Tidak kurang dari lima ibu heroik digambarkan dalam Al-Qur’an, yaitu: Hawa, Maryam, Ibu Musa, Bilqis, dan Asiyah.
Para ibu agung tersebut dijelaskan dalam Al-Quran sebagai seorang perempuan yang menjadi “subjek” utuh dan memiliki eksistensi serta kemerdekaan penuh yang melekat dalam harkat dan martabat kemanusiaannya. Mereka melahirkan anak dan menciptakan keturunan atau generasi sebagaimana kodrat biologinya untuk fungsi reproduksi.
Namun dalam peran keibuan tersebut, mereka tetap menampakkan dengan sangat jelas keberadaannya sebagai “subjek” yang berkehendak, mencipta, dan mendinamisir sejarah dan peradaban.
Hawa dalam drama kosmis yang dikisahkan Al-Qur’an adalah perempuan yang otonom dan berposisi egaliter dengan Adam. Dalam kisah simboliknya, Hawa bersama-sama dengan Adam memakan buah terlarang di surga, lalu sama-sama terusir ke bumi.
Setelah keduanya bertaubat dan diterima Allah taubatnya, lalu Allah mempercayakan keturunan mereka sebagai khalifah (pengganti Tuhan) di bumi dengan ilmu pengetahuan yang diberikan Allah kepada mereka. Kisah simbolik Hawa dan Adam yang egaliter adalah kebenaran pesan perenial, tentang hubungan manusia modern dengan ilmu pengetahuan.
Maryam juga muncul dengan subjektivitas diri yang amat kuat. Nama Maryam secara eksplisit disinggung dalam al-Qur’an. Khususnya untuk masyarakat Kristiani, Bunda Meri (Maryam) diposisikan sangat tinggi dalam bagian teologis yang diimani. Dalam banyak referensi, baik dalam tradisi Nasrani maupun Islam, biografi dan kisah hidup Maryam dipenuhi dengan kesucian, keutamaan, dan kekuatan kepribadian.
Maryam sangat mencintai ilmu dan gigih belajar di Bait al-Maqds. Dia sangat kuat menghadapi hinaan, cacian, dan tuduhan masyarakat atas janin yang ada di rahimnya tanpa melalui sentuhan lelaki sama sekali. Sebab kehamilannya adalah kehendak Allah.
Pembacaan kuat Maryam atas krisis nilai akut di masyarakat membawanya bermunajat pada Allah agar anak yang dikandungnya adalah manusia yang dapat mengubah sejarah dan peradaban manusia. Lalu Allah mengabulkan doa-doanya dengan kelahiran Nabi Isa a.s.
Bilqis dikisahkan Al-Qur’an dengan otonomi kuat. Dia seorang ratu yang mampu membawa kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya dengan sistem pemerintahan yang bijaksana dan demokratis. Hingga Nabi Sulaiman a.s. sangat terkagum-kagum padanya.
Setelah dialog dan bernegosiasi, kejernihan dan keterbukaan pola pikir Bilqis membuatnya berkeputusan untuk masuk Islam bersama seluruh rakyatnya. Bilqis adalah salah satu figur seorang ibu yang dapat mengambil keputusan secara langsung untuk mengubah sejarah pada masanya.
Kisah Ibu Musa juga penuh otonomi dalam berkeputusan. Peraturan Raja Fir’aun yang akan membunuh semua bayi laki-laki menjadikan ibu Musa mengupayakan berbagai cara, ikhtiar, dan strategi untuk menyelamatkan bayi Musa dari Firaun. Doa dan upaya konkrit dia lakukan secara berimbang. Doa yang dipanjatkan pada-Nya agar bayinya dijaga Allah secara langsung, sebab pada bayinya itulah ibu Musa mengharapkan dapat jadi pengubah sejarah Mesir yang ratusan tahun dikuasai Raja Firaun yang Dzalim.
Setelah menerima wahyu dari Allah, bayi Musa dia hanyutkan ke Sungai Nil. Melalui anak perempuannyanya, Ibu Musa mengawal keselamatan bayi Musa hingga keberadaannya aman. Hingga kisah selanjutnya, ibu Musa terus mendampingi bayi Musa dengan menyusuinya di kerajaan.
Kisah Asiyah (istri Fir’aun) juga diabadikan dalam al-Qur’an. Asiyah mendapatkan firasat akan keagungan bayi Musa yang dia temukan di Sungai Nil. Firasatnya mengatakan bayi itu nantinya dapat menyelamatkan masa depan sejarah dan peradaban manusia. Asiyah aktif dan asertif dalam memberikan berbagai argumentasi untuk meyakinkan Fir’aun agar mau menerima bayi Musa di kerajaan. Bahkan mengadopsinya sebagai anak mereka berdua, yang nantinya menjadi pewaris kerajaan.
Dasar-dasar etika humanis ditanamkan oleh Asiyah pada Musa hingga kemudian Musa menjadi matang dan menerima risalah kenabian dan kerasulan. Otonomi Asiyah tetap muncul meskipun dengan tantangan yang kuat, sebab ia berseberangan pandangan dan ideologi keyakinan dengan suaminya sendiri (Raja Fir’aun). Karena iman Asiyah yang kuat meskipun dalam tekanan dan siksaan Fir’aun itulah, maka Allah menjanjikan bangunan surga untuknya sebagaimana tertulis dalam al-Qur’an.
Mencermati kisah para ibu yang heroik dan agung dalam al-Qur’an di atas telah memberikan catatan penting pada kita. Menurut al-Qur’an, konsep ibu adalah perempuan matang yang berperan dalam fungsi reproduksinya dalam menghadirkan keturunan. Hal ini diakui betul oleh al-Qur’an.
Yang menarik dan penting untuk digarisbawahi adalah, bahwa fungsi reproduksi yang inheren dalam perempuan dengan menyandang sebutan “ibu” ini tidak kemudian menghalangi atau menutupi akan perannya sebagai manusia “otonom” yang berdaulat dan berposisi sebagai “subjek” penuh.
Oleh karenanya, para ibu dalam al-Qur’an adalah para ibu yang ikut terlibat aktif dalam mengubah tatanan masyarakat. Ikut menciptakan dan membentuk sejarah dan peradaban manusia ke arah yang lebih bertata nilai, berkeadilan, dan humanis dalam tatanan politik, ekonomi, sosial, budaya, bahkan teologi.
Sebenarnya, fakta historis para pejuang perempuan Indonesia juga sama. Para ibu Indonesia telah mempunyai kesadaran sebagai “subjek” otonom yang tidak menjadikan peran domestik sebagai satu-satunya bentuk atau pilihan untuk aktualisasi dirinya. Mereka berperan aktif dalam meraih kemerdekaan RI, aktif berkontribusi dalam hidup berbangsa dan bernegara. Mereka dipenuhi cita kemanusiaan yang tinggi.
Namun sayangnya, tonggak historis tahun 1921 sebagai muara kesadaran bersama tersebut belum dijadikan dasar historis bagi kesetaraan gender di Indonesia. fakta ini terlihat, di satu sisi, banyak perempuan yang masih tetap menerima peran domestiknya sebagai satu-satunya pilihan atau kebenaran kodrati yang tidak perlu dipertanyakan lagi.
Di sisi lain, budaya patriarki masih cukup mengakar hingga sekarang ini. Salah satu bentuknya adalah domestikasi perempuan, bahwa satu-satunya wadah atau ranah aktualisasi diri seorang ibu adalah di dalam rumah. Berbagai kasus kekerasan seksual yang kian marak akhir-akhir ini yang grafiknya justru menaik adalah salah satu bukti masih menguatnya pola pikir patriarki yang beroposisi biner; memosisikan perempuan sebagai objek (laki-laki subjek), menihilkan kemanusiaan perempuan, dan perempuan kembali menjadi korban.
Mari bersama menjadi para ibu Indonesia yang memiliki subjektivitas otonom dalam harkat dan martabat kemanusiaan yang tinggi dan mulia.