Meski belum menikah, saya mengikuti akun-akun yang memberikan pengetahuan tentang kehamilan, melahirkan dan pengasuhan anak. Salah satu akun di Instagram yang saya ikuti adalah Halo Ibu. Akun dengan tagar #unjudgementalsupport adalah ruang aman terutama bagi Ibu-ibu untuk bercerita, belajar, dan mengembangkan diri.
Dalam sudut pandang saya sebagai perempuan yang belum menikah, menjadi Ibu di Indonesia itu tidak mudah. Saya sangat dekat dengan pengasuhan karena latar belakang pendidikan saya dan juga keikutsertaan saya dalam pengasuhan anak-anak terlantar. Saya juga ikut mengasuh anak-anak di sekitar saya. Bagi saya, setiap perempuan dewasa adalah Ibu bagi setiap anak di dunia.
Melalui Halo Ibu, saya mengobservasi bahwa peran perempuan yang menikah dan memiliki anak menjadi berat karena beberapa hal. Yaitu karena suami yang kurang bahkan tidak hadir secara penuh dalam berbagi peran, orangtua dan mertua yang kurang berempati bahkan sering mendikte, tetangga dan teman yang tidak saling mendukung, dan juga fasilitas yang tidak mendukung.
Ada dua cerita dalam Halo Ibu yang belakangan membuat saya patah hati. Yang pertama adalah Ibu yang tidak bekerja dan memiliki pengasuh anak, Ibu yang tidak pernah merasakan orgasme, dan juga seorang Ibu yang tidak memiliki waktu untuk merawat diri sendiri.
Dari ketiga cerita ini, saya melihat adanya relasi yang timpang terutama dalam hubungan suami dan istri. Saya membayangkan bahwa memiliki anak sudah sangat melelahkan secara fisik, psikis maupun ekonomi, dan bagaimana jika itu dibarengi dengan adanya suami yang tidak memahami kebutuhan istri, tidak saling mendukung dan tidak terlibat dalam pengasuhan dan tugas domestik.
Beberapa bulan lalu saya membaca buku parenting berjudul Bringing Up Bebe karya penulis Pamela Druckerman yang merupakan orang Amerika. Ia tinggal di Prancis setelah menikah. Dalam buku itu saya banyak belajar tentang perbedaan pengasuhan dan pendidikan ala Amerika dan Prancis.
Sebenarnya saya merasa cemburu dengan adanya sistem pendidikan dan pengasuhan di Prancis beserta fasilitas, lingkungan dan pola pikir warga negaranya yang mendukung adanya multiperan terutama bagi perempuan. Saya langsung membandingkan kondisi ini dengan di Indonesia.
Di Prancis perempuan mendapatkan libur 21 hari lebih banyak. Ada cuti hamil yang dibayar bagi Ibu dan Bapak. Ada penitipan anak sebelum 1 tahun sampai 3 tahun (Creche) dan prasekolah negeri mulai usia 3 tahun (ecole maternelle) yang disubsidi bahkan gratis. Selain itu juga ada kemudahan kredit pajak dan pembayaran karena memiliki anak.
Creche akan sangat membantu bagi Ibu yang ingin beristirahat setelah berbulan-bulan mengasuh anak selama 24 jam dan juga bagi Ibu yang ingin kembali bekerja. Jadi Creche adalah tempat aman bagi Ibu-ibu yang ingin kembali beraktualisasi sekaligus menitipkan anaknya dengan aktivitas dan pendidikan yang “Prancis banget”. Seperti etika menyapa orang lain bonjour sedini mungkin dan mengajarkan kemandirian pada anak. Creche dimulai pukul 8 pagi sampai 6 petang yang buka lima hari dalam seminggu.
Bahkan di Prancis ada PMI (Protection Maternelle et Infantile, Layanan Keselamatan Ibu dan Bayi) yang memfasilitasi untuk mengirimkan dokter ke rumah setelah Ibu dan bayi pulang dari rumah sakit. Juga memberikan pelayanan dengan mengirimkan psikiater ke rumah jika ada indikasi Ibu mengalami baby blues. Semuanya disubsidi bahkan gratis.
Yang lebih membuat saya takjub adalah sesi reeducation perineum setelah melahirkan untuk mengembalikan perineum Ibu yang mengendur setelah melahirkan. Karena ini membuat Ibu menjadi rentan mengeluarkan urin dan menganggu hubungan seksual suami dan istri.
Selain itu juga ada sesi reedukasi perut untuk mengurangi lemak di perut dan mengencangkan otot-otot di perut dan vagina. Hal ini akan membantu perempuan untuk mendapatkan kepercayaan diri dan hubungan seksual yang baik dengan suami. Karena bentuk badan mereka dapat kembali setelah beberapa bulan melahirkan.
Jadi saya tidak heran mengapa ibu-ibu di Paris bentuk badannya kembali pada bentuk semula dan tetap modis meski mendorong stroller sambil memegang cangkir kopi. Mereka sangat memerhatikan penampilan dan aktualisasi diri.
Sekarang kita kembali pada realita di sekitar kita, bagaimana keadaan yang saya sebutkan di atas tidak dapat kita nikmati karena memang tidak ada. Saya dapat berempati membayangkan bagaimana Ibu-ibu tidak memiliki waktu untuk merawat diri karena tempat penitipan anak di Indonesia jarang sekali dan kalaupun ada itu berbayar. Tidak semua orang tua dapat memperkerjakan pengasuh anak atau asisten rumah tangga.
Selain itu, Ibu yang memiliki peran ganda menjalankannya sendirian tanpa kolaborasi suami. Sebulan terakhir saya membantu mengasuh keponakan saya dan saya pernah menjaganya berdua dengan adik. Membersihkan rumah, memasak, bekerja dari rumah, mencuci pakaian dan melakukan pekerjaan lainnya sendirian dengan bayi, sungguh sangat berat. Tidak heran jika keadaan ini membawa pada baby blues dan depresi.
Di Indonesia, untuk mendapatkan fasilitas layanan kesehatan kita perlu datang langsung ke rumah sakit dan ke klinik psikologi. Membayar dengan harga yang tidak murah. Tapi jika kaya raya tentu dapat mengundang dokter dan psikolog pribadi ke rumah.
Belum lagi fasilitas reedukasi perineum dan reedukasi perut yang tidak umum di Indonesia. Jika boleh membayangkan, saya pikir bahwa kedua sesi ini dapat membantu Ibu-ibu untuk merasakan orgasme dna kehidupan seksual yang sehat dengan suami. Juga memiliki bentuk tubuh yang ideal.
Saya bisa membayangkan mengapa sebagian Ibu hanya bisa memakai daster, tidak bisa beraktualisasi diri dan tidak memiliki waktu berdandan. Juga kesusahan untuk mencarikan penitipan anak yang berkualitas dan sekolah yang baik sekaligus terjangkau.
Dalam akun Cermin Lelaki malah banyak lelaki yang mengeluhkan istrinya tidak cantik, gemuk dan tidak menarik lagi setelah menikah dan memiliki anak. Tapi mereka tidak mau berbagi peran domestik, tidak memberikan nafkah yang layak dan tidak mengapresiasi istrinya.
Sungguh berat menjadi Ibu di Indonesia, yang pekerjaan domestik banyak dibebankan pada perempuan. Padahal multiperan itu sungguh berat, tapi lingkungan sosial terus memburu perempuan untuk segera menikah (bahkan melakukan pernikahan anak), menekan pasangan untuk memiliki anak dan terus menambah anak.
Apa mereka mau membantu mengasuh anak, melakukan pekerjaan domestik dan membiayai pernikahan, kehamilan dan melahirkan? Tidak. Mereka hanya bisa kepo dan mengomel saja.
Menjadi ibu di Indonesia itu tidak mudah.