Munculnya negara bangsa di dunia Islam, berimplikasi pada posisi syariah di tengah masyarakat muslim. Dalam konteks ini, kelompok reformis muslim berinisiatif menghidupkan kembali gagasan Maqasid Syariah dengan menekankan pada realisasi maslahah dalam konteks sejarah yang baru.

Menyoal relasi syariah atau lebih tepatnya Islam sebagai  agama dan hubungannya  dengan negara, setidaknya terdapat beberapa paham dan sikap dalam melihat hubungan keduanya. Pertama, pihak yang meyakini bahwa Islam merupakan agama yang diturunkan secara menyeluruh dan setiap muslim harus menjalankannya secara totalitas, termasuk yang berkaitan dengan negara atau politik.

Kedua, paham yang beranggapan bahwa Islam merupakan agama yang suci, diturunkan untuk kepentingan manusia dalam hubungannya dengan Allah Swt. Kesuciannya tidak boleh ternodai dengan urusan duniawi, termasuk yang berkaitan dengan negara dan politik. Karena itu, relasi agama dengan negara harus dipisahkan demi menjaga kesucian agama itu sendiri.

Kemudian terdapat juga pemikiran dengan pola yang lain, yaitu Islam memang tidak menyediakan konsep baku tentang negara. Namun, Islam juga tidak membiarkan umatnya tanpa pedoman dalam berpolitik dan bernegara serta mengatur kekuasaan suatu pemerintahan. Islam hanya memberikan seperangkat prinsip-prinsip dan tata nilai saja, yang mesti dikembangkan oleh umatnya sesuai dengan tuntutan situasi, masa dan tempat serta permasalahan yang mereka hadapi.

Salah satu reformis Islam yaitu Djamaluddin Al-Afghani berkeyakinan bahwa Islam sesuai untuk semua bangsa, zaman dan kondisi. Kalau kelihatan ada pertentangan antara syariah (Islam) dengan kondisi yang dibawa oleh perubahan zaman, yaitu salah satunya munculnya negara bangsa. Maka perlu penyesuaian atau interpretasi baru tentang Islam, dan untuk interpretasi tersebut diperlukan ijtihad.

Dalam pandangan Al-Afghani, untuk menghindari benturan antara syariah dengan negara adalah dengan melenyapkan pengertian-pengertian salah yang dianut umat pada umumnya. Corak pemerintahan otokrasi harus diubah menjadi corak demokrasi, kepala negara harus mengadakan syuro dengan pemimpin-pemimpin masyarakat, yang banyak mempunyai pengalaman.

Islam dalam pandangan Al-Afghani menghendaki pemerintahan republik, yang di dalamnya terdapat kebebasan mengeluarkan pendapat dan kewajiban kepala negara adalah tunduk kepada undang-undang. Di atas segalanya, umat Islam harus mengadakan kerja sama yang erat untuk memperoleh kemajuan.

Sebagai agama yang menganut prinsip kesatuan antara perkara akhirat dan dunia, keduanya harus berjalan seiringan, karena berasal dari pencipta yang sama. Syariah dirumuskan oleh Allah Swt., dan urusan dunia juga tidak bisa lepas dari campur tangan-Nya. Lalu, bagaimana Islam mengatur hubungan antara syariah dengan politik negara? Jawabannya adalah keduanya harus melebur dalam satu manajemen dan kepemimpinan dengan dua-duanya berjalan dengan seiringan dan menjadi pertimbangan dengan mengedepankan aspek maslahah. Dalam konteks ini, Maqasid Syariah mengambil bagian dalam wacana ini.

Maqasid Syariah dalam hal ini hadir sebagai sebuah pertimbangan dalam mendialogkan antara syariah dan negara bangsa, karena syariah juga mempunyai aturan atau hukum sendiri dan negara bangsa juga mempunyai aturan sendiri. Keduanya sama-sama ingin mengatur masyarakat yang ada dalam komunitasnya. Sehingga Maqasid Syariah hadir untuk mengidentifikasi dan memverifikasi rasio yang ada dibalik keduanya. Tentu, dengan membaca sejarah yang ada di dua kutub ini.

Munculnya berbagai permasalahan di dunia modern yang hukumnya tidak dalam jangkauan syariah juga menimbulkan sebuah permasalahan, bagaimana jika sebuah kasus tidak ditemukan teks hukumnya dalam sumber-sumber hukum Islam. Sedangkan negara bangsa bisa melakukan revisi undang-undangnya dengan acuan yang mereka punyai. Oleh  karena itu, untuk menjawab realitas dunia modern yang terus berkembang.

Maqasid Syariah dengan konsep maslahahnya hadir sebagai bagian dari mempertimbangkan hal-hal baru yang hukumnya tidak tercantum dalam teks-teks hukum Islam, agar bisa terakomodir dan dicarikan hukumnya dengan pendekatan konsep maslahah. Hal ini bertujuan, supaya antara Syari’ah dan negara tetap bisa saling berdampingan dalam ranahnya masing, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Afghani di awal bahwa Syariah Islam selalu relevan dengan  keadaan, tempat dan waktu.

Dalam hal ini pemikir reformis seperti Muhammad Syahrur dan Fadzlur Rahman, menawarkan untuk melakukan pembacaan ulang pada teks-teks keagamaan dengan banyak pendekatan. Misalnya, dengan melihat realitas masyarakat Islam dan realitas doktrin dan turats dalam Islam. Apa yang ditawarkan Syahrur, merupakan jalan keluar dari adanya ketimpangan antara tekstualitas dengan dimensi sosial empiris.

Wael B. Hallaq tokoh pengamat pemikiran hukum Islam  bahka menyatakan kekagumannya pada Syahrur, yang menyatakan bahwasanya hukum substantif Islam setelah periode formatif  sedemikian kaku dan tidak lagi bersentuhan dengan aspek perkembangan politik, sosial dan ekonomi. Salah satu faktor jika dibaca secara historis, disebabkan karena invansi bangsa Tartar di dunia Timur dan Perang Salib yang dilakukan bangsa Barat, sehingga umat Islam terpecah menjadi sejumlah negara.

 

Leave a Response