Judul     : Pesan Perdamaian Walisongo

Penulis  : Zulham Farobi

Penerbit: Sociality

Tebal      : viii + 246 halaman

Terbit     : 2018

ISBN       : 978-602-5469-16-9

 

Kemelut perdebatan antar umat Islam kian hari memprihatinkan. Satu pihak menyalahkan pihak lainnya. Pihak yang lain tidak terima lalu balik menyerang. Kedua pihak saling tuding, saling menyalahkan dan menjatuhkan. Perbedaan dalam keberagaman yang sudah ada sejak dulu berubah menjadi kecemasan tersendiri karena tindakan generasi zaman ini cenderung merasa paling benar.

Adu argumen secara ugal-ugalan meramaikan media sosial. Di sana bisa dilihat, betapa banyak pihak yang merasa benar tapi sangat rendah etika dalam menyikapi perbedaan. Citra Islam yang ramah dan teduh semakin menjauh, karena tindakan-tindakan pihak yang katanya paling paham agama tapi tidak mampu menghargai sesamanya. Buku Pesan Perdamaian Walisongo mengingatkan kembali bagaimana Islam seharusnya.

Islam tidak akan mampu menembus Indonesia yang kaya dengan keberagaman jika Islam disampaikan dengan cara yang kaku. Islam berkembang di segala penjuru Indonesia karena zaman dahulu para wali menyampaikannya dengan prinsip kedamaian.

Walisongo tidak serta-merta menghapus ajaran Hindu-Buddha di kalangan masyarakat waktu itu. Sunan Ampel tidak pernah memaksakan unsur-unsur lama yang telah dikenal masyarakat untuk dihapuskan. Sunan Ampel justru menjadikannya sebuah sarana untuk memperkenalkan Islam. Seperti penamaan tempat ibadah yang mengambil kata sanggar menjadi langgar. Kemudian shastri menjadi santri. (hlm. 49)

Cara Sunan Ampel yang tidak pernah memaksa siapa pun mendapat empati besar dari semua kalangan. Bahkan ketika rakyat Majapahit kehilangan panutan sepeninggal Hayam Wuruk dan Gajah Mada, Kertawijaya yang belum memeluk Islam waktu itu meminta Sunan Ampel untuk memperbaiki kemerosotan moral rakyat Majapahit. Lalu dengan cara yang sangat halus Sunan Ampel mengajarkan ajaran Moh Limo (emoh main, emoh ngombe, emoh maling, emoh madat, dan emoh madon).

Islam mampu beradaptasi dengan budaya setempat. Islam tidak kaku. Cara dakwah yang tinggi toleransi dilakukan juga oleh Sunan Bonang. Nama Sunan Bonang dihubungkan dengan bonang. Bonang adalah alat musik tradisional. Bonang digunakan Sunan Bonang sebagai media untuk berdakwah.

Sunan Bonang dianggap memiliki daya seni yang luar biasa. Masyarakat tertarik untuk belajar kesenian bonang. Pada saat itulah Sunan Bonang menyisipkan syair-syair yang dibuatnya sendiri dengan menanamkan ajaran Islam pada tiap syairnya. Masyarakat mengikuti ajaran Islam tanpa dipaksa. (hlm.71)

Budaya Indonesia yang sangat beragam bukan sesuatu yang bertentangan dengan Islam. Dengan cara yang tepat para wali menggunakannya sebagai senjata dalam berdakwah. Sunan Drajat juga memiliki cara yang sama dengan Sunan Bonang yang menyampaikan ajaran Islam melalui kesenian. Dengan tembang-tembang dan gamelan, di tangan Sunan Drajat ajaran Islam tersampaikan dengan indah. Dengan kepiawaian memainkan wayang kulit, di tangan Sunan Kalijaga ajaran Islam tersampaikan dengan baik.

Membahas toleransi para wali serasa tidak ada habisnya. Sunan Kudus berusaha menanamkan ajaran toleransi beragama kepada umat Hindu-Buddha dan Islam. Sunan Kudus mencontohkan salah satu bentuk toleransi dengan menghormati sapi yang bagi umat Hindu dianggap suci. Dan hingga saat ini, masyarakat Kudus tidak menyembelih sapi saat Idul Adha, melainkan menyembelih kerbau. (hlm. 153)

Sunan Kudus juga membangun arca di delapan pancuran. Delapan pancuran ini disimbolkan dengan delapan ajaran dalam agama Buddha yang disebut dengan Asta Sanghika. Hal ini semata untuk menarik umat Buddha. Ketika umat Buddha datang, Sunan Kudus mewajibkannya untuk cuci tangan dan kaki. Ajaran itu lama-lama diajarkan Sunan Kudus menjadi wudu.

Para wali mengajarkan Islam tidak hanya berhenti pada ketauhidan. Sunan Muria yang melakukan dakwahnya di tempat pelosok, merangkul orang awam. Sunan Muria memberikan pelajaran pada masyarakat untuk bersama-sama menjaga bumi. Sunan Muria mengajarkan pada manusia untuk mengurus urusan antara diri sendiri dan Tuhan, pada sesama makhluk, juga pada alam semesta. (hlm.180)

Para wali mengajarkan Islam secara detail dan menyuluruh untuk segala aspek kehidupan. Semua ajaran Islam merujuk pada rahmatan lil ‘alamin. Rahmat bagi seluruh alam.  Keteladanan, toleransi, dan akulturasi menjadi simpul kuat perjuangan para wali. Para wali berjuang keras dengan cara yang teramat halus. Buku ini menjadi tamparan, seberapa jemawa dan apatisnya kita dalam beragama.

Leave a Response