20 September kemarin agenda Global Climate Strike—di Indonesia disebut Jeda untuk Iklim—diselenggarakan dalam rangka menyambut UN Emergency Climate Summit 23 September mendatang. Aksi turun ke jalan ini bagian dari School Strike for Climate, gerakan internasional anak-anak sekolah yang “bolos” untuk mengikuti demonstrasi mengecam pemanasan global dan perubahan iklim. Anak-anak muda ini memilih mogok sekolah dan menyuarakan permasalahan iklim global yang menyebabkan naiknya permukaan air laut, meningkatnya suhu bumi, terbakarnya hutan dan lahan. Belum lagi diperparah dengan efek dari perusahaan minyak, batu bara, dan gas.

Gerakan Jeda untuk Iklim mendunia setelah Greta Thunberg, siswi kelas 9 di Swedia, melakukan protes di depan gedung parlemen pada Agustus 2018 dengan membawa papan bertuliskan “skolstrejk för klimatet” (jeda sekolah untuk iklim). School Strike mulai terorganisasi secara internasional pada November 2018 dengan diselenggarakannya mogok bersama oleh para siswa di Australia, Polandia, Belgia, Kanada, Belanda, Jerman, Finlandia, Denmark, Jepang, Inggris, dan Amerika. Aksi ini mencapai puncak pada hari Global Climate Strike for the Future pada 15 Maret 2019 lalu dengan keikutsertaan lebih dari puluhan ribu siswa dari ratusan negara.

Di Indonesia sendiri aksi Jeda untuk Iklim 20 September kemarin diikuti ribuan pelajar, mahasiswa, dan pekerja dari 18 kota besar seperti Palembang, Aceh, Pekanbaru, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Palu, dan Kupang, dengan pusat aksi di Jakarta. Berhubung kemarin saya tidak bisa mengikuti aksi ke jalan, selemah-lemah perjuangan saya lakukan sebagai (ehm) pelajar adalah mengisi kajian tentang ekologi di kampus Islam.

Meskipun sudah menata hati agar tidak terlalu berharap pada santri terkait isu lingkungan begini, nyatanya saya tetap patah hati saat menemukan kesadaran ekologi umat masih sangat minim. Padahal di awal kajian saya sudah memancing para peserta dengan memaparkan kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kalimantan yang jelas-jelas telah membakar paru-paru dunia kita. Tetapi di tengah diskusi masih ada pertanyaan, “Kenapa kita harus membahas beginian? Bukannya masih banyak permasalahan umat yang lebih penting?”

Ditanya begitu jujur saya jadi baper mengingat Greta, si anak SMP dari negara kafir perusak bumi yang mogok sekolah demi menyadarkan orang-orang dewasa tentang masalah kerusakan lingkungan. Sementara di negara muslim rahmatan lil alamin ini seorang mahasiswa santri justru bertanya tentang pentingnya mengkaji ekologi Islam. Hmmm sedih akutu.

Saya meyakini Islam sebagai peradaban, tidak sebatas ritus peribadatan. Sebagai umat peradaban besar, seorang muslim mestinya juga peduli dengan isu-isu peradaban, termasuk permasalahan ekologi. Sayangnya saat ini harus diakui umat Islam belum banyak berperan dalam isu-isu ekologis. Bahkan beberapa negara dengan mayoritas umat Islam justru menjadi penyumbang polusi dan masalah kerusakan lingkungan terbanyak.

Padahal dalam sejarahnya peradaban Islam dibangun di atas tradisi ilmu lintas disiplin, termasuk ekologi. Ketika terjadi kekeringan dan krisis air di masa Abbasiyah, dibuatlah kanal-kanal dengan sistem irigasi canggih untuk mengalirkan air sungai Tigris dan Efrat. Umat dari masa kejayaan ini tidak hanya berdiam sebab berkeyakinan segala bencana (kekeringan, krisis air) terjadi karena ujian dari Allah sehingga solusinya adalah berdoa dan bersabar. Mereka, dengan ilmu, berusaha mengelola dan memastikan distribusi air sebagai sumber kehidupan dapat dilakukan secara adil.

Jika mau menelisik lebih lanjut, pengetahuan dan perspektif Islam tentang lingkungan bahkan “lebih ilmiah” dari konsep ekoteologi lain. Sebagai peradaban, Islam mempunyai visi transendental, visi akhirah (konsep pertanggung jawaban) sehingga peradaban yang dibangun tidak destruktif. Relasi manusia dengan alam, oleh Islam, digambarkan tidak sebagai penguasa dan objek kuasa sebagaimana perspektif antroposentrisme. Kalau menggunakan pandangan para environmentalis, konsep ekologi dalam Islam adalah apa yang mereka sebut sebagai deep ecology, bukan shallow ecology yang melihat alam hanya sebagai alat untuk pemenuh kebutuhan manusia.

Sementara dalam Islam, alam dan makhluk di dalamnya tidak diciptakan hanya untuk kepentingan pribadi tertentu. Alam bukan hanya material tanpa nilai spiritual magis. Lebih dari itu, alam merupakan tanda-tanda kebesaran yang menunjukkan realitas yang lebih tinggi. Sebab khasanah ekologi Islam meyakini ada hubungan erat antara Allah dengan lingkungan. Hubungan antara Tuhan dengan lingkungan mengacu pada hubungan struktural Tuhan sebagai Pencipta dan Pemilik lingkungan, serta hubungan fungsional Tuhan sebagai Pemelihara lingkungan. Sehingga manusia sebagai khalifatullah memiliki tanggung jawab atas kelestarian alam semesta.

Hubungan manusia dengan alam diatur melalui akhlak mereka terhadap unsur pengisi alam, baik biotik (tumbuhan, hewan) maupun abiotik (air,tanah, udara).

Sayangnya nilai-nilai semacam ini kurang popular di kalangan umat. Para cendekiawan muslim yang membahas isu ekologi sejak tahun 60-an seperti Syed Hossein Nasr dan Mawil Izzi Deen mungkin akan kecewa dengan perkembangan studi mereka yang lambat sekali. Orang-orang ramai berkata ingin hidup dalam kemuliaan ajaran Islam, tetapi seperti enggan mewujudkan nilai-nilai Islam sebagai berkah bagi seluruh alam. Sementara itu mereka yang tidak memiliki dasar ekoteologi (bahkan bertentangan) perihal perawatan Bumi justru mengisi baris terdepan dalam segenap aksi, gerakan sosial, dan kajian akademik.

Sebenarnya, kalau mau, bukan hal yang sulit untuk menurunkan ribuan pelajar muslim atau santri turun ke jalan seperti aksi-aksi umat yang pernah terjadi sebelumnya. Sungguh saya rindu bagaimana pelajar kita bisa meneriakkan sabda-sabda peringatan bagi para perusak Bumi sekaligus mengabarkan berita gembira bagi para penjaganya. Saya rindu bagaimana ayat-ayat Tuhan juga dilibatkan dalam perbincangan kepada semua golongan untuk sama-sama merawat dan meruwat Bumi yang sekarat.

Syukurlah meski belum sepenuhnya terobati, rindu itu bersambut. Menurut laporan Antara, setidaknya puluhan santri dari Pondok Pesantren Attarbiyatul Wathonitah (PATWA) Mertapada Cirebon tercatat mengikuti Jeda untuk Iklim 20 September kemarin. Ponpes ini terletak di dekat PLTU Cirebon sehingga kesadaran lingkungan yang dibangun cukup tinggi karena dampak udara tidak sehat yang dihasilkan energi tersebut. Ponpes ini bahkan sudah berkomitmen menjaga lingkungan dengan menggunakan energi bersih terbarukan (panel surya) sebagai sumber energi di mushola mereka. Masyaallah tabarakallah.

Meskipun aktivis dakwah yang meramaikan aksi Jeda untuk Iklim belum seramai aksi penjagaan moralitas bangsa, misalnya, sungguh kehadiran para santri penjaga Bumi kemarin laksana oase. Setidaknya masih ada anak-anak muda Islam yang mau memperjuangkan nasib baik Bumi meskipun paham durasi hidup Bumi sudah diatur Tuhan. Yah seperti kamu yang sedang memperjuangkannya meskipun paham betul ending cerita kalian sudah diatur-Nya. Hehe.

Leave a Response