Sebagai provinsi dengan kekayaan alam yang melimpah, Aceh menjadi wilayah incaran penjajah. Berbagai perang besar terjadi, baik dengan Portugis pada masa pemerintahan Sultan Al Mukammil  (1589-1604) maupun perang dengan Belanda. Kondisi ini melahirkan pejuang-pejuang yang gigih dari tanah Serambi Mekkah, tidak hanya laki-laki tetapi juga perempuan. Salah satunya adalah Teungku Fakinah, salah seorang ulama muda serta pejuang dari Aceh.

Teungku Fakinah lahir dari pasangan Teungku Datuk dan Teungku Fathimah pada tahun 1856. Ia dilahirkan di Kampung Lam Beunat, Mukim Lam Krak, VII Mukim Baet, Sagi XXII Mukim, Aceh Besar. kelurganya adalah pendiri Dayah Lam Pucok. Dayah merupakan semacam pondok pesantren di Aceh.

Semenjak kecil, ia dididik orangtuanya mengenai ilmu agama. Ibunya mengajarkan Al-Qur’an, membaca dan menulis huruf Arab, serta ilmu-ilmu agama lainnya. Selain belajar ilmu agama, ia juga belajar berbagai keterampilan dari sang ibu, seperti menjahit, menenun, menyulam, memasak dan lain sebagainya.

Sekitar tahun 1872, Teungku Fakinah sudah berusia remaja. Ia menikah dengan Teungku Ahmad. Keduanya mengajar di Dayah milik keluarga Teungku Fakinah. Masuknya Teungku Fakinah ke dayah tidak hanya mengenai hal mengajar saja, tetapi ia juga menjadi tanda mulai berkembangnya pendidikan bagi perempuan Aceh. Karena sejak masuknya ia sebagai pengajar, tidak hanya laki-laki yang datang untuk belajar tetapi juga perempuan, bahkan juga disediakan asrama tersendiri.

Pada awal tahun 1873, tanda-tanda Belanda akan menyerang Aceh semakin terlihat. Aceh yang saat itu dipimpin oleh Sultan Alaiddin Mahmud Syah melakukan berbagai persiapan. Aceh melakukan persiapan dengan siaga apabila Belanda sewaktu-waktu menyerang.

Pada tahun yang sama kapal-kapal Belanda sudah berlabuh di Aceh. Belanda juga mengirim surat kepada kesultanan Aceh yang berisi pernyataan perang. Walaupun demikian, Sultan Mahmud tidak gentar. Ia memerintahkan rakyat Aceh untuk bersiap menghadapi Belanda.

Dalam pertempuran yang  meliabatkan para santri Lam Pucok dan ulamanya, menewaskan beberapa nama pejuang. Salah satu diantaranya adalah Teungku Ahmad, suami Teungku Fakinah. Sepeninggal suaminya, Teungku Fakinan mengambil alih pimpinan suaminya. Ia membentuk barisan yang anggotanya adalah perempuan, utamanya adalah para janda yang ditinggal mati suaminya saat perang.

Barisan yang dibentuk oleh Teungku Fakinah ini bertugas menyiapkan konsumsi dan bantuan medis kepada pasukan perang. Sebagian dari anggotanya juga aktif dalam membantu laki-laki mengusir penjajah. Barisan ini terus memperoleh dukungan dari berbagai kalangan.

Dalam masa perjuangannya, Teungku Fakinah tidak berdiam diri di tempat. Ia telah datang ke berbagai daerah untuk berkoordinasi dan membangun kekuatan.  Perjalanan ini tidak hanya menghimpun kekuatan fisik tetapi juga mengumpulkan berbagai bantuan yang digunakan untuk perang.

Ketika berbagai daerah jatuh ke tangan Belanda, Sultan Mahmud memerintahkan rakyak untuk membentuk pasukan sukarela. Hal ini tidak disia-siakan oleh Teungku Fakinah. Ia membangun bala pasukan yang terdiri dari beberapa kelompok. Setiap kelompok menempati satu tempat pertahanan. Pasukan yang didirikan olehnya tercatat merepotkan barisan pertahanan Belanda.

Pada masa ini, Teungku Fakinah menikah dengan Teungku Nyak Badai. Perjodohan ini dilakukan untuk menghindari fitnah, karena dalam berperang diperlukan musyawarah untuk membangun strategi. Dalam kondisi seperti itu, hanya ia panglima dari kalangan perempuan yang ikut. Oleh karena itu, perjodohan ini untuk menghindari fitnah yang tidak baik bagi dirinya maupun panglima lainnya. Sementara itu ia dan Teungku Nyak Badai tidak keberatan dengan perjodohan tersebut.

Setelah menikah Teungku Fakinah dan lainnya mempersiapkan kebutuhan perang. Pada tahun 1893-1895 perang berkobar. Para panglima perang terdiri dari beberapa ulama dan habib. Pertempuran ini menewaskan banyak pasukan perang.

Belanda terus mendesak, Teungku Fakinah berpindah dari satu daerah ke daerah lainnya. Lagi-lagi Belanda berhasil mencium keberadaannya. Belanda mendatangi dan mengobrak-abrik tempat tinggalnya. Untugnya, ia masih bisa menyelamatkan diri. sedangkan suaminya tewas diserang harimau.

Dalam menjalani masa peprangan, Teungku Fakinah tidak melupakan tugasnya sebagai seorang ulama. Ia tetap memberikan pengajaran kepada perempuan-perempuan tentang ilmu agama. Bahkan ia juga sempat mendirikan pesantren sebelum Belanda mendatangi tempat tersebut.

Pada tahun 1910 Teuku Panglima Polem Muhammad Daud menganjurkan Teungku Fakinah untuk kembali membangun Dayah di kampung. Ia mengiyakan anjuran tersebut. Teuku Panglima Polem Muhammad Daud mengajurkan hal tersebut dengan tujuan agar masyarakat Aceh kembali memperoleh pelajaran agama sehingga tidak menjadi kafir.

Pembangunan dayah disambut dengan senang hati oleh masyarakat Aceh. Masyarakat memberikan sebagian hartanya untuk pembangunan Pesantren. santri-santri kembali berdatangan dari berbagai daerah. Beberapa yang datang adalah para janda dan gadis, tetapi juga ada santri dari kalangan laki-laki.

Pada tahun 1914 Teungku Fakinah hendak menunaikan ibadah haji. Ia berniat untuk menikah sebelum berangkat haji agar ia memiliki seorang mahram untuk pergi ke Mekkah. Menikalah ia dengan Teungku Ibrahim. Mereka berangkat haji dengan diantar para santri sampai Subang.

Di Arab, keduanya tidak hanya melaksanakan haji, tetapi juga menimbah ilmu agama ke berbagai guru, baik di Mekkah maupun Madinah. Pada tahun 1918, Teungku Fakinah menjandah untuk ketiga kalinya. Suaminya Teungku Ibrahim meninggal di Mekkah. Setelah itu ia kembali ke Aceh.

Pertemuan dengan para pemimpin Islam dunia di Arab memberikan pandangan baru kepada Teungku Fakinah. Melawan penjajah tidak cukup dengan senjata dan perang saja. Tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan. Sekembalinya ke Aceh,  ia memusyawarakan hal tersebut kepada sesama pejuang. Dari hasil musyawarah tersebut, para pejuang dan ulama Aceh mulai melakukan pembangunan pendidikan Islam di Aceh.

Pada tahun 1925, Teungku Fakinah kembali ke Mekkah untuk melakukan ibadah haji sekaligus menuntut ilmu agama selama setahun. Pada tahun 1933, ia menghembuskan nafas terakhirnya di rumah kediamannya di Lam Krak.

Teungku Fakinah adalah seorang perempuan ulama sekaligus pejuang dan seorang panglima. Ketika memimpin perang, ia membuat Belanda sampai kebingungan menangkapnya. Kemampuannya dalam berdiplomasi juga memberikan andil terhadap penyadaran Teungku Umar yang sempat membela Belanda. Kehebatannya ini membuat siapa saja menaruh hormat kepadanya, termasuk Belanda yang sempat mengunjungi  pesantrennya.

 

Leave a Response