Langit Makkah seketika kelabu. Al-Haram seolah turut merasakan duka lelaki ma’shum yang tengah kehilangan pendamping, sandaran hidup sekaligus teman terbaik yang sangat dicintainya itu. Jauh sebelum kehilangan sang isteri, Khadijah al-Kubra, beliau terlebih dulu kehilangan sang kakek, Abdul Muthallib.
Kemudian disusul pamannya, Abu Thalib yang selama ini banyak memberikan dukungan dan perlindungan, akhirnya jua berpulang meninggalkannya. Tak berselang lama, Siti Khadijah, r.a pun kembali kehadirat-Nya hingga sejarah mengungkap tahun itu merupakan tahun yang sangat berat dihadapi oleh teladan sepanjang zaman, Rasulullah saw. Tahun-tahun di mana Rasulullah saw kehilangan satu demi satu orang-orang terkasih di dalam hidupnya; tahun kesedihan atau a’mu al-huzn, demikian para pakar menyebutnya.
Kehilangan orang yang disayang memang menyisakan duka yang tak kunjung padam. Tak terkecuali Rasulullah saw yang juga menjalani perannya sebagai seorang suami sekaligus amanah kenabian. Sebagai seorang suami, beliau pun sama seperti manusia pada umumnya; memiliki rasa kasih dan sayang kepada istri pertama yang sangat dicintainya. Sehingga, beliau senantiasa mengulang-ulang kalimat penuh kerinduan, mengenang segala kebaikan mendiang isterinya, “Allah tidak menganugerahkan kepadaku seorang istri sebagai pengganti yang lebih baik daripada Khadijah r.a. ia beriman kepadaku ketika orang-orang mengingkari kenabianku; ia membenarkanku ketika orang-orang mendustakan diriku; dan ia membantuku dengan harta kekayaannya ketika orang lain tidak mau memberiku, dan dari rahimnyalah Allah menganugerahkan anak-anak bagiku,”
Kalimat Rasulullah di atas membuktikan betapa besar pengaruh dan peranan Khadijah r.a dalam hidup Rasulullah baik saat-saat sebelum diangkat sebagai utusan Allah, terlebih masa-masa kritis saat dan ketika Rasulullah ditugaskan menyampaikan risalah kenabian dengan segala macam cobaan. Kisah cinta Muhammad Rasulullah dan Khadijah r.a pun memberikan teladan terbaik atas kesungguhan dan kedalaman cinta sepasang insan. Ketulusan cinta inilah yang membuat Rasulullah saw enggan berbagi hati kala Khadijah masih hidup padahal budaya Arab kala itu lazim memiliki istri lebih dari satu.
Ketulusan dan kesetiaan cinta Rasulullah saw kepada Khadijah inilah mengajarkan kita banyak teladan. Keteladanan cinta yang sepatutnya dicontoh oleh segenap umatnya. Cinta tersebut akhirnya mengejawantah melalui insan terbaik masa kini seperti cinta pelopor dirgantara Indonesia, Almarhum Bacharuddin Jusuf Habibie, kepada mendiang isterinya Ibu dr. Hasri Ainun Besari.
Jika Anda pernah menonton film Habibie Ainun, disana tergambar secara jelas bagaimana perjalanan cinta dua insan itu sejak muda belia hingga menua bahkan sampai maut memisahkan keduanya. Ketika Almarhumah Ibu Ainun wafat pada 22 Mei 2010 silam karena kanker ovarium yang dideritanya, Habibie tak henti-hentinya berada di sampingnya, menguatkan, membisikkan kata-kata romantis, memberikan dukungan moril dan materil demi kesembuhan Ibu Ainun.
Namun takdir berkata lain; cinta keduanya harus terpisah di dunia, namun tidak dengan kesucian dan ketulusannya yang selalu melekat dalam ingatan serta menjadi panutan kita semua. Ibu Ainun pun pergi meninggalkan Bapak Habibie, seperti Siti Khadijah r.a yang terlebih dulu berpulang kehadirat-Nya. Kedua raga insan itu secara fisik terpisah, namun tidak dengan cinta yang senantiasa melekat dan diingat oleh kita semua.
Sesuai dengan namanya, Habibie yang berasal dari bahasa Arab, hubb yang berarti cinta, terukir jelas dalam kisah perjalanan cinta beliau kepada Ibu Ainun. Cintanya yang begitu besar karena Ibu Ainun adalah wanita terbaik dalam hidupnya; yang setia menemani sebelum, saat dan pasca menjadi Presiden RI ketiga. Bahkan, masa-masa sulit keduanya saat di Jerman; telah berhasil dilewati keduanya. Ibu Ainun lebih memilih mengabdi di rumah karena cintanya pada sang suami, meski keinginannya untuk berkarir menjadi dokter anak pun sedemikian kuat.
Lahir di Pare-pare, 83 tahun silam, telah banyak ide-ide luar biasa yang dicetuskan almarhum selama menjabat sebagai Presiden RI ketiga. Meski tergolong menjabat dengan singkat (21 Mei1998- 20 Oktober 1999), Habibie berperan besar dalam perubahan positif dalam negeri Indonesia. Ia diamanahkan posisi tertinggi pemerintahan, dalam kondisi Indonesia yang tengah kacau balau pasca kerusuhan hebat menuntut diturunkannya Soeharto, Mei 1998 silam.
Beberapa upaya yang telah dilakukan beliau adalah memberikan kebebasan aspirasi dan berpendapat bagi seluruh rakyat Indonesia—upaya yang tidak terjadi pada masa presiden Soeharto. Kebebasan berpendapat inilah yang mendorong lahirnya puluhan partai-partai politik. Selain jasa-jasa beliau terhadap perkembangan teknologi dan dirgantara Indonesia, beliau juga sangat berjasa menyelamatkan anjloknya nilai tukar rupiah kala itu.
Semua itu dilakukan karena besarnya cinta dan pengabdian beliau pada Indonesia, tanah kelahiran dan sumber cintanya. Semoga kita mampu meneladani kegigihan Eyang Habibie dan mengambil peran demi kemajuan Indonesia tercinta— sebagai baldatun thayyibatun wa rabbun ghafu>r—negeri yang baik dan (senantiasa) dalam ampunan Tuhan. Akhiru al-kala>m, Selamat jalan Bapak Demokrasi Indonesia. Engkau adalah cinta. Engkau adalah teladan. Engkau adalah panutan.