Istilah Baliseering, menurut Ngurah Suryawan (2010) adalah Proyek Balinisasi yang menempatkan Bali sebagai museum hidup dengan keunikan kebudayaannya. Hal ini berlangsung menjadi landasan praktik kehidupan politik kebudayaan dan kesenian di Bali. Rezim kolonial merombak dan membongkar semua citra kebudayaan Bali menjadi romantik yang mempesona pihak luar. Tentu saja tidak bisa dilepaskan dari kepentingan kolonial untuk mengeksploitasi Bali.

Pihak kolonial pun ingin membedakan Bali dari dua pulau yang mengapitnya dari agama, kebudayaan dan pengaruh politik. Semakin Bali tradisional, semakin siap untuk dijual. Dimulailah propaganda citra Bali sebagai “the last paradise”, yang wajib dikunjungi.

Pada tahun 1920an, kunjungan wisatawan dalam jumlah besar berdatangan ke Bali. Kunjungan itu terjadi setelah sebuah perusahaan pelayaran Belanda  KPM (Koninklijk Paketvarrt Maatschapij) mempropagandakan Bali sebagai daerah tujuan wisata.

Pembentukan Bali seperti ini juga dilanjutkan pasca kemerdekaan, terutama saat orde baru berkuasa. Menurut Suryawan (2010) pada Maret 1969, pemerintah mengundang tim ahli asing untuk memikirkan pariwisata Bali. Salah satunya menggunakan jasa konsultan perancis yaitu SCETO (Societe Centrale Pour L’Equipment Touristique Outre-Mer). Mereka yang kemudian memberikan rancang bangun pariwisata di Bali adalah model Pariwisata Budaya. Selain menikmati alam, pelancong juga bisa menyaksikan tarian Bali, ke pura, museum dan membeli cinderamata khas Bali.

Politik Puja-Puji juga mewarnai bagaimana strategi Orde Baru menaklukan seni dan kebudayaan di Bali. Politik pujian ini dimulai dari Rezim kolonial dalam membentuk citra dan budaya Bali. Istilah “setiap orang Bali seniman”, “manusia Bali mencintai kedamaian”, dan “Bali adalah pusat kreativitas Indonesia” dimanfaatkan oleh rezim Orde Baru sebagai investasi untuk menyedot datangnya dollar dalam bentuk “pariwisata budaya”. (Suryawan, 2010, Hal 227)

Dengan menancapnya ideologi pariwisata budaya yang begitu massif, membuat Bali sangat tergantung dengan industri pariwisata. Terjadi pergeseran nilai, jika dulu menjaga budaya sebagai bentuk warisan leluhur, kini menjaga budaya adalah sebagai bagian dari sumber capital bertahan hidup. Dengan demikian, atas nama adat dan budaya, manusia Bali begitu mudah digiring dan tanpa sadar dimanfaatkan oleh para pelaku industri pariwisata dalam skala besar.

Sementara, karena pariwisata butuh situasi yang tenang dan aman, maka siapa pun yang bersikap kritis dan yang dianggap mengancam keberadaan adat dan budaya Bali, meminjam istilah Suryawan, maka harus “diamankan” dengan pendekatan keamanan.

Namun, sekuat apa pun Bali “dijaga”, perekonomian Bali sangat rapuh karena ketergantungan pada pariwisata. Sekali terjadi gejolak sosial (seperti perseteruan antar Banjar dan Ormas), Bom Bali (2002), Bencana Alam (Erupsi Gunung Agung) dan kini Pandemi Covid 19, Bali langsung kelimpungan dan tidak bisa bangkit sendiri.

Leave a Response