Allah menciptakan manusia dengan tujuan untuk menjadi khalifah di muka bumi. Harapannya manusia dapat menjaga kehidupan di muka bumi, menjaga kelestarian alam, dan menjadi penegak panji-panji Islam.

Namun sayangnya, ternyata tidak sedikit manusia yang menyalahi aturan. Mereka justru merusak nilai-nilai Islam, membuat kekacauan di bumi, dan merusak ciptaan Allah.

Allah berfirman dalam QS Ar Rum ayat 41:

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Maksud Qs. Ar Rum: 41 adalah telah terlihat jelas perbuatan maksiat di darat dan lautan bumi akibat manusia melakukan perbuatan yang dilarang Allah. Pada ayat tersebut, terdapat penegasan Allah bahwa berbagai kerusakan yang terjadi di daratan dan di lautan adalah akibat perbuatan manusia.

Hal itu hendaknya disadari oleh umat manusia dan karenanya manusia harus segera menghentikan perbuatan-perbuatan yang menyebabkan timbulnya kerusakan di daratan dan di lautan dan menggantinya dengan perbuatan baik dan bermanfaat untuk kelestarian alam.

Kata “dzahara” pada mulanya berarti terjadinya sesuatu di permukaan bumi. Sehingga, karena dia di permukaan, maka menjadi tampak dan terang serta diketahui dengan jelas. Sedangkan kata “al-fasad” menurut al-Ashfahani adalah keluarnya sesuatu dari keseimbangan, baik sedikit maupun banyak. Kata ini digunakan menunjuk apa saja, baik jasmani, jiwa, maupun hal-hal lain.

Ayat di atas menyebut darat dan laut sebagai tempat terjadinya fasad itu. Ini dapat berarti daratan dan lautan menjadi arena kerusakan, yang hasilnya keseimbangan lingkungan menjadi kacau. Inilah yang mengantar sementara ulama kontemporer memahami ayat ini sebagai isyarat tentang kerusakan lingkungan.

Sebagian ulama tafsir berpendapat bahwa “laut” di sini berarti kota-kota besar atau desa-desa yang di pinggir laut. Sedangkan darat artinya kampung-kampung atau desa-desa yang terdapat di darat atau padang pasir.

Pernyataan Allah itu merupakan suatu petunjuk bahwa kerusakan itu adalah insidentil sifatnya. Sebelum ada manusia tak ada kerusakan. Tetapi berbarengan dengan adanya manusia maka kerusakan itu pun terjadi pula.

Kerusakan itu terjadi karena ulah tangan manusia itu sendiri. Manusia mengerjakan hal itu dengan kehendaknya yang bebas tanpa ada tekanan dari pihak mana pun. Karena perbuatan yang timbul dari kehendak yang bebas itu, mereka akan diminta pertanggungjawabannya kelak di kemudian hari, yang baik dibalas dengan baik dan yang jelek dibalas dengan jelek pula. Karena iradahnya itu manusia bertanggung jawab atas semua perbuatannya itu, agar dia merasakan hasil perbuatannya itu, baik atau jelek.

Perlakuan buruk sebagian manusia terhadap alam dapat menyengsarakan manusia itu sendiri. Tanah longsor, banjir, kekeringan, tata ruang daerah yang tidak karuan dan udara serta air yang tercemar adalah buah kelakuan manusia yang justru merugikan manusia dan makhluk hidup lainnya.

Islam mengajarkan agar umat manusia senantiasa menjaga lingkungan. Hal ini sering kali tercermin dalam beberapa pelaksanaan ibadah, seperti ketika menunaikan ibadah haji. Dalam haji, umat Islam dilarang menebang pohon-pohon dan membunuh binatang. Apabila larangan itu dilanggar maka ia berdosa dan diharuskan membayar denda (dam). Lebih dari itu Allah SWT melarang manusia berbuat kerusakan di muka bumi.

Tentang memelihara dan melestarikan lingkungan hidup, banyak upaya yang bisa dilakukan, seperti rehabilitasi hutan. Penyelamatan tanah dan air yang rusak juga perlu ditingkatkan lagi. Pendayagunaan daerah pantai, wilayah laut dan kawasan udara perlu dilanjutkan dan makin ditingkatkan tanpa merusak mutu dan kelestarian lingkungan hidup.

Leave a Response