Bali adalah daerah yang dikenal menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi. Hubungan antar suku, budaya dan agama terjalin dengan akrab dan harmonis. Terwujudnya hubungan yang sedemikian mesra ini sesungguhnya lebih dikarenakan pada dasarnya masyarakat asli Bali memiliki karakter yang lembut dan ramah. Oleh sebab itu, sebagai penduduk mayoritas, masyarakat Bali menerima dan mengayomi penduduk minoritas.
Khususnya dalam hal ini, adanya hubungan antara umat muslim dan umat Hindu yang erat dan akrab. Terjalinnya hubungan harmonis hingga sekarang, tentu tidak lepas dari sejarah. Dalam catatan sejarah, sungguh kedua pihak yang berbeda agama ini saling menerima dan membingkai hubungan yang didasarkan pada hati yang tulus.
Dalam memahami hubungan unik antara keduanya ini, lebih baiknya kita flashback perjalanan mereka dari sejak sejarah kerajaan, masa penjajahan, pasca kemerdekaan, dan hingga masa sekarang. Penjelasan tentang hal ini, penulis kembali tetap merujuk pada buku Muslim Bali karya Dhurorudin Mashad “Muslim Bali; Mencari Kembali Harmoni yang Hilang“, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar), hal. 189-235
Hubungan Muslim-Hindu dalam Sejarah Kerajaan
Ketika sepeninggal Waturenggong kekuatan Gelgel merapuh, terutama akibat konflik internal kerajaan. Pengganti Waturenggong, Dalem Bekung atau Pemayun (1550-1580) misalnya segera dihadapkan pada perebutan kekuasaan oleh Mahapatih I Gusti Batanjeruk dan I Dewa Anggungan. Bahkan akibat konflik-konflik internal ini akhirnya kerajaan-kerajaan vasal melepaskan diri seperti Buleleng, Mengwi, Karangasem, Badung, Tabanan, Gianyar, Bangli, Jembrana, Payangan. Mereka hanya mengakui Gelgel sebagai pimpinan kerohanian yang berasal dari keturuan raja-Raja Majapahit, sedangkan sebagai pimpinan politik kerajaan menjadi tidak berfungsi lagi.
Di era banyak kerajaan ini, di zaman antar kerajaan saling bersaing dan bermusuh-musuhan ini, setiap kerajaan akhirnya sengaja menerima kelompok-kelompok Islam yang datang belakangan untuk kepentingan pragmatis yakni: sebagai pasukan keamanan, pasukan perang, dan pasukan penjaga perbatasan. Komunitas-komunitas Islam kala itu bahkan menjadi unsur utama (benteng utama) bagi keamanan masing-masing kerajaan/Puri. Semua realitas jalinan historis psikologis ini akhirnya membangun kedekatan yang luar biasa antara komunitas muslim lama dengan hampir semua Puri di Bali, bahkan tetap terjalin sampai saat ini.
Dengan dijadikannya komunitas muslim sebagai pasukan kerajaan saat itu, merupakan awal mula umat muslim menjalin hubungan dengan umat Hindu di Bali melalui jalinan dengan para raja atau Puri. Jalinan hubngan yang dekat ini terjadi di seluruh wilayah Bali. Seperti komunitas muslim di Klungkung memiliki hubungan sangat akrab dengan Puri Klungkung, bahkan dimulai sejak era kerajaan Gelgel. Kedatangan muslim generasi paling pertama ini dilakukan oleh orang Jawa sebelum masa pemerintahan Dalem Ketut Waturenggong (1460-1550) atau tepat era Dalem Ketut Ngelesir (1380-1460).
Begitu juga komunitas muslim di Tabanan, ternyata tidak hanya karena ada kepentingan politik dan keamanan saja, tetapi telah terjalin perkawinan antara keluarga Puri dan tokoh muslim, seperti pemuda muslim yang bernama Aryo Nur Alam asal desa Temenggungan, Blambangan/Banyuwangi Jawa Timur. Nur Alam datang ke Bali (1808) di usia 15 tahun. Nur Alam diangkat sebagai juru bahasa keraton, karena jasanya menerjemahkan surat-surat dari Jawa yang diterima raja Tabanan, Batara Ngeluhur. Karena terkesan perilakunya yang baik disamping loyalitasnya yang tinggi, pemuda Nur Alam akhirnya dikawinkan dengan salah seorang putrinya, serta diberi tanah pelungguhan di wilayah yang kini dikenal dengan kampung Jawa atau Banjar Tunggal Sari alias kampung Islam Tabanan.
Hampir sama pula dengan daerah lainnya, seperti Buleleng, Denpasar, Badung, Jembrana, Karangasem, Klungkung, Gianyar, dan Bangli. Semua daerah ini memiliki hubungan yang erat dan harmonis antara komunitas muslim dengan kerajaan/Puri setempat.
Hubungan Muslim-Hindu Masa Penjajahan
Hubbul wathan minal iman, inilah yang menjadi dasar semangat juang para pahlawan saat itu. Mereka mempertahankan tanah air dengan air mata, luka dan darah, bahkan nyawa. Apapun etnis dan agamanya, jika hatinya masih tertanam iman kepada tanah airnya, semuanya bersatu mempertahankan tanah air Nusantara. Di Bali, tidak hanya masyarakat Bali atau yang beragama Hindu yang mempertahankan tanah tercinta Bali. Semua etnis dan agama yang datang dari luar Bali, semuanya bersatu melawan para penjajah.
Perlu kembali dicatat bahwa mayoritas pendatang ke berbagai wilayah di Bali era lama, terutama yang bukan Jawa, umumnya terkait pelarian mereka dari kejaran Belanda. Tercatat beberapa muslim yang datang ke Bali karena tidak terima daerahnya ditaklukkan Belanda dan melakukan perlawanan namun pada akhirnya harus berlayar keluar dari daerahnya ke wilayah lain yang kebetulan tepat di Bali. Diantara muslim yang datang ke Bali di masa penjajahan Belanda adalah: 1. Haji Mu’min dari Sulewesi Selatan, 2. Daeng Nachoda dari Sulewesi Selatan, 3. H. Sihabuddin, 4. H. Yasin, 5. Tuan Lebai (Melayu asal Serawak), 6. Datuk Guru Syekh (Arab), 7. Syarif Abdullah Al-Qodry (Adik Sultan Pontianak Syarif Abdurrahman Al-Qodry), (Dhurorudin Mashad, Muslim Bali, hal. 236)
Kedatangan kelompok muslim itu ke Bali disambut dengan baik oleh para Raja/Puri. Dengan datangnya kelompok muslim, kekuatan masyarakat Bali semakin bertambah untuk melawan penjajah kolonial Belanda. Ketika Belanda menguasai Blambangan, mereka berusaha menyerang Bali. Para Raja di wilayah Bali bergabung saling mengirim pasukan untuk melawan Belanda. Komunitas muslim bergabung dengan masyarakat Bali bahu-membahu melawan para penjajah Belanda kala itu.
Demikian ketika tanah air terancam, maka perbedaan antar suku, budaya dan agama menjadi hilang lebur menjadi satu tekad cinta tanah air. Demi bangsa dan negara, kekuatan iman kemerdekaan tertancap kuat dalam hati setiap anak bangsa. Hubungan erat menjadi sangat kuat terikat pada tali persaudaraan sesama penduduk satu Negara. Inilah yang dirasakan oleh masyarkat Bali kala itu, khususnya umat Islam dan umat Hindu.
Hubungan Muslim-Hindu Pasca Kemerdekaan
Setelah masyarakat Bali dan umat Islam berhasil mengusir para penjajah, dan Negara tercinta ini bebas dari cengkraman para perampok tanah air, hubungan antara umat Islam dan masyarakat Bali khsusunya umat Hindu, tetap terjalin dengan baik dan berlangsung hingga umat muslim hidup berdampingan dengan umat Hindu. Bahkan panji Islam bertuliskan lafad tauhid “La Ilaha Illallah” yang dibawa oleh Syekh Al-Qodri ketika perang, disimpan di Puri Negara sebagai penghargaan atas jasa para pejuang dari umat Islam. Di tempat lain, umat muslim juga diberi sebidang tanah dan diizinkan membangun tempat ibadah. Ini sebagai bukti bahwa umat Hindu ingin terus menjaga hubungan yang baik dengan umat Islam.
Memang, banyak fakta membuktikan betapa hubungan umat Islam dari kampung-kampung kuno di Bali dan masyarakat Hindu sangat harmonis. Kenyataan ini tentu terbangun dari ikatan cinta tanah air, ketika melawan para penjajah, mereka mengangkat senjata bersama untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Hubungan keduanya semakin bertambah erat dan harmonis ketika keturunan mereka ada yang menjalin cinta dan kemudian dilanjutkan dengan membina rumah tangga. Entah karena ingin berkumpul dengan keluarga yang sudah di Bali sejak masa kerajaan dan kolonial seperti Nur Alam yang menikah dengan putri Puri Tabanan yang diberi pelungguhan, kemudian mengajak keluarganya yang di Banyuwangi untuk berkumpul, termasuk tujuan ekonomi.
Baca artikel selengkapnya di Aswajadewata