Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal .” (QS. al-Hujarat: 13)

Indonesia menjadi cerminan yang tepat untuk menggambarkan ayat di atas, karena sebagaimana yang kita ketahui, Indonesia adalah bangsa yang plural, di mana berbagai macam suku, etnis, bahasa, budaya hingga agama dan aliran kepercayaan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.

Sayangnya, perbedaan-perbedaan yang kita punya tidak hanya menjadi kekayaan dan keharmonisan, melainkan juga menjadi pemicu konflik, baik individu maupun kelompok. Merasa paling benar sendiri, membenci, merendahkan, bersikap tidak adil hingga keingininan untuk menghancurkan kelompok lain yang berbeda merupakan contohnya.

Dalam beberapa tahun ini, masalah intoleransi menjadi satu hal yang tidak hanya meresahkan tetapi juga membahayakan, baik bagi agama maupun negara. Semboyan Bhineka Tunggal Ika seolah mulai dilupakan, tergerus oleh rasa benci dan intolerasi.

Dalam hal ini, Ahmad Wahib, sosok yang dikenal sebagai pemikir Islam yang berani, tajam dan revolusioner menuangkan gagasannya mengenai bagaimana meredam intoleransi di Indonesia melalui catatan hariannya yang kemudian dibukukan menjadi Pergolakan Pemikiran Islam.

Seiring dengan maraknya intoleransi di Indonesia, dari sindiran di media sosial, sikap diskriminatif, penghancuran rumah ibadah hingga bom bunuh diri menjadikan ide-ide tentang toleransi perlu digaungkan kembali.

Dalam pemikiran Ahmad Wahib, setiap golongan memiliki peran yang cukup penting dalam pembinaan toleransi. Seperti, ulama dan para pemikir Islam, muballigh Islam, pemimpin penganut agama lain, sosiolog, hingga umat beragama dan masyarakat pada umumnya.

Indonesia dihuni oleh masyarakat yang mayoritasnya beragama Islam. Perbedaan pandangan tentang ajaran Islam seringkali membuat seseorang atau kelompok mengklaim bahwa apa yang diyakininya adalah yang paling benar, “paling Islam”, sehingga menyalahkan dan membenci yang lain yang berbeda.

Pandangan tentang keabsolutan inilah yang dipandang Wahib berpotensi mendorong sikap-sikap intoleran. Islam sebagai roh kehidupan tidak lagi dihayati. Di sini, para ulama dan pemikir Islam (intelektual) perlu merumuskan pemahaman-pemahan baru yang segar dan lebih universal.

Para ulama dan pemikir Islam diharapkan mampu menafsirkan kehendak-kehendak Tuhan tanpa mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan yang penuh kasih dan kedamaian, sebagaimana kasih Tuhan meliputi sejarah umat manusia.

Selain itu, pada masa sekarang, dorongan umat Islam untuk memperdalam ajaran agamanya cukup tinggi. Hal ini menimbulkan banyak pemahaman yang berbeda, bahkan cenderung bertentangan satu sama lain tergantung dari siapa ia belajar.

Para pendakwah Islam sebagai panutan masyarakat, juga harus mampu melepaskan khotbah-khotbahnya yang bersifat provokatif sehingga mampu membimbing masyarakat untuk berpikir lebih terang dan terbuka.

Perbedaan-perbedaan yang ada dalam kehidupan beragama, baik perbedaan aliran maupun perbedaan agama sebaiknya tidak mendorong masyarakat, khususnya Muslim untuk memandang dengan sebelah mata.

Umat Islam harus senantiasa terbuka, menghargai, menghormati dan juga peduli terhadap orang lain yang berbeda. Sikap-sikap Nabi yang lembut, penuh kasih dan bijaksana patut dijadikan pedoman dalam kehidupan beragama.

Untuk para sosiolog dan social engineer, diharapkan mampu menghilangkan hal-hal sosiologis yang turut menyuburkan intoleransi, seperti perbedaan kemampuan ekonomi yang seringkali berkaitan dengan perbedaan ras atau suku.

Menurut Wahib, strata sosial dalam agama seperti santri dan abangan juga perlu dihilangkan untuk mendukung usaha-usaha di bidang teologi. Ajuan-ajuan ini pun harus meyakinkan pemerintah agar bisa terlaksana dengan baik.

Dari pihak ketahanan negara, pemerintah harus menindak tegas hal-hal yang berkaitan dengan masalah intoleransi yang mampu merugikan orang lain dan menghancurkan hak-hak individu atau kelompok.

Ahmad Wahib telah tiada bertahun lalu, tetapi pikirannya tetap hidup hingga sekarang. Pemikirannya, pergerakannya, idealismenya akan terus hidup, tumbuh dan berkembang hingga melampaui zamannya.

Ide-ide tentang toleransi telah ia gaungkan. Tetapi, masih belum cukup melerai problem intoleransi yang kian meresahkan Indonesia. Kita semua yang sadar bahwa pikiran-pikiran dan sikap-sikap intoleransi harus dihentikan juga harus turut berperan dengan cara yang kita bisa, dengan apa-apa yang kita punya.

Kecintaan dan pengabdian kepada Tuhan tidak pantas menjadikan manusia dengan mudahnya menyalahkan orang lain yang memiliki pandangan berbeda.

Saya percaya, masih jauh lebih banyak orang yang mencintai Indonesia yang damai, toleran dan rukun di tengah banyaknya perbedaan.

“Aku bukan nasionalis, bukan Katolik, bukan sosialis. Aku bukan Budha, bukan Protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut Muslim.” Ahmad Wahib, 1942 – 31 Maret 1973.

Leave a Response