Orang-orang mulai mengerti halal itu busana, makanan, hotel, pelesiran, dan lemari es. Berita, iklan, dan artikel bertema halal semakin memberi pengertian ke publik mengenai misi dan faedah halal. Tema itu dipikirkan serius oleh ulama, birokrasi, pengusaha, penggemar makanan, dan pelancong.

Halal lekas jadi tema besar berbarengan kebijakan-kebijakan dari pemerintah dan pelbagai institusi. Halal di lakon industrial, mengajak orang-orang memberi makna dalam acuan agama berkaitan bisnis-bisnis mutakhir membahasakan dengan istilah-istilah mengesankan religius.

Di Republika, 19 Agustus 2019, kita membaca halaman “Bincang Bisnis”. Kita bakal semakin mengerti halal. Judul gamblang: “Pasar Muslim Adalah Bisnis Riil.” Kita diajak mengerti perkembangan industri halal di Indonesia dan pelbagai negara.

Penjelasan penting: “Perkembangan industri halal, khususnya wisata, berjalan dengan sangat pesat. Hal ini karena muslim telah dipandang sebagai pasar yang sangat potensial. Populasi muslim sekitar 23 persen dari penduduk dunia menggoda banyak negara mulai serius dan memandang industri halal sebagai bisnis yang menjanjikan.”

Di Indonesia, segala hal, acara, atau peristiwa bercap halal memang sedang menghebohkan. Halal cenderung di nalar industrial.

Penggunaan sebutan wisata halal sempat ingin menggantikan wisata religi. Konon, dua sebutan itu bermakna berbeda. Di kalangan umat Islam, sebutan wisata halal menjadi jaminan ketimbang cuma bercap religi. Kita buktikan dengan simak tabloid Kontan edisi Agustus 2019 berjudul “Cara Cerdas Berwisata Nyaman”.

Di situ, wisata halal belum menjadi persoalan besar dan menjanjikan dalam pendapatan bisnis wisata nasional atau global. Sebutan masih umum: wisata religi atau wisata rohani untuk pelancong berbeda agama. Perkembangan industri wisata halal memang mengesankan perebutan makna “religius” dipadukan dengan capaian-capaian bisnis.

Orang-orang mungkin sudah lupa saat halal itu masalah pelik. Pada 2018 dan 2019, halal cenderung ke berita-berita heboh, mendapat tepuk tangan, dikucuri pujian. Halal itu keutamaan dalam berita, iklan, pengajian, percakapan, dan pameran foto di media sosial. Masa lalu lekas menghilang atau pudar makna. Di urusan rumit, kita agak malas memikirkan halal secara serius dibandingkan dengan urusan sering memberi girang. Halal dipilih untuk cap, sebutan, kesan, dan gagasan.

Kita membuka lagi Tempo edisi 28 Juli-3 Agustus 2014. Dua puluh halaman disediakan redaksi dengan mengajukan tema besar: “Gaya Hidup Halal.” Pembaca memikirkan halal melalui busana, kosmetik, hotel, dan lain-lain. Indonesia sedang keranjingan halal.

Kita mengutip dari Tempo atas kegirangan mengartikan halal di pelbagai hal: “Setelah merebaknya bisnis busana dan kosmetik halal, belakangan muncul pula salon khusus muslimah. Salon semacam ini melarang pria memasuki area salon, karena saat menjalani perawatan, klien membuka jilbabnya.” Halal di peristiwa, tokoh, tempat, dan pemaknaan tanpa harus repot memikirkan dulu acuan bahasa.

Penggunaan diksi halal belum tergantikan dengan bahasa Inggris. Di Indonesia, kita terbiasa membaca segala siasat bisnis memilih menggunakan bahasa-bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Kini, selera bahasa Inggris masih berlaku tapi ditambahi istilah-istilah berasa dari bahasa Arab. Halal dianggap sudah “mutlak”, tak perlu ditejermahkan atau dicarikan padanan dalam pemberitaan atau pembuatan iklan.

Dakwah dan bisnis dengan diksi halal telah diakui memadai. Orang-orang ingin halal tetap halal, tak perlu tergantikan. Halal pun belum terlalu ingin mendapatkan sinonim meski ada dan dikenalkan di kamus-kamus dan tesaurus.

Kita membaca Kamus Sinonim Bahasa Indonesia (1988) susunan Harimurti Kridalaksana. Halal bersinonim dengan “diizinkan, pantas, baik, boleh, patut, sah, lunas.” Sekian sinonim itu mungkin masih jarang digunakan dalam percakapan atau tulisan. Halal sengaja tak ingin tergantikan. Halal tetap halal. Kamus itu tak mencantumkan halal berasal dari bahasa Arab, beranggapan pembaca sudah mengetahui. Kita menuju Tesaurus Bahasa Indonesia (2009) susunan Eko Endarmoko. Halal itu “formal, legal, resmi, sah.” Kita tak usah kaget membaca deretan kata berkaitan halal.

Sekian tahun berlalu, halal tetap pilihan “mutlak” ketimbang digantikan oleh istilah-istilah memiliki arti sama atau mirip. Eko Endarmoko memberikan contoh memberikan arti dari menghalalkan: “melegalkan, melegitimasikan, membenarkan, membolehkan, menerima, mengakui, mengesahkan.” Kita gampang paham dengan pilihan pengertian.

Menghalalkan juga berarti “menghapuskan, merelakan (tentang utang-piutang).” Kamus dan teasurus itu mungkin belum diinginkan untuk memberi acuan bagi kita berpikir halal, dari masa ke masa. Kini, halal tiba-tiba busana dan kosmetik tanpa pendahuluan bahasa.

Di kamus berbeda, pengertian halal sulit sama. Kamus-kamus memiliki kaidah dan pamrih dalam memberikan arti meski situasi bisnis dan keagamaan cepat berubah di Indonesia. Kita pastikan mendapat pengertian “baku” dalam Kamus Istilah Keagamaan: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu (2014) terbitan Kementerian Agama. Halal diartikan “boleh dilakukan atau dikonsumsi menurut hukum Islam.”

Pengertian pendek dengan anggapan para pembaca sudah memiliki pengetahuan tentang halal. Kita jangan lupa menjenguk sebentar pengertian halal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2018). Pengertian-pengertian halal: “diizinkan (tidak dilarang oleh syarak), yang diperoleh atau diperbuat dengan sah, izin, ampun.” Halal di kamus cukup ringkas diartikan ke pembaca agar lekas paham dan terhindar dari kebingungan.

Kita memastikan para pelaku bisnis berselera atau bercap halal tak memiliki kewajiban menjadikan kamus-kamus itu referensi. Bisnis tanpa kamus-kamus tetap menguntungkan dan berhikmah. Halal memang belum terlalu diinginkan dikembalikan ke perkara bahasa dulu. Begitu.

Leave a Response