Malala Yousafzai, seorang gadis asal Lembah Swat, Pakistan ini berhasil lolos dari maut setelah tentara Taliban menghujamkan timah panas ke bagian kepalanya. Aksi teror tersebut dilakukan lantaran Malala di usianya yang masih dini getol mengampanyekan pentingnya pendidikan anak.

Berdasarkan buku I’m Malala karya Christina Lamb, Malala lahir pada 12 Juli 1997 di Lembah Swat, Mingora, Pakistan Utara. Ayahnya, Ziauddin adalah politikus, pendidik dan penyair. Meski berasal dari keluarga terhormat ia tidak terlepas dari jeratan kemiskinan. Namun hal itu tidak mematahkan semangatnya untuk memerangi kebodohan.

Menurutnya, pendidikan adalah solusi paling mutakhir untuk mengentaskan keterbelakangan di desanya. Sehingga, saat kelahiran putrinya ia nekat mendirikan sekolah “Khushal” dengan modal seadanya.

Sementara ibunya, Tor Pekai tidak pernah mengenyam pendidikan. Sehingga ia buta huruf. Dia adalah sosok wanita shalihah yang tidak pernah absen mengerjakan salat. Budaya patriarki telah merenggut hak didiknya. Mereka beranggapan bahwa perempuan tidak perlu belajar karena hanya akan bertugas menyiapkan makanan dan melahirkan.

Jika kelahiran anak laki–laki disambut meriah dengan letupan senapan, maka kelahiran bayi perempuan akan disembunyikan di balik tirai. Sebagian besar warga suku Pasthun menganggap hari tampak muram saat bayi perempuan lahir.

Namun Ziauddin tidak termasuk dari mereka. Ia percaya bahwa perempuan setara dengan laki-laki. Harapan sang ayah terhadap putrinya tercermin dari bagaimana dia menisbatkan nama Malala kepada salah satu tokoh  pahlawan besar Afghanistan, Malalai.

Meski budaya patriarki cukup kental di desa ini, beruntung tidak ada larangan perempuan untuk bersekolah. Namun profesi perempuan dibatasi sebagai guru dan dokter saja. Padahal seorang Malala, ingin menjadi politisi. Dalam lubuk hatinya ia geram melihat kenyataan di lingkungannya tersebut.

Malala mengenyam pendidikan di sekolah yang didirikan ayahnya. Setiap pukul 8 pagi ia rutin berjalan kaki menuju sekolah yang tidak jauh dari rumahnya itu. Namun, setelah kelompok teroris Taliban menyerbu kampungnya, ia tidak lagi bebas. Kendati sangat dekat, para siswa diantar dengan bus demi keselamatan.

Dampak buruk Taliban di Afghanistan telah merembet ke daerahnya. Mereka memaksa warga untuk tunduk pada hukum yang mereka buat sendiri. Aturan ini mengekang kebebasan perempuan. Mereka dilarang keluar tanpa pendamping dan dilarang bersekolah.

Malala si kutu buku tidak dapat menahan rasa sedihnya. Bagaimana mungkin cita–citanya sebegitu mudah dirampas dengan todongan senjata. Dia mencurahkan keluh kesahnya selama hidup berdampingan dengan kelompok ekstrimis di halaman blog BCC. Tentu dengan nama samaran.

Selain rajin menulis, dia dan ayahnya gemar mengampanyekan pentingnya pendidikan bagi masyarakat. Terutama bagi warga miskin yang mendominasi wilayahnya. Tidak ada cara lain untuk mengubah nasib selain pendidikan.

Aksinya menuai protes keras dari kelompok Taliban. Mereka mengintimidasi dan mengancam keluarga Malala melalui surat, tulisan di koran, hingga pembunuhan sebagaimana pernah terjadi pada teman ayahnya, Zahid Khan yang tewas terbunuh.

Kendati perasaan takut dan khawatir kerap muncul, mereka tetap nekat mengampanyekan pentingnya pendidikan. Namun, kejadian naas pun terjadi. Pada tanggal 9 Oktober 2012, pada saat murid-murid pulang dari sekolah tepat setelah melaksanakan ujian, seorang Taliban menghentikan bus mereka. Naik ke bangku penumpang sambil berteriak, ”Mana di antara kalian yang bernama Malala?

Suasana mencekam, Malala tidak dapat menyembunyikan identitasnya. “Tunggu, paman boleh menembakku, tapi jangan pernah melarang teman–temanku untuk bersekolah”, pintanya.

Selang beberapa detik, tiba–tiba tiga timah panas dari colt.45 meluncur ke tubuhnya. Satu bersarang di kepalanya. Sementara dua lainnya mengenai teman di sebelahnya. Darah mengalir di mana–mana, Malala pun panik hingga tak sadarkan diri.

Peluru yang berada di kepalanya telah menembus ke beberapa anggota tubuh vital. Oleh sebab itu, dia segera dilarikan ke rumah sakit di Peshawar. Kondisinya kritis, hanya ada sedikit harapan hidup. Kabar tentang penembakan bocah cilik yang berjuang untuk pendidikan anak-anak perempuan ini viral. Dia berhasil menyentuh jutaan orang dari beragam kalangan termasuk pejabat tinggi negara. Dia mendapat tawaran perawatan gratis di negara- negara elit seperti Jerman, Singapura, Inggris dan Uni Emirat Arab.

Karena peralatan medis tidak memadai, ia diterbangkan ke Brimingham dan mendapatkan perawatan di Rumah Sakit Queen Elizabeth. Kondisinya cukup memprihatikan sehingga dia harus lebih lama mendekam di Rumah Sakit. Untungnya dia tidak berjuang sendirian.

Arus dukungan silih berganti menghampiri, tak ada henti–hentinya. Dari mulai ucapan remeh anak–anak desa hingga artis–artis kenamaan Hollywood. Semua mendoakan kesembuhan Malala. Dan akhirnya, di bulan Januari 2013 dia dinyatakan sembuh dan bisa kembali beraktivitas di luar ruangan.

Melansir Al Jazeera, Malala meraih banyak penghargaan. Di awal Desember 2014, Komite Nobel menganugerahinya sebagai pemenang Nobel Perdamaian Dunia 2014 berkat kerja keras dan keberaniannya memperjuangkan hak hak pendidikan bagi anak-anak. Saat itu usianya baru 17 tahun sehingga didaulat sebagai peraih nobel termuda sepanjang masa.

Tahun 2015, Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) mengabadikan nama Malala Yousafzai untuk sebuah asteroid. Tahun 2017 Antonio Gutters Sekjen PBB menganugerahinya sebagai Utusan Perdamaian PBB bidang pendidikan perempuan. Dia tercatat sebagai utusan termuda PBB.

Pidatonya di PBB sangat menginspirasi, “Satu anak, satu guru, satu buku, dan satu pena, bisa mengubah dunia. Pendidikan adalah satu-satunya solusi. Pendidikan adalah yang utama”, tegas Malala di depan para petinggi PBB.

Perjuangannya diabadikan dalam sebuah buku berjudul I Am Malala. Buku tersebut laris terjual dan mendapat kontrak senilai 29 M. Kisahnya juga dibuat film dokumenter bertajuk He Named Me Malala besutan David Guggenheim.

Tindak kejahan yang menimpanya, tidak membuat dirinya berhenti menempuh pendidikan. Jika dia berhenti artinya para teroris itulah yang menang, namun Malala melakukan hal sebaliknya. Pada bulan Juli lalu, Malala telah menyelesaikan studinya di Universitas Oxford, Inggris dengan konsentrasi bidang Filsafat, Politik dan Ekonomi.

Dengan begitu ia telah memenangkan pertempuran melawan Taliban. Kini mimpi kecilnya untuk menjadi politisi pun nampaknya tinggal sedikit lagi akan tercapai.

Leave a Response