Di tengah gegap gempita pelaksanaan Muktamar NU ke-34 di Lampung, 22-24 Desember 2021, mengingat-ingat kembali pesan Hadratussyekh Kiai Hasyim Asyari penting dilakukan. Meski disampaikan berdekade-dekade lalu, pesan itu masih sangat relevan.

Pesan-pesan tersebut dilatari oleh situasi sosial keagamaan yang terjadi pada saat itu. Sejak tahun 1330 H (1911 M.), mulai muncul bermacam-macam kelompok dengan pendapat yang saling bertentangan dan tarik ulur pemahamannya. Kurang lebih ada enam kelompok yang KH. Hasyim Asy’ari jabarkan dalam Risalah Ahlus sunnah-nya.

Pertama, kelompok salaf, yakni orang-orang yang masih berpegang teguh dengan ajaran para ulama salaf saleh dengan setia menjadikan Al-Qur’an dan hadis sebagai landasan beragamanya.

Kedua, para pengikut pembaharu Islam, seperti Muhammad Abduh dan Rashid Rida, yang keduanya bermuara pada pemikiran bid’ah Muhammad Abdul Wahhab al-Najdi dan Ahmad bin Taimiyyah dan muridnya Ibnu al-Qayyim al-Jawzi dan Ibn ‘Abdul Hadi.

Ketiga, Syi’ah Rafidah, yang memusuhi sahabat Abu Bakar dan Umar, juga membenci para sahabat yang lainnya, namun berlebihan dalam mencintai sahabat Ali dan Ahli Bayt.

Keempat, kelompok Ibahiyun (liberal), yang berpaham bahwa seorang hamba yang telah mampu mencapai puncak mahabah dan hatinya terbebas dari kelalaian, maka telah gugur baginya taklif.

Kelima, Orang-orang yang berpendapat bahwa arwah mampu menjelma dan berpindah dari satu jasad ke jasad lainnya secara terus menerus (kebatinan Jawa/Kejawen).

Keenam, Kelompok yang berpendapat akan adanya hulul dan ittihad yang disebutnya sebagai juhlat al-mutasawwifah.

Demi membentengi akidah umat Islam dari paham-paham salah yang tidak boleh dianut di atas maka KH. Hasyim Asy’ari bersama dengan KH. Bisri Syansuri, KH. Wahab Hasbullah dan ulama-ulama lainnya memprakarsai berdirinya Nahdlatul Ulama (NU)  pada 31 Januari 1926 M. atau bertepatan 16 Sya’ban 1344 H. Hingga sekarang NU  menjadi organisasi Islam dengan massa terbesar di Indonesia.

Tujuan pendirian NU, selain untuk menjaga akidah umat Islam, juga sebagai perjuangan para ulama dalam melawan penjajahan. Mereka melakukan perlawanan secara kultural dengan cara penguatan keilmuan dan membangun koneksi antar ulama santri. Baik di tingkat lokal maupun internasional. Kesinambungan sanad demikian inilah yang hingga saat ini menjadi ciri khas tradisi keilmuan dalam NU.

Kesungguhan KH. Hasyim Asy’ari dalam menghidupkan kembali semangat keagamaan yang berlandaskan pada Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dengan mendirikan NU terlihat jelas dalam naskah Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyah Nahdlah al-‘Ulama yang kemudian disadur menjadi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) NU, sebagaimana berikut:

“Anda sekalian adalah orang-orang yang lurus yang dapat menghilangkan kepalsuan ahli kebatilan, penafsiran orang-orang yang bodoh dan penyelewengan orang-orang yang over acting dengan hujah Allah, Tuhan semesta alam, yang diwujudkan melalui lisan orang yang Dia kehendaki. Dan Anda sekalian kelompok yang disebut dalam sabda Rasulullah Saw.: ‘Ada sekelompok dari umatku yang tak pernah bergeser selalu berdiri tegak di atas kebenaran, tak dapat diderai oleh orang yang melawan mereka, hingga datang putusan Allah’.

Ini adalah jam’iyah (Nahdlatul Ulama) yang lurus, bersifat memperbaiki dan menyantuni. Ia manis terasa di mulut orang-orang yang baik dan bengkal (kolot) di tenggorokan orang-orang yang tidak baik. Dalam hal ini, hendaklah Anda saling mengingatkan dengan kerja sama yang baik, dengan petunjuk yang memuaskan serta hujjah yang tak terbantah. Sampaikan secara terang-terangan apa yang diperintahkan oleh Allah kepadamu, agar bid’ah-bid’ah terberantas dari semua orang.”

Dalam teks ini tampak jelas bahwa KH. Hasyim Asy’ari sejak 1926 berharap besar warga NU menjadi pribadi-pribadi yang tegas dan dapat memberantas kepalsuan para pelaku batil. Namun, tetap menjaga sikap toleran dan moderat. Warga NU sudah seharusnya menjadi orang yang selalu berdiri tegak di atas kebenaran. Dan organisasi NU adalah organisasi yang dibentuk atas dasar menciptakan perdamaian di atas dunia.

Dalam struktur kerangka ideologi NU sendiri oleh KH. Hasyim Asy’ari dirumuskan patokan yang harus ditaati dalam praktik beragama dan bertradisi NU. Yaitu dengan berlandaskan pada salah satu dari empat mazhab dalam Fikih. Dua mazhab dalam Tauhid, dan Kalam, dan dua mazhab dalam Tasawuf.

Peran perjuangan para ulama tentu perlu dilestarikan dari generasi ke generasi demi menggairahkan kembali momentum perang mengupayakan kemerdekaan NKRI, melanjutkan misi jihad melawan penindasan dan menjaga tetap terjaganya kemerdekaan NKRI. Semangat ini tercermin dalam ajakan yang disampaikan KH. Hasyim Asy’ari dalam pidato pembukaan Muktamar ke-17 Nahdlatul Ulama di Madiun pada malam Ahad, 5 Rajab 1366 H. atau bertepatan 24 Mei 1947 M. sebagai berikut:

“Bergeraklah bangkit wahai saudara-saudaraku para ulama. Kuatkanlah barisanmu. Kerahkanlah semua potensi serta kekuatanmu, tetap dan percayalah bahwa: ‘Tidak sedikit golongan yang kecil (sedikit pengikut) dapat mengalahkan golongan yang besar (banyak pengikutnya) dengan restu Allah. Dan Allah selalu menyertai orang-orang yang bersabar’ (QS. Al-Baqarah: 249)”.

KH. Hasyim Asy’ari, Risalah Ahlus sunnah wal jama’ah, Jombang: Maktabah al-Turath al-Islami Tebuireng, 1418 H.

Agus Sunyoto, KH. Hasyim Asy’ari, Sang Ulama Pemikir dan Pejuang, 45.

Zainul Milal Bizawie, Jejaring Ulama Diponegoro, Tangerang: Pustaka Compass, 2019.

Hifzil Alim dkk., Jihad Nahdlatul Ulama Melawan Korupsi, Jakarta: Lakpesdam PBNU, 2018.

KH. Hasyim Asy’ari,  Ihya’ ‘Amal al-Fudhala fi Tarjamah Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’yyah Nahdhat al-‘Ulama’, Jombang: Maktabah al-Turath al-Islami Tebuireng, 1418 H.

Leave a Response