Penghargaan Nobel pada tahun 2020 meninggalkan sebuah catatan penting dalam sejarah. Kegiatan yang diilhami wasiat dan utang rasa kemanusiaan dari penemu dinamit dan ahli kimia ternama Swedia, Alfred Nobel yang dihelat sejak tahun 1901 tersebut pada tahun ini mencatatat keberadaan beberapa perempuan yang mendapatkan nobel di masing-masing bidang keilmuan.

Kegiatan yang berlangsung pada 6-12 Oktober 2020 yang lalu mencatat beberapa daftar perempuan. Masing-masing adalah: Andrea Ghez (Amerika Serikat) di bidang Fisika, Emannuelle Charpentier (Prancis) dan Jenifer Anne Doudna (Amerika Serikat) di bidang Kimia, dan Louise Glück (Amerika Serikat) di bidang Sastra.

Ada pergeseran yang cukup menarik ketika kemudian sekian nama sosok perempuan mendapatkan penghargaan di perhelatan tahun ini. Tentu saja ini menyiratkan akan bagaimana harapan dan peluang terhadap gerakan perempuan dalam dunia ilmu pengetahuan.

Selain itu, membuka tabir demi tabir atas permasalahan berupa kesenjangan gender yang kerap menjadi cuaca kultural dalam diskursus pengetahuan. Di era perkembangan yang dinamis dan cepat, penghargaan Nobel dapat dikatakan sebagai representasi akan kekuatan revolusioner ilmu pengetahuan yang dikemukakan oleh ilmuwan/wati.

Nobel menjadi pembuka cakrawala baru dalam fajar peradaban abad ke-20. Yang mana, ia kemudian menjadi sebuah citra akan upaya revolusioner dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Revolusi yang menandaskan langkah baru dalam perkembangan akal daif manusia.

Sebagaimana pernah dikatakan oleh pegiat isu sains, Nirwan Ahmad Arsuka lewat pidato kebudayaan berjudulkan Percakapan dengan Semesta dalam perhelatan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 2015. Metode ilmiah yang menjadi tulang punggung ilmu pengetahuan lambat laun menemui titik sempurna, utuh, dan lengkap dalam menggambarkan realitas.

Keberadaan empat perempuan dalam penerima penghargaan Nobel di tahun ini tentunya perlu diapresiasi. Peristiwa itu setidaknya menjadi sebuah momentum penting akan andil dan keterlibatan perempuan dalam perkembangan ilmu pengetahuan.

Ya, memang demikian. Menilik apa yang kerap terjadi dalam realitas perkembangan ilmu sampai saat ini masih menghadapi sebuah masalah: bias gender dalam ilmu pengetahuan. Fakta dan catatan terkait bias gender dalam ilmu pengetahuan salah satunya pernah diungkapkan oleh dua akademisi perempuan yang berasal dari Universitas Cumbria dan Universitas Huddersfield. Yaitu Susan Wilbraham dan Elizabeth Galdwell.

Hasil penelitian mereka berdua termaktub dalam sebuah tulisan yang berjudulkan Children’s Book are Adding to Science’s Gender Problem (theconservation.com, 24 Agustus 2018). Di mana penelitian yang dilakukan terhadap dua perpustakaan publik yang ada di Inggris, mereka menemukan fakta: secara keseluruhan, buku-buku sains anak menampilkan tiga kali lebih banyak dibandingkan perempuan.

Dengan arti lain, keberadaan fakta tersebut menguatkan kenyataan stereotipe bahwa sains adalah pencarian bagi laki-laki. Kesenjangan yang muncul, dalam sains perempuan jarang terwakili dengan ketidakadilan gender dalam buku bacaan yang beredar.

Kesenjangan gender yang kemudian muncul secara mendasar berakar pada dua hal, sebagaimana dituliskan Mary Astuti pada sebuah esai berjudul Pendidikan Berperspektif Gender di bunga rampai Membuka Masa Depan Anak-anak Kita (Kanisius, 2000).

Yakni ketidakadilan gender di dalam lingkungan rumah dan bias gender yang terjadi dalam pendidikan. Dalam lingkungan rumah, berupa domestifikasi perempuan yang banyak berperan di dalam rumah. Secara naluri direkam dan dilihat oleh seorang anak. Walaupun orang tua tidak mengajarkannya.

Sementara itu, bias gender dalam pendidikan terjadi peran pendidik yang tidak memperhatikan apakah buku-buku pelajaran yang dipakai dan diwajibkan telah benar-benar adil gender. Apakah kegiatan ekstrakurikuler diberlukan secara adil dan apakah ilustrasi dan gambar yang ada dalam buku bacaan telah menerapkan paham adil gender. Kesemuanya kerapkali menjadi permasalahan paling mendasar akan kesenjangan gender yang muncul dari lingkungan pendidikan.

Tentunya, dari permasalahan yang ada membutuhkan upaya dan cara pandang untuk membuka cakrawala seluas-luasnya. Upaya tersebut di antaranya berupa peningkatan pemahaman gender, kesadaran dan sensitivitas gender baik di lingkungan keluarga dan pendidikan—terkait bagaimana penyelenggara pendidikaaan memilah dan memilih buku pelajaran yang kiranya berpeluang dapat mengubah persepsi yang lebih adil gender.

Sains sejatinya banyak berhutang dengan keberadaan sosok perempuan. Itu tak dapat ditampik. Dalam penghargaan Nobel, kita ingat akan ilmuwati kelahiran Polandia,  Marie Curie. Ia sosok perempuan yang pertama kali mendapatkan Nobel.

Tepatnya pada tahun 1903 dari bidang fisika atas jasanya dalam penemuan beberapa unsur radioaktif. Ia pun pada tahun 1911 mendapatkan penghargaan kembali di bidang kimia akan jasa berupa penemuan radium dasar dan polonium serta penyelidikannya tentang radium.

Dalam lingkup lebih luas—internasional, upaya untuk mendorong dan mewujudkan kesetaraan gender juga dilakukan. Salah satunya adalah konferensi internasional yang dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Yang mana, kurun waktu 2000-2015 dari 189 negara menyepakati Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals) dengan menempatkan persoalan gender pada poin ketiga berupa: mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.

Program itu kemudian dilanjutkan pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) untuk 2015-2030 yang dimulai 21 Oktober 2015 dari kesepakatan 193 negara. Menaruh wacana keadilan gender dengan rincian pada poin kelima: kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dan anak-anak perempuan.

Adil gender dan sains menjadi dua hal yang dapat berjalan secara berkesinambungan. Itu perlu mengingat realitas perkembangan yang mengharuskan melakukan konstruksi ulang mengenai diskurusus dan perkembangan ilmu pengetahuan.

Dari berbagai upaya tersebut tentunya bermuara pada peluang kehadiran paham adil gender yang menjadi kesepakatan bersama dalam corak kehidupan. Terlebih dalam keberadaan era revolusi industri keempat. Seperti analisis Klaus Schwab dalam buku Revolusi Industri Keempat (Gramedia, 2018) yang melahirkan tantangan kesenjangan gender dalam banyak bidang kehidupan—ekonomi, politik, dan sosial masyarakat.

Laju perubahan revolusi baik digital, fisik, dan biologi semestinya tidak boleh memangkas akan hadirnya sebuah kesetaraan gender. Gender dimaknai sebagai konstruksi sosial untuk membedakan peran dan kedudukan antara perempuan dan laki-laki berdasarkan kepantasan yang berlaku dalam masyarakat.

Bukan berdasar pada kemampuan. Yang mana, sebagai produk budaya, ia bersifat dinamis. Dalam arti lain, ia dapat mengalami perubahan ke arah perbaikan posisi dan kedudukan perempuan atau justru sebaliknya.

 

Leave a Response