Ada banyak hal di dunia ini yang bisa dihentikan (laju motor, keinginan, dan masih banyak lainnya); namun ada satu hal yang tidak bisa dihentikan, yakni waktu. Perjalanan waktu merupakan penanda perubahan zaman, hingga ada istilah zaman old (generasi tahun 90-an ke bawah) dan zaman now.

Perjalanan waktu menyebabkan pertumbuhan hal-hal baru dan penghapusan hal-hal lama di dalam beberapa bidang, termasuk bidang pendidikan. Perjalanan waktu membuat pola pengajaran dituntut untuk mengikuti perkembangan zaman.

Tak jarang beberapa instansi pendidikan (baik pemerintah maupun swasta) menuntut para pendidiknya untuk menghapus tradisi old dan mencoba tradisi now.

Sekolah Dasar (SD) merupakan jenjang pendidikan paling dasar dalam pendidikan formal di Indonesia yang pada umumnya dilakukan oleh anak dengan rentang usia 7 hingga 12 tahun. Usia-usia ini adalah usia emas (gold age) untuk membentuk karakter seorang anak sekaligus masa anak-anak untuk menikmati kebahagiaan hidup.

Oleh sebab itu, guru SD menjadi aktor penting dalam pengembangan budi pekerti anak-anak. Salah satu cara yang dilakukan oleh guru SD adalah membuat beberapa tradisi (kebiasaan) yang dapat menumbuhkembangkan pendidikan karakter sejak dini, tetapi tradisi-tradisi tersebut perlahan mulai ditinggalkan oleh guru-guru zaman now di era yang serba milenial dan digital ini. Berikut beberapa tradisi guru zaman old yang terancam ‘punah’.

Tradisi ini memang masih diberlakukan di beberapa sekolah, namun kebanyakan dilakukan oleh sekolah-sekolah lingkup pedesaan. Di daerah perkotaan, tradisi ini sudah mulai ditinggalkan. Generasi 90-an ke bawah dapat dipastikan pernah merasakan sensasi menghapalkan perkalian mulai dari 1×1 hingga 10×10.

Jika tidak bisa menjawab dengan benar, maka siswa tersebut mundur ke barisan paling belakang dan belum bisa masuk kelas hingga menjawab hasil perkalian dengan benar. Jika bisa menjawab dengan benar, maka bisa langsung masuk ke dalam kelas. Tradisi ini mengajarkan anak untuk belajar terhadap kesalahan dan tidak mudah menyerah.

Siswa yang tidak bisa menjawab dengan benar berkali-kali akan dibantu oleh guru dengan perkalian bilangan kecil yang dapat diperagakan dengan jari tangan, misal 2×3 atau 4×2. Mengingat hal ini, membuat saya menyadari bahwa guru adalah benar-benar orangtua ketiga setelah Ayah dan Ibu.

Pemeriksaan kuku juga menjadi tradisi yang tidak bisa ditinggalkan sebagai wujud penerapan nasihat “kebersihan adalah sebagian dari iman”. Pemeriksaan kuku biasa dilakukan 3 hingga 4 kali dalam seminggu.

Hukuman untuk yang kukunya panjang-panjang dan hitam-hitam (seperti kuku Mak Lampir) berbeda-beda tiap sekolah. Guru SD saya dulu memberikan hukuman berupa pukulan dari penggaris kayu (pukulannya tidak terlalu keras dan tidak terlalu menyakitkan) terhadap tangan-tangan yang tidak bersih, tapi sungguh saya tak pernah marah dan dendam atas pukulan-pukulan itu.

Sungguh saya melihat pukulan itu dilakukan atas dasar peduli dan kasih sayang. Hukuman-hukuman tersebut tidak membuat siswa marah, tetapi justru membuat siswa merasa bersalah.

Selain perkalian dan pemeriksaan kuku, sesekali siswa juga diuji hapalannya terhadap sila-sila pancasila. Bukti nasionalisme adalah ingat terhadap dasar Negara yang dirumuskan dengan susah payah oleh para pejuang. Bagian yang sering keliru bagi para siswa adalah sila keempat, karena sila keempat adalah sila yang memiliki kalimat paling panjang di antara lainnya.

Bagi saya dan teman-teman SD saya dulu, melihat dan mendengar ada salah satu teman yang lupa terhadap urutan sila-sila pancasila adalah suatu hal yang menyenangkan (sebab bisa menggoda teman yang lupa tersebut). Godaan tersebut dapat memotivasinya agar tidak keliru lagi dalam mengurutkan sila-sila pancasila.

Tradisi ini memang terdengar sepele, tapi sebenarnya mengandung manfaat yang luar biasa. Ketenangan diri ketika duduk dapat meningkatkan konsentrasi dan fokus seseorang. Jadi tradisi “yang tenang pulang duluan” merupakan cara guru SD zaman old meningkatkan fokus dan konsentrasi siswa yang dapat memberikan manfaat di masa yang akan datang.

Ada kebahagiaan tersendiri ketika guru menyebutkan salah satu nama dan nama itu adalah nama saya, yang langsung membuat saya berdiri dari bangku kemudian berteriak dan berlari kegirangan.

Beberapa siswa akan berusaha menggoda teman sebangkunya untuk menganggu ketenangannya, lewat menyenggol kakinya atau menendang-nendang sepatunya. Menuliskan hal ini, membuat saya ingin kembali ke masa-masa penuh keceriaan kala itu. Saat saya belum mengetahui arti dari masalah kehidupan.

Menghapal Kebiasaan Setiap Siswanya

Satu di antara tradisi lainnya yang hampir ‘punah’ saat ini adalah kemampuan guru menghapal kebiasaan setiap muridnya. Pengalaman yang dapat saya bagikan adalah pengalaman teman SD saya yang bernama Rozi (nama samaran).

Rozi adalah sosok siswa yang sangat ceria dan jahil. Ia suka menjahili teman-temannya dengan tindakan-tindakan konyol. Suatu hari di jam istirahat, Rozi lebih banyak murung dan tidak jahil seperti biasanya. Guru SD saya yang bernama Bu Fajri melihat tingkah aneh Rozi dan mendekatinya.

Bu Fajri menanyai Rozi perihal perubahan sikapnya, bahkan Bu Fajri juga mengajaknya untuk membeli jajan jika memang Rozi sedang tidak membawa uang saku (uang jajan). Setelah ditanyai dengan lembut oleh Bu Fajri, akhirnya Rozi mengaku bahwa ia sedang kebelet pup.

Rozi takut buang air besar di toilet sekolah, karena pernah mendengar cerita angker toilet tersebut (padahal salah satu kejahilan Rozi adalah menakut-nakuti siswa yang lain dengan cerita horror toilet sekolah. Haaaaaa mencekam).

Bu Fajri dengan senyun tulusnya mengantar Rozi ke toilet dan menunggu di depan pintu toilet agar Rozi tidak ketakutan. Satu kalimat untuk Bu Fajri: Pualam ketulusanmu bagai rintik hujan di Yogyakarta, istimewa!

Tradisi terakhir yang diulas dalam tulisan ini adalah pengkhususan bolpoin dengan tinta merah untuk guru. Jika ditemui siswa yang menggunakan bolpoin merah, dianggap berani terhadap gurunya. Bahkan terdapat mitos yang beredar di sekolah saya bahwa bolpoin tinta merah melambangkan darah dan anak-anak seusia kami dianggap belum siap untuk berhadapan dengan darah.

Satu hal yang pasti dalam tradisi “pengkhususan bolpoin merah” ini adalah wujud perbedaan antara guru dan siswa. Guru memang perlu menjalin hubungan kedekatan dengan siswa, tetapi siswa harus menyadari bahwa sedekat apapun dengan guru, tetap harus menjaga sikap menghormati terhadap beliau.

Sikap menghormati inilah yang perlahan mulai ‘luntur’ di kalangan generasi milenial. Dulu, setiap bertemu dengan guru, para siswa akan langsung mencium tangannya (baik di sekolah maupun di luar jam sekolah). Sekarang, yang terjadi justru fenomena siswa menghajar gurunya hingga diangkut ambulance.

Teruntuk guru SD-ku; hingga kini Aku tetaplah murid-mu dan Aku selalu saja merindukan-mu.

Selamat Hari Guru.

 

Leave a Response