berat hati. Agar silaturahmi tetap terjalin.

Saya sebagai anak kecil kala itu selalu menanti momen tersebut tiap kali bertandang ke rumah teman saya yang ada di Kaliwungu. Saya selalu memperhatikan bagaimana gurat kebahagiaan terpancar di muka para orang tua dan anak kecil dalam menyambut tradisi weh-wehan.

Ada yang benar-benar sampai mempersiapkannya sematang mungkin. Segala masakannya hasil buatan sendiri dari dapur sendiri, bukan beli dari toko. Agar dapat mempersembahkan yang spesial dan terbaik untuk orang terkasih.

Selain weh-wehan, tradisi berbagi juga dikenal masyarakat Jawa dengan istilah punjungan. Punjungan berarti memberikan antaran berupa nasi dan lauk-pauk kepada sanak-famili ketika kita akan menggelar hajatan pernikahan.

Biasanya diberikan pada pagi hari, seminggu sebelum acara dilangsungkan. Punjungan ini sekaligus menandakan sebagai undangan. Kita yang menerima, seolah wajib hadir dalam pergelatan pernikahan tersebut. Sebagai tamu.

Lantas ada yang menarik, punjungan diberikan pada pagi hari karena menyesuaikan kebiasaan masyarakat setempat. Umumnya masyarakat masak atau sarapan pada pagi hari. Sehingga pemberian punjungan dilakukan untuk menekan biaya pengeluaran hari itu.

Tetangga atau kerabat kita bisa sedikit beristirahat lega karena tidak harus memasak atau beli makan. Lebih hemat. Makanan punjungan pun tidak sia-sia.

Sebagai tamu yang mendapat punjungan, kita juga harus tahu diri. Turut menyumbang dalam acara pernikahan tersebut. Entah itu berupa tenaga, uang, atau bahan makanan. Disesuaikan dengan kemampuan kita.

Begitulah, aktivitas berbagi terasa nyata di kehidupan kita dari dulu. Berbagi membuat siklus pertemanan, persaudaraan, pertetanggaan kita semakin hidup dan berdinamika.

 

Leave a Response