Menyusuri jalan Lengkong Kecil di Kota Bandung, saya tertarik untuk singgah di salah satu gang yang berada di pusat kota kembang ini. Gang Ruhana nama gang tersebut. Tepatnya di RW 02 Kelurahan Paledang, Kecamatan Lengkong. Pasalnya sebelum saya memasuki gang ini, saya sudah melihat miniatur Indonesia yang penuh dengan keragaman.
Pintu masuk gang ditandai dengan gapura berwarna hijau, yang bertuliskan alamat Masjid dan Madrasah Al-Amanah yang berada di dalam gang. Tepat di samping gapura berdiri rumah ibadah umat Kristen, Gereja Pantekosta di Indonesia Lengkong Kecil (GPdI LK) yang didominasi dengan kaca, kayu, dan dinding tembok bercat putih.
Meskipun termasuk kawasan permukiman penduduk yang padat, saat saya melangkahkan kaki ke dalam gang yang dikukuhkan Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung sebagai salah satu Kampung Toleransi ini, saya tidak merasakan kesumpekan. Selain tidak adanya sampah yang berserakan di sepanjang jalan, yang biasanya ditemukan pada kawasan permukiman yang padat. Warga di sini pun berkreasi dengan menghias salah satu bagian dinding gang dengan berbagai mural.
Mulai dari mural yang mewakili beragam budaya dan agama berbeda yang ada di kawasan ini. Digambarkan dengan tiga pemuda yang namanya mengambil dari kata Toleransi yakni Tole, Ran, Sie bergandengan tangan dengan ceria dan saling peduli dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu, ada pula mural yang menjabarkan nama Gang Ruhana untuk menerangkan keadaan di tempat ini yaitu Rukun, Unggul, Hijau, Aman, Nyaman, dan Amanah.
Sementara pada bagian dinding lainnya, terdapat pemandangan yang menyejukkan mata dan memberikan udara segar. Ya, di sini berderet pot-pot yang ditanami berbagai jenis flora hias yang menambah keasrian Kampung Tolerasi, yang berjarak sekitar 850 meter dari alun-alun dan pendopo Kota Bandung.
Selain itu, jalan di dalam permukiman ini pun, dihias warga dengan bentuk kotak dan dicat berwarna hitam dan putih mirip dengan papan catur. Tak hanya itu bagian atas gang tak luput dari hiasan beragam perbedaan di tempat ini, yang menambah kesemarakan suasana permukiman. Ada lonceng yang sering menjadi salah satu hiasan dalam perayaan Natal, sarung ketupat berwarna hijau dan kuning yang selalu hadir sebagai salah satu pembungkus kuliner pada hari Raya Idul Fitri di Indonesia, lampion sebagai salah satu ragam hias dari budaya Tionghoa, dan payung yang menandakan semuanya berbaur dalam keberagaman.
Sebelum melanjutkan perjalanan, saya sempat bertemu dengan warga sekitar yang sedang beraktivitas di halaman rumah. Mereka menyapa saya dengan senyum ramah dan mempersilakan saya untuk berkeliling. Sekitar 50 meter dari pintu gang, saya sampai di rumah ibadah umat Islam yang alamatnya tertulis di gapura.
Masjid bercat cream, yang dibangun pada 2014 ini, memiliki tower, di mana pada bagian puncaknya bertuliskan lafaz Allah Swt. Dilengkapi dengan tiga pengeras suara yang mengarah ke berbagai penjuru mata angin, guna menyebarluaskan kumandang suara azan maupun pengajian.
Berhimpitan dengan bangunan masjid, saya menemukan bangunan khas Tionghoa yang didominasi cat berwarna kuning dan merah yang bagian langit-langitnya berhiaskan lampion. Pada dinding tembok pagarnya yang berbentuk atap lengkung, tertera nama rumah ibadah umat Buddha Vihara Giri Metta yang telah berdiri di lokasi ini sejak 1946. Ketiga tempat ibadah dari agama yang berbeda ini berada dalam satu deretan, sungguh suatu sikap toleransi yang wajib siapa pun tiru. Melihat keragaman yang ada di kawasan ini, memberikan inspirasi bahwa perbedaan melahirkan suatu keindahan.
Untuk menuju Kampung Toleransi di Gang Ruhana, saya menggunakan angkutan umum dari Terminal Cicaheum, yaitu menaiki bus kota rute Cicaheum Leuwipanjang dan turun di Jalan Asia Afrika, selanjutnya berjalan kaki. Sementara untuk pengunjung yang menaiki kereta api, bisa turun di Stasiun Bandung dan dilanjutkan dengan menaiki angkutan kota yang menuju Terminal Kebon Kalapa dan berhenti di perempatan Jalan Lengkong Kecil dengan Lengkong Besar.