Suatu hari, bersama para santri, Ma’ruf al-Kurkhi berjalan di tepi Dajlah (sungai Tigris, Irak). Mereka melihat ada sebuah perahu kecil sedang berlayar di tengah sungai. Tampak dengan jelas oleh mereka bahwa yang naik perahu adalah anak-anak muda. Mereka tidak diam saja, namun melakukan berbagai kemaksiatan secara terang-terangan, yakni meminum minuman keras sembari bermain rebab (sejenis alat musik).

Melihat itu, jiwa para santri Ma’ruf al-Kurkhi bergejolak. Mereka menginginkan para pemuda itu mendapatkan balasan dari Allah atas perbuatan maksiat yang dilakukan itu. Mereka meminta doa kepada Ma’ruf al-Kurkhi.

“Wahai syaikh, kami mohon berkenan untuk berdoa kepada Allah agar mereka mendapatkan balasan secara langsung dariNya, yakni agar mereka tenggelam saja. Dengan begitu pasti mereka tak akan bisa lagi berbuat onar dan mengganggu masyakarakat luas,” ujar salah seorang santri.

“Angkatlah tangan kalian!,” perintah Ma’ruf kepada para santrinya.

Ketika mereka telah mengangkat tangan seperti posisi orang yang akan berdoa, Ma’ruf langsung memulai pembacaan doa, “Ya Allah, seperti halnya Engkau memberikan kesejahteraan hidup bagi mereka di dunia, kini, aku memohon kepada Engkau, tolong beri mereka kesejahteraan hidup di akhirat kelak”.

Para santrinya kaget dengan doa yang dibaca oleh sang ulama ini. Doa ini terdengar begitu aneh di telinga mereka. Akhirnya, salah seorang dari mereka memberanikan diri untuk bertanya, “Wahai syaikh, kami kok masih belum paham maksud doa yang barusan Anda baca?”

“Tunggu saja, kalian akan melihat jawabannya sebentar lagi!,” jawab Ma’ruf meminta mereka menunggu saja apa yang akan terjadi.

Dan benar, keajaiban terjadi. Ketika para pemuda yang sedang mabuk itu melihat Ma’ruf al-Kurkhi, mereka langsung menuangkan dan membuang arak mereka; alat musik yang mereka gunakan juga langsung dibanting; dan mereka pun menangis. Mereka bergegas menemui Ma’ruf dan menyatakan diri bertaubat dari apa yang mereka lakukan itu.

“Lihatkan peristiwa yang menakjubkan ini! Apa kalian inginkan tercapai tanpa harus membuat mereka tenggalam ke lautan” kata Ma’ruf menyimpulkan apa yang barusan terjadi.

Kisah ini terdapat dalam kitab Tadzkirah al-Awliya’ karya Fariduddin al-Attar.[1] Dari kisah di atas terbaca dengan jelas bagaimana seharusnya sikap seorang yang berdakwah kepada masyarakat, yakni tidak mudah marah dan harus dengan cara yang baik.

Secara ringkas, dakwah adalah mengajak setiap orang lain ke dalam ajaran Islam. Tentu, dakwah yang dilakukan bukan tannpa halangan dan cobaannya. Akan banyak godaan yang datang, terlebih jika masyarakat atau obyek yang didakwahi masih merupakan kaum abangan dan masih suka berbuat kefasikan. Dakwah kepada mereka memerlukan kesabaran dan ketabahan tingkat tinggi.

Allah Swt. berfirman:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk”. (An-Nahl/16:125)

Dalam tafsir al-Muntakhab[2] dijelaskan, ayat ini menunjukkan cara berdakwah kepada masyarakat luas. Allah menjelaskan bahwa jika obyek dakwah adalah para cerdik-cendekia, maka harus menggunakan hikmah, yakni perkataan yang bijaksana.

Lain halnya, jika berdakwah kepada orang atau golongan awam (masyarakat kebanyakan). Maka cara yang digunakan adalah menasihati, membuat perumpamaan-perumpaan, dan menunjukkan kepada mereka jalan yang paling mudah bagi mereka (isi dakwah yang disampaikan tidak terlalu berat).

Namun, jika harus berdebat dengan pemuka/pemeluk agama-agama terdahulu, maka cara yang digunakan adalah dengan logika berfikir yang runtut dan perkataan yang lembut. Dan jika pun perlu berdebat dengan mereka, maka hendaknya perdebatan itu dilakukan dengan cara yang anggun dan lembut, tidak mencaci atau menghina.

Lantas, dari beberapa cara yang dijelaskan ayat ini, cara yang dipakai Ma’ruf al-Kurkhi dalam kisah di atas termasuk yang mana? Menurut penulis termasuk yang kedua, yakni dakwah dengan nasihat. Bisa jadi, nasihat yang cocok bagi para pemabuk, dalam kacamata Ma’ruf adalah dengan dengan mendoakan mereka. Yang karena sebab doa itu, atas izin Allah, hanya dengan melihat wajah Ma’ruf saja, para pemabuk itu sudah gemetar hatinya dan bertaubat. Wallahu a’lam.

 

Sumber:

Al-Azhar, Tim Lajnah Ulama. al-Muntakhab fi Tafsir al-Qur’an al-Karim. Mesir: al-Majlis al-A’la, 1995.

Al-Attar, Fariduddin. Tadzkirah al-Awliya’. t.d.

[1] Fariduddin al-Attar, Tadzkirah al-Awliya’ (t.d), hal, 346-347

[2] Tim Lajnah Ulama Al-Azhar, al-Muntakhab fi Tafsir al-Qur’an al-Karim (Mesir: al-Majlis al-A’la, 1995), hal. 407.

Leave a Response