Adalah Ust. Abdul Somad (UAS), seorang cendekiawan muslim muda yang namanya melambung sampai ke manca negara dalam 5 tahun terakhir ini. Pengetahuannya tentang perbandingan madzhab pemikiran Islam dan hafalan ayat-ayat Alquran serta hadits memakau siapa pun yang mendengarkan ceramahnya.

Irama bertutur dengan dialek Melayu Sumatera membuat doktor alumni universitas Islam terkemuka ini semakin dekat dengan jamaah. Karenanya sangat ironis jika serangkaian keistimewaan yang ia miliki itu baru-baru ini menyeretnya dalam pusaran polemik ujaran kebencian.

UAS, dalam rekaman ceramahnya yang beredar di sosial media, menyebutkan bahwa ada Jin kafir pada tanda Salib yang menjadi simbol sakral umat Nasrani. Jin itu menurutnya memanggil-manggil siapa saja yang berada di depannya menuju jalan su’ul khatimah.

Seharusnya, materi dakwah berisi ajakan kepada orang Islam untuk menuju jalan kebaikan dan menghindarkan diri dari jalan kemusyrikan. Karenanya, mengabarkan tentang adanya Jin jahat di balik simbol suci agama lain tentu saja hal yang kontroversial, bahkan dapat dikategorikan sebagai ujaran kebencian yang melanggar undang-undang.

Beberapa hari setelah kontroversi itu beredar di media (viral), bersama MUI di Jakarta, UAS menggelar konverensi pers, memberikan pernyataan sikap. Pada forum itu UAS mengatakan tidak merasa perlu meminta maaf atas apa yang dilakukannya.

Ia menambahkan, pernyataan yang disampaikan dalam ceramah itu merupakan ajaran Islam dan disampaikan pada forum internal umat Islam. Lebih jauh UAS mengatakan bahwa ceramah itu telah disampaikan beberapa tahun yang silam. Inti pernyataan UAS adalah jika ada kelompok lain yang tersinggung kerena ceramahnya tersebut maka itu di luar tanggung jawabnya.

Tulisan ini tidak hendak memberikan dukungan kepada UAS untuk bersikap keukeh merasa tidak bersalah, atau menuntut UAS untuk meminta maaf karena telah menyakiti pengikut agama lain. Artikel ini akan lebih fokus membincang dampak dari peristiwa beredarnya rekaman dakwah dan sikap UAS bagi perjalanan dialog antar iman dan kampanye Islam wasathiah di Indonesia.

Saya menganggap apa yang dilakukan UAS telah menghambat atau bahkan membuat dialog antar agama di Indonesia mundur jauh sekali. Meski kita boleh sedikit lega karena sebagian besar pemuka Nasrani tidak menganggap itu persoalan besar.

Ada dua poin penting yang pantas digaris bawahi dalam konteks ini. Pertama adalah isi ceramah yang berpotensi menyakiti pengikut agama lain, dan kedua adalah alasan tidak perlunya meminta maaf mengingat yang disampaikan adalah ajaran Islam dan momentumnya pun pada forum internal umat Islam.

Dua catatan penting ini kemudian berpotensi memunculkan kesan bahwa Islam memang menyimpan ajaran yang berpotensi menyakiti pengikut agama lain. Selain itu, masyarakat non-muslim bisa saja berpikir bahwa mengujar kebencian bukanlah perkara serius jika itu dilakukan pada ranah tertutup.

Catatan-catatan tersebut tentu saja sangat mengganggu agenda dialog antar iman di Indonesia. Poin-poin itu menusuk jantung dialog antar iman dengan meninggalkan luka mendalam karena Ia bersangkut paut dengan prasangka atau prejudice. Memberikan klarifikasi mengenai prejudice merupakan agenda besar sampai sampai saat ini masih jauh dari tuntas.

Itulah sebabnya Ia termasuk satu hal yang paling krusial dalam upaya membangun dialog antar iman. Contoh prejudice lain yang juga popular adalah anggapan bahwa Islam identik dengan poligami dan kekerasan, atau mengidentikkan Nasrani menyembah tiga Tuhan. Lalu dengan tanpa merasa bersalah UAS telah menambah satu lagi Prejudice, yaitu ada jin kafir pada tanda salib yang memanggil-manggil dan mengajak pada keburukan.

Prejudice dinilai berbahaya karena ia memberikan sekat-sekat maya yang memisahkan pemeluk agama satu dengan yang lainnya. Melalui sekat maya itu, pemeluk agama ‘dipaksa’ agar sangat berhati-hati dan selalu memasang proteksi diri ketika bergaul dengan pemeluk agama lain. Pemisah yang tidak terlihat ini jika dibiarkan akan terus memproduksi kesalah pahaman dan prasangka-prasangka buruk antar pemeluk agama.

Kesemuanya itu kemudian berbuntut pada kengganan membangun dialog, bahkan mungkin terjadinya konflik antar pemeluk agama. Itulah alasan mengapa kasus UAS ini dianggap semakin memperberat kerja-kerja kesepahaman antar agama.

Selain dialog antar agama yang mendapat tantangan dari kasus UAS, agenda lain yang harus pula dilakukan adalah perjuangan mengampanyekan Islam wasathiyah. Gerakan ini berusaha menunjukkan kepada publik, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di dunia, bahwa Islam bukanlah agama yang membawa ekstrimisme dan radikalisme.

Keseriusan ulama-ulama Indonesia membangun gerakan ini ditandai dengan gelaran High Level Consultation of World Muslim Scholars on Wasathiyyah Islam selama tiga hari (1-3 Mei 2019) di Bogor.

Pada pertemuan ulama dan cendekiawan muslim dunia itu, Grand Sheikh Al Azhar Dr Ahmad Thoyyib yang juga tokoh sentral di universitas tempat UAS menimba ilmu juga turut hadir. Dr Ahmad Thoyyib dalam ceramahnya mengamanahkan kepada alumni Al Azhar yang beliau sebut sebagai anak itu untuk bisa bekerja sama dengan berbagai pihak.

Tidak bisa dimungkiri, bahwa kasus UAS akan berpotensi memperberat kerja-kerja pengarus utamaan Islam Wasathiyah, apalagi UAS adalah salah satu alumni Universitas Al Azhar yang menjadi influencer bagi jutaan follower.

Kasus Ustaz Abdul Somad benar-benar hantaman keras bagi upaya dialog antar agama dan gerakan Islam wasathiah. Akan tetapi di luar itu semua, kita beruntung karena sebagian besar masyarakat Kristiani berlaku bijak. Mereka menyadari bahwa kasus UAS adalah karakter pribadi yang tidak bersangkut paut dengan masyarakat Islam secara keseluruhan.

Selain itu, baik langsung maupun tidak, sebagian umat Islam telah berusaha menjalin hubungan baik dengan saudara-saudara Nasrani, bahkan rela minta maaf atas nama UAS jika dianggap bersalah. Kedewasaan berpikir dan bersikap jamaah, baik Islam maupun Nasrani, adalah potensi besar untuk kembali menata rancang bangun dialog antar Iman dan Islam wasathiyah.

Leave a Response