Membincang asal usul penciptaan perempuan, tidak bisa terlepas dari tafsir nafs wahidah dalam surah An Nisa ayat 1. Sampai saat ini, kita masih tidak asing dengan pernyataan bahwa perempuan tercipta dari tulang rusuk pria. Terma ini muncul dari keberangsuran pemahaman bahwa Siti Hawa diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam.
Meski terma ini disinyalir berasal dari kisah Israiliyat dalam Kitab Kejadian 2 Perjanjian Lama, pemahaman ini nyatanya berimbas pada pemaknaan kata nafs wahidah dalam Surah An Nisa ayat 1. Sehingga akhirnya memicu pola pikir patriarkis yang menganggap perempuan di bawah (lebih rendah) laki-laki. Untuk itu, perlu dilakukan telaah tafsir lebih dalam terhadap makna nafs wahidah yang sebenarnya.
Penafsiran kata nafs wahidah (diri/jiwa satu) sebagian besar dipahami sebagai bentuk penciptaan dari diri yang satu, yaitu Adam as., termasuk penciptaan perempuan. Sebagaimana yang tertuang dalam Alquran surah An Nisa (4) ayat 1 berikut:
Jika merujuk pada terjemahan versi Kemenag, maka akan didapati terjemah sebagai berikut:
“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak…”
Pada umumnya para mufassir klasik dalam kitab-kitab tafsir al-Mu’tabar dari kalangan jumhur, seperti Ibnu Katsir, al-Qurtubhi, al-Kasysyaf, Abu Saud, Jami; al-Bayan bahkan Al Maraghi semuanya sependapat menafsirkan kata ( نَّفْسٍ وَٰحِدَةٍ ) nafsun wahidah dengan Adam as.
Sementara dhamir kata (مِنْهَا) minha berarti “dari bagian tubuh Adam”, dan kata (زَوْجَهَا ) zaujaha merujuk kepada Hawa. Sehingga muncul penafsiran bahwa Hawa (perempuan) tercipta dari diri yang satu yaitu Adam (laki-laki).
Penafsiran para mufassir tersebut dikuatkan oleh riwayat yang berasal dari Qatadah, al-Sadi dan Ibn Ishaq yang menyatakan bahwa Hawa diciptakan Allah dari tulang rusuk Adam sebelah kiri ketika dia sedang tidur (H.R. Bukhari dan Muslim).
Pandangan hierarkis dari teori standar penciptaan manusia di atas melahirkan premis bahwa Adam mengalami proses penciptaan yang lebih unggul dari pada Hawa. Hal senada juga diungkapkan Faqihuddin Abdul Kodir dalam Qiraah Mubadalah bahwa pandangan ini pada gilirannya akan memunculkan anggapan bahwa Adam as. (lalu semua jenis kelamin laki-laki) sebagai sumber utama. Sedangkan Siti Hawa (lalu semua jenis perempuan) dianggap cabang atau bagian dari Adam as.
Padahal, Surah An Nisa ayat 1 di atas tidak secara eksplisit menyebutkan tentang proses penciptaan perempuan. Para feminis muslim sudah mulai melakukan reinterpretasi terhadap masalah penciptaan manusia ini.
Zaitunah Subhan dalam Tafsir Kebencian memaparkan bahwa di dalam Alquran, kata-kata yang digunakan dalam menjelaskan proses penciptaan manusia adalah al-Ma’, al-Nafs, al-Tin, al-Turab, dan Nutfah. Kelima kata tersebut tidak ada yang menunjukkan arti tulang rusuk.
Sehingga ia memahami kata nafs wahidah adalah jenis yang satu atau jenis yang sama. Tidak ada perbedaan antara penciptaan laki-laki dan perempuan.
Salah satu ikhtiyar reinterpretasi juga dilakukan oleh KH Nasaruddin Umar. Ia menganalisis ayat-ayat penciptaan manusia dari berbagai sumber tafsir klasik dan modern, dan membaginya ke dalam tiga pengelompokan.
Pembagian ini menegaskan bahwa banyak sekali ayat Alquran tentang penciptaan manusia, yang sama sekali tidak membedakan asal usul penciptaan antara laki-laki dan perempuan.
Pertama, ayat-ayat tentang penciptaan segala sesuatu (termasuk manusia) dari unsur air (QS. Al Anbiya:30, Al an’am:99, An Nuur: 45 dan Al Furqon: 54). Kedua, ayat-ayat yang berbicara mengenai penciptaan manusia dari unsur tanah atau bisa dimaknai mengandung unsur tanah.
Dan ketiga, ayat-ayat yang berbicara mengenai penciptaan reproduksi manusia, yaitu melalui sperma yang bertemu ovum lalu menempel di dinding rahim, kemudian berproses menjadi segumpal daging, dan menjelma menjadi tulang yang terbungkus daging, lalu terbentuklah tubuh manusia.
Dari ketiga kelompok ayat tersebut, bisa ditegaskan bahwa asal-usul kemanusiaan laki-laki dan perempuan adalah sama. Dari pernyataan-pernyataan eksplisit ayat-ayat tersebut, juga bisa dinyatakan bahwa perempuan sama sekali tidak tercipta, atau bersumber dari laki-laki.
Di lain sisi, mengenai pemaknaan nafs wahidah dalam surah An Nisa ayat 1, Wadud Muhsin, seorang pejuang wanita kontemporer dari Amerika yang dikutip Etin Anwar dalam Jati Diri Perempuan dalam Islam memberikan pemahaman bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan sebagai pasangan dari jenis yang sama (jenis atau gen yang sama dalam penciptaan Adam).
Lebih lanjut, pasangan pertama tersebut, laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki “titik asal-usul yang sejenis” dan dikaruniai tanggung jawab moral individual terhadap Tuhan dan masyarakat. Dengan begitu, kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat adalah salah satu bentuk kelaziman.
Dari beberapa paparan di atas maka dapat dipahami bahwa Alquran tidak menyatakan secara lugas dan eksplisit tentang proses penciptaan perempuan. Kata nafs wahidah bermakna “jenis yang satu”, penciptaan dari jenis yang satu ini berlaku bagi laki-laki dan perempuan. Baik laki-laki maupun perempuan, keduanya diciptakan pasangan dari jenis yang sama dengan mereka. Keduanya setara di hadapan Allah swt.
Kesempurnaan penciptaan ini membuat manusia memiliki kemuliaan paling tinggi di antara makhluk lain, yaitu menjadi khalifah di muka bumi. Saling bekerja sama dan menjadi mitra yang baik terutama antar laki-laki dengan perempuan dalam mengemban amanah seluas-luasnya di muka bumi.
Pemahaman apik terhadap makna nafs wahidah ini semestinya menjadi spirit untuk selalu menyuarakan keadilan setara bagi laki-laki dan perempuan. Bukan sebaliknya, menjadikan adagium sebagai legalitas atas pandangan patriarkis terhadap perempuan.
Demikian telaah tafsir kata nafs wahidah dalam surah An Nisa ayat 1. Wallahua’lam.