Banyak yang mengira bahwa Djemilah adalah istri dari George Birnei—lelaki keturunan Skotlandia yang memiliki sumbangsih besar atas terbentuknya Kabupaten Jember. Bahkan tak sedikit yang menyebut nama Jember berasal dari Djemilah-George Birnei. Agaknya, ini terjadi karena peninggalan sejarah kolonial berupa makam Djemilah dapat dijumpai di Maesan. Keberadaan tempat istirahat bergaya Eropa ini seakan mempertegas bahwasannya ia adalah istri dari George Birnei.

Ketika beberapa waktu lalu saya menelusuri makam Djemilah yang berada di tengah-tengah sawah, saya tak mampu mengelak untuk tidak membayangkan kehidupan Rabina Birnei. Bagi saya, Djemilah dan Rabina adalah perempuan istimewa. Keduanya menjadi istri sah lelaki kolonial ketika pergundikan ditentang, bahkan rentan disembunyikan karena dianggap sebagai aib.

Sisi inilah yang memiliki daya tarik, mengingat keduanya sama-sama perempuan pribumi yang ditakdirkan menjadi istri lelaki kolonial kaya-raya, namun menjalani kehidupan masa tua berbeda. Apabila Djemilah Birnei memiliki jejak sejarah lewat makam tuanya, justru keberadaan Rabina seakan lenyap begitu saja. Wajar apabila terdapat anggapan kalau Djemilah yang menjadi istri George Birnei.

Sebagai sosok yang disebut-sebut sebagai bapak modern Jember, kehidupan George Birnei kerap disorot. Ia yang memperkenalkan tembakau Jember ke Eropa sehingga menjadi terkenal di kalangan mancanegara adalah lelaki pemberani, dan tidak malu mengenalkan istrinya ke publik. Saya tidak sanggup membayangkan, bagaimana perempuan pribumi yang dianggap dekil, kotor, pemilik kasta terendah berada di hadapan lelaki kolonial lainnya.

Barang tentu terdapat perasaan bangga. Tetapi saya yakin was-was jua. Bagaimana tidak was-was ketika usaha sang suami berkembang pesat, George Birnei malah memutuskan kembali ke Belanda guna meneruskan usaha keluarga, dan tak lupa memboyong Rabina ke Eropa—tanah impian banyak pemuda yang masih berlaku hingga sekarang. Rabina pasti gelisah berpisah dengan kampung halaman. Apalagi, ia hanya menguasai bahasa Melayu sebagai penghubung dengan dunia luar. Kegagapannya pasti besar.

Tetapi, tidak disebut perempuan jika masih bisa memilih. Ia tetap pergi pada tahun 1873. Sebagaimana catatan RZ Hakim, Ade Irawan serta yang lain, Alfred Birney yang merupakan cicit George Birnei menuliskan kisah buyutnya ini. Alfred menyebut usaha tembakau George Birnei di Jember dialihkan ke tangan sepupunya, Gerhard David Birnei yang tak lain adalah suami Djemilah Birnei.

Selama menetap di Eropa, Rabina sering memperoleh perlakukan diskriminasi. Kulit cokelat yang terkesan kotor hidup di tengah-tengah manusia berkulit putih dan berambut pirang. Belum lagi bahasa yang menjadi kendala. Padahal satu-satunya penghubung antara manusia dengan manusia yang lain adalah bahasa. Kian bertambahlah kesengsaraan hidup Rabina.

Saya memang bukan ahli nujum atau pemilik indera kedua puluh satu untuk memastikan seluk-beluk perasaan Rabina ketika itu. Tetapi, sebagai sesama perempuan yang konon lebih mengutamakan perasaan daripada rasional, dapat dikatakan bahwasannya sedikit banyak Rabina memendam derita selama di Eropa. Hal ini didukung cerita Alfred yang menyebut nenek buyutnya itu kerap berkeluh-kesah pada sang suami, betapa ia merindukan Hindia Belanda.

Entah mengapa ketika jemari menuliskan kisah ini, saya teringat lagu Tanah Airku ciptaan Ibu Soed. Saya kira lirik dalam lagu sangatlah tepat:

Walaupun banyak negeri kujalani / yang mahsyur permai di kata orang /

Tetapi kampung dan rumahku / Di sanalah kurasa senang /

Tanahku tak kulupakan / engkau kubanggakan /

Tidak kan hilang dari kalbu agaknya cukup mewakili Rabina. Sebab ia tidak mungkin melupakan Grimin dan Sayeh, orang tuanya. Ia tidak mungkin melupakan Hindia Belanda, tanah lahirnya. Pada akhirnya, perempuan yang 13 tahun lebih muda dari suaminya ini menjalani hidup di tengah-tengah masyarakat hiprokit. Ia menjalani takdir dengan segala keterbatasan bahasa dan diskriminasi ras.

Pada titik ini, saya tidak mampu menyebut apakah perkawinan Rabina dan George sebagai keberuntungan atau tidak. Yang mampu saya tangkap adalah bentuk syukur Rabina betapa George Birnei melawan zaman dengan memperjuangkan feminisme. Namun, lagi-lagi saya tidak bisa memastikan perasaan Rabina ketika George Birnei wafat terlebih dulu. Lelaki itu meninggal pada 20 Mei 1904 ketika Rabina berusia 60 tahun. Pasangan hidup yang telah menerima perempuan pribumi seperti dirinya. Padahal, kalau bukan George Birnei, pada siapa ia berkeluh kesah? Apakah masa sepeninggal sang suami hidupnya kian sengsara? Entahlah.

Rasa-rasanya tidaklah tepat menyebut masa tua Rabina nelangsa. Sebab ia memiliki delapan anak beserta cucu dan cicitnya yang bisa saja berusaha memahami kondisi Rabina, kendati saya tidak memungkiri jika bahasa menjadi kendala. Saya kira, ia tetap perempuan beruntung meski pergejolakan batin tidak bisa dipadamkan kala menetap di Eropa.

Bukankah perempuan memang didoktrin harus siap menderita lahir batin? Bukankah, takdir perempuan memang tak pernah luput dari sejarah terbungkamnya bibir? Bukankah lelaki telah selesai dengan dirinya sendiri sejak lahir, sementara perempuan masih harus menjemput dirinya sendiri, dan itu pun tak bisa memilih? Ah, sudahlah. Toh, sejak dulu perempuan tak pernah selesai dengan urusan ke-perempuannya.

 

 

 

Leave a Response