Rabi’ah juga acap mengunjungi ahli fiqh, seorang mujtahid sekaligus sufi besar, Sufyan al-Tsauri, begitu pula sebaliknya, al-Tsauri sering mengunjunginya. Kedua saling belajar dan terlibat dalam dialog-dialog intens tentang cinta Tuhan yang sering membuat keduanya menangis dalam “Khawf” (khawatir, cemas) dan “Roja” (berharap akan Kasih Tuhan).
Konon, pada awal perjalanan spiritualnya Rabi’ah dibimbing seorang sufi perempuan, Hayyunah. Puisi di atas berasal darinya. Rabi’ah suatu saat mendengarkan temannya bersenandung cinta kepada Tuhan:
Duhai Kekasih-ku satu-satunya
Engkau yang memberiku kegembiraan membaca tiap malam
Lalu Engkau lepaskan aku ketika siang datang
Duhai Tuhanku, Aku ingin seluruh siang adalah malam
Agar aku selalu mesra bersama-Mu
Cinta Rabi’ah kepada Tuhan sedemikian rupa hebatnya, sehingga dia siap menyerahkan seluruh jiwa raganya kepada-Nya. Dia menerima apa pun yang dilakukan sang Kekasih, bahkan rela jika Sang Kekasih memasukkan dirinya ke dalam neraka sekalipun. Dalam puisinya sebagaimana dikemukakan oleh Fariduddin Athar dalam “Tadzkirah al-Awliya, Rabi’ah mengatakan:
الهى اني ما عبدتك خوفا من نارك ولا طمعا في جنتك ولكني عبدتك لأنك أهلا لذلك وابتغاء رضوانك ورحمتك ومغفرتك
Tuhanku, aku menyembah-Mu bukan karena takut akan neraka-Mu
Dan bukan pula karena mengharap surga-Mu
Aku menyembah-Mu karena Engkaulah yang berhak disembah
Dan karena mengharap rida dan ampunan-Mu.
Penulis lain mengemukakan dengan redaksi lain :
اللهم ان كنت تعلم انى عبدتك خوفا من نارك فعذبنى. وان كنت تعلم انى عبدتك راغبا فى جنتك فاحرمنيها وان كنت تعلم انى عبدتك شوقامنى الى وجهك الكريم فابحنى واصنع بى ما شءت
Wahai Allah,
Jika aku mengabdi kepada-Mu karena takut neraka-Mu,
Bakarlah aku
Bila aku mengabdi kepada-Mu karena menginginkan surgamu,
Tutup saja pintunya
Tetapi bila aku menyembah-Mu karena aku cinta kepada-Mu
maka bukalah tirai Wajah-Mu
Lalu silakan lakukan kepadaku apa pun saja