Belakangan ini media sosial Indonesia dipenuhi dengan berbagai foto-foto lamaran dengan model kekinian. Hal ini sudah terjadi sejak empat tahun lalu, mulai dari kalangan artis hingga masyarakat umum perkotaan.
Foto tersebut seringkali identik dengan menunjukkan tangan yang memakai cincin, calon perempuan di depan dengan calon laki-laki di belakangnya. Selain itu, terlihat juga ketika proses pemasangan cincin di jari masing-masing mempelai.
Tentu tidak lupa dengan dekorasi bunga nan cantik. Termasuk juga tulisan nama kedua pasangan atau hanya inisialnya serta tulisan the engagement lengkap dengan tanggal pelaksanaan lamaran itu.
Tidak hanya itu, kedua keluarga pasangan juga mengenakan pakaian yang didesain seragam, juga beberapa saudara atau teman dekat mereka.
Lamaran sejatinya merupakan langkah awal sebelum menuju ke jenjang pernikahan. Lamaran menjadi semacam simbol kepemilikan atas pasangan, meskipun memang belum dikatakan halal.
Akan tetapi, dalam agama Islam, perempuan yang sudah dilamar tidak boleh menerima lamaran orang lain. Begitupun sebaliknya, pihak laki-laki tidak boleh melamar perempuan lain.
Dalam adat Jawa pada zaman saya kecil dulu, lamaran itu hanya berupa pertemuan antara dua keluarga—baik inti maupun keluarga besar—dengan tujuan menanyakan kesediaan dilamar. Di samping itu, tujuan momen ini untuk menyampaikan maksud baik menjalin hubungan serius dan beribadah.
Dengan demikian acara lamaran dilaksanakan dengan sederhana, hanya mengirimkan hantaran—opsional, bisa juga diberikan sebelum akad nikah—perkenalan dengan anggota keluarga masing-masing, sembari dilengkapi dengan acara makan-makan.
Bahkan, untuk proses yang masih murni, calon mempelai laki-laki tidak ikut datang. Begitupun pada saat pemasangan cincin dilakukan oleh perwakilan sesepuh dari pihak laki-laki—bisa tante atau orang yang dituakan—yang jelas bukan ibu dari pihak laki-laki.
Kaum milenial saat ini seringkali lupa bahwa hakikat dari lamaran adalah bersifat sementara. Istilah kerennya, baru di-keep, belum halal tapi sudah menjadi hak milik yang perlu dijaga.
Memang kaum milenial berorientasi pada segala sesuatu yang indah untuk di-posting, salah satunya momen lamaran ini. Padahal lamaran memiliki kemungkinan untuk dibatalkan tanpa harus menempuh jalur hukum seperti pernikahan.
Mengisi feed instagram dengan momen bahagia dan indah jauh lebih penting dibandingkan menjaga momen sakral dalam benak pribadi.
Menurut zaman orang tua kita dulu, justru yang namanya lamaran itu lebih baik untuk disembunyikan. Makanya hanya mengundang keluarga saja atau mungkin bisa juga tetangga dekat.
Jika tetangga tidak diundang, ia tetap mendapatkan makanan hantaran dari acara lamaran tersebut. Juga tidak perlu mengundang fotografer, cukup menggunakan handphone biasa. Sebab lamaran belum tentu berhasil hingga jenjang pernikahan.
Acara lamaran kekinian ala kaum milenial ini bagi saya pribadi justru menimbulkan bias. Seolah terlihat mirip dengan acara pernikahan. Sebab tidak jarang yang memakai kebaya dan jas, dengan make up tebal, plus fotografer handal, yang mengaburkan proses lamaran ini.
Seolah-olah suasana acaranya pun sudah semacam persis dengan pernikahan. Ketika kedua pasangan tengah sesi foto, para tamu undangan memakan hidangan yang disediakan.
Mirisnya, apabila lamaran demikian dilakukan oleh golongan menengah, akan terkesan dipaksakan. Terlebih jika ketika acara pernikahan diselenggarakan jauh lebih sepi dan sederhana dibanding acara lamarannya. Duh…
Anehnya, ketika prosesi foto kedua calon bergandengan tangan atau bergaya memeluk dari belakang, seolah sudah sah dan halal. Padahal ketika proses tukar cincin masih dilakukan oleh calon ibu mertua masing-masing sebagaimana menjaga agar tidak bersentuhan. Tapi ya begitulah generasi milenial zaman now.
Belakangan ini acara lamaran yang ramai ini tidak hanya digandrungi masyarakat di perkotaan saja. Tren tersebut sudah merambah di masyarakat pedesaan, meskipun baru sebagian kecil.
Motif menyelenggarakan lamaran seperti ini di antaranya adalah ikut-ikutan yang sedang tren alias gengsi, merasa bahwa normal dan umumnya lamaran sekarang demikian, mengisi feed instagram dengan caption ‘one step closer’.
Ada juga motif lain yang memang ingin meramaikan acara sebagai momen yang penting dalam hidupnya. Motif-motif itu tidak salah. Jika memang memiliki kemampuan finansial yang mumpuni, sah-sah saja. Itu bagian dari hak pribadi masing-masing.
Hal yang salah adalah ketika sejatinya tidak mampu, lalu memaksakan diri hingga berhutang kepada bank atau orang lain misalnya. Terlebih ketika kemudian justru batal nikah karena faktor tertentu. Sudah hutang, tidak jadi nikah, malunya tidak tanggung-tanggung.
Dengan demikian, sejatinya dalam ajaran agama Islam, lamaran cukup diselenggarakan secara sederhana. Bahkan, ada baiknya untuk disembunyikan dengan tujuan untuk menjaga martabat kedua keluarga.
Hal ini menjaga kemungkinan apabila di kemudian hari tidak lanjut ke pernikahan. Namun, melihat yang terjadi dewasa ini, jangan kemudian dinormalisasi bahwa yang benar memang demikian acaranya.
Kita harus pandai-pandai untuk mengetahui mana yang lebih baik untuk diri kita sendiri. Apabila memang tidak mampu, lakukan dengan sederhana saja. Gengsi itu mahal. Kalau memang mampu, boleh-boleh saja.
Tapi, jangan lupa juga dipertimbangkan lagi manfaat dan mudaratnya. Pun harus siap dengan segala risiko termasuk menanggung malu lebih banyak ketika ternyata gagal nikah.