Judul: Kedai Sulap

Penulis: Lisma Laurel

Ilustrasi: Mutiara Arum

Penerbit: Shira Media

Cetak: Pertama, 2021

Tebal: iv+148 halaman

ISBN: 978-602-7760-39-4

 

Di bacaan (anak), cara memilih tokoh anak perempuan cenderung menunjukkan sikap atau keberpihakan pada emansipasi. Kepustakaan anak Indonesia lebih kuat menokohkan anak laki-laki—Aman Dt. Madjoindo punya si Doel, Mansur Samin punya si Masir, M. Kasim menciptakan Samin, dan Fran R. menggarap si Alui. Cukup mutakhir memang ada Mata—anak perempuan urban di seri petualangan Mata garapan Okky Madasari.

Kepustakaan Eropa dan Amerika lebih menonjolkan cerita-cerita bertokoh anak perempuan. Astrid Lindgren melahirkan Pippi, Frances Hodgson Burnett punya Mary, Louisa M. Ascott memberi daya pada Jo March, Lucy Maud Montgomery memiliki Anne Shirley, Lewis Caroll punya Alice, dan Roald Dahl menulis cerita Matilda yang sangat mengesankan.

Kesetaraan tetaplah aktual. Hal ini tampak dari cara sastra anak memosisikan anak-anak perempuan di tengah konflik yang akan membentuk mereka sebagai sang tokoh kunci—seorang pribadi.

Kedai Sulap (2021) yang masuk Pemenang Harapan Sayembara Cerita Anak Dewan Kesenian Jakarta 2019 ditulis oleh perempuan dan menokohkan anak perempuan—Lisma Laurel dan Lilis. Lisma Laurel memilih cara normatif membuat Lilis istimewa.

Lilis yatim piatu dan miskin tapi dialah salah satu anak yang dipilih Aeleasha—penyihir perempuan baik hati—untuk tinggal di Kedai Sulap yang menyediakan segala bentuk kebahagiaan primordial; makanan, teman, rumah, dan kebersamaan.

Lisma memilih latar perdesaan terpencil di Jawa. Tidak ada kepastian tahun. Keberadaan tokoh penyihir di sini memang tampak janggal. Geografi imajinasi lebih meruangkan penyihir di wilayah Eropa atau Amerika.

Namun, keputusan ini sepertinya mengekor pemulihan kesan penyihir “baik hati” yang dilakukan secara radikal oleh J.K. Rowling melalui serial Harry Potter. Meski secara tidak langsung ada dilema dari Lisma yang justru menjuduli buku dengan Kedai Sulap bukan Kedai Sihir misalnya.

Lilis terlalu miskin bahkan untuk mengharapkan hal sangat primordial. Tidak ada kisaran benda-benda mewah. Lisma membuat antara keinginan dan impian hanya berjarak amat tipis di kehidupan sehari ini.

Seperti misalnya saat bekerja paruh waktu di rumah Pak Lurah diceritakan, “Pak Lurah memiliki sepuluh kandang ayam. Lilis mengintip ke salah satu kandang. Ada telur di sana, terletak di atas tumpukan jerami. Lilis tidak tahu berapa jumlah telurnya.

Bocah perempuan bertubuh kurus itu tidak bisa berhitung. Tidak ada sekolah di sana. Namun, satu hal yang Lilis ketahui, dia ingin makan telur rebus. Impian itu tidak pernah kesampaian sampai sekarang.”

Tawaran menuju kedai sulap Aeleasha tentu membuat penasaran. Lilis bertekad ke sana ditemani Leha, anak Pak Lurah. Teman-teman Lilis—Sri, Paijo, Subagio, Pai, dan Ruka—tidak sengaja mengikuti.

Ternyata selain kedai sulap Aeleasha, ada kedai sulap milik Beatarisa—penyihir yang ingin menyakiti anak-anak sebagai pelampiasan ketidakbahagiaan di masa kecil; kehilangan orangtua dan diasuh bibi yang kejam. Lilis dan teman-temannya terjebak di sini.

Lilis berhasil selamat, tapi teman-temannya tidak. Hanya dengan menghancurkan kedua kedai sulap, teman-teman Lilis bisa selamat. Aeleasha diam-diam membuat sihir penghancur Kedai Sulap Beatarisa, “Bentuknya keping logam yang kubelah menjadi empat. Untuk mendapatkan keping-keping itu, ada ujian-ujian yang harus kamu lalui.”

Petualangan menemukan keping logam selayaknya ujian. Nyaris tidak ada hasrat kebendaan pada diri Lilis. Dia lugu dan setia kawan, entah ini bisa dianggap kesuksesaan altruisme di tengah kepapaan atau justru penyangkalan Lisma pada naluri anak-anak yang sering dikisari benda-benda.

Lilis bisa saja memilih abai dan hidup bahagia di kedai sulap. Menghancurkan kedai sulap berarti menghancurkan rumah bagi anak-anak senasib dengan Lilis yang telah tinggal di kedai sulap Aeleasha.

Untuk anak baru berumur sepuluh tahun, pilihan ini serumit memberikan separuh permen kepada teman. Lilis mengatakan, “Aku juga sangat menyukai tempat ini. Tapi bagaimana dengan teman-temanku di Kedai Sulap sebelah?

Kata Aeleasha, mereka baru bisa keluar dari sana setelah umur mereka 17 tahun. Namun, mereka akan menjadi gila atau bahkan lebih buruk dari itu. Kalau kalian jadi aku, bisakah kalian membiarkannya?”

Jika keberadaan penyihir justru aneh, Lisma memilih makhluk-makhluk mitologis Jawa di setiap petualangan sebagai lawan dari sikap-sifat protagonis yang harus direngkuh Lilis. Makhluk-makhluk lumayan mengesankan petualangan bersifat lokal.

Logam Keberanian membawa Lilis berhadapan dengan Banaspati dalam bentuk bara api yang melayang-layang. Lilis harus menyanyikan lagu yang menyentuh Banaspati. Logam Kejujuran bertaut dengan muslihat si Tuyul yang meminta Lilis membersihkan kuali-kuali berisi emas dan batu rubi.

Tentu Lilis tergoda dengan emas, tapi dia menahan diri tidak mengambil yang bukan miliknya. Logam Kesabaran membawa Lilis ke Istana Es dan Logam Keberanian mempertemukan Lilis dengan Buto Ijo yang akhirnya tidak selalu menjadi sosok antagonis.

Tentu dalam cerita anak, jarang ada petualangan (kebaikan) berakhir tidak bahagia. Kebahagiaan itu mutlak, hanya saja bagaimana penulis bisa dengan menawan mengajukan caranya.

Melalui tokoh Lilis, hal yang dipertentangkan terus ada untuk dipilih atau dipegang sebagai lentera hidup. Altruisme dengan egoisme, kebahagiaan diri atau kebahagiaan bersama, cukup atau serakah, berjuang atau menyerah.

Seperti dengan normal dilakukan para penulis (dewasa) cerita anak Indonesia, Lisma sangat ingin mengajukan keresahan tentang pertemanan, kebaikan hari, pengorbanan, atau kepentingan-kebahagiaan orang lain dibanding diri sendiri kepada para pembaca anak-anak.

Setiap petualangan menemukan keping logam selain tampak sebagai ujian menahan diri dari hasrat material—juga jangkar bagaimana Lilis bersikap dan menunjukkan dirinya. Lilis boleh miskin dan yatim piatu, tapi masih memiliki diri untuk menyelamatkan teman-teman.

Leave a Response