Bulan September 2019 lalu, saya bertemu teman baru di Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), namanya Dini. Saat berkenalan, Dini memberi tahu bahwa ia beragama Baha’i. Ia lalu bertanya, “kamu Islamnya Nahdlatul Ulama atau Muhammadiyah?” Pertanyaan itu cukup mengagetkan. Saat itu saya memakai jilbab, Dini mungkin bingung memulai percakapan.
Saya terdiam beberapa detik. Dini turut diam. Dari matanya, saya melihat ia merasa bersalah. Maka, saya segera menjawab, “bukan dua-duanya. Aku Islam saja. Islam biasa.” Dini lalu mengangguk. “Maaf, ya. Aku taunya kalau Islam ya dua itu.” Saya pun tersenyum padanya, bermaksud menyampaikan tidak apa-apa.
Percakapan lekas usai tapi pertanyaan Dini tetap terngiang dalam pikiran. Secara kultural, saya Nahdlatul Ulama, tapi bersekolah di Muhammadiyah dan kini sedang kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ikut organisasi seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) atau Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) pun tidak. Lantaran harus bekerja, saya jadi lebih sibuk bolak-balik kosan-kantor-kampus, sekali-kali berdiskusi jika ada waktu luang.
Tanpa mengikuti organisasi masyarakat tertentu, saya jadi kurang pergaulan. Tidak berkumpul dan tidak bergerak, hanya berhasrat membaca dan berdiskusi. Meski begitu, saya kagum pada pemikiran Abdurrahman Wahid, Syafii Maarif, dan Nurcholish Madjid.
Saya mempelajari Islam dari banyak buku, beragam pemikiran para tokoh dan berdiskusi dengan teman atau orang yang lebih pintar seperti dosen dan para penulis. Saya tahu itu tak cukup dan agak mengkhawatirkan sebab saya jadi tak punya guru dan tidak mendalam untuk menguasai sesuatu. Tapi, saya nyaman berada dalam posisi ini dan merasa lebih bebas begini ketimbang harus berguru pada satu orang atau terkungkung dalam satu institusi.
Kembali pada pertanyaan Dini yang tadi: Islam apakah sebenarnya saya ini? Entahlah. Saya sendiri tidak tahu jawabannya.
Menjadi muslimah yang tak bergabung dalam organisasi masyarakat menjadi kegelisahan tersendiri. Tidak diterima di kelompok ini, ditolak di kelompok itu, bahkan pernah ditarik-tarik untuk bergabung di salah satu organisasi. Saya pun tidak mengikuti trend hijrah yang makin semarak.
Menjadi individu yang berjalan sendirian di tengah kerumunan individu-dalam-institusi membuat saya kerap bertanya, haruskah saya bergabung dengan satu organisasi saja agar bisa mendapat banyak teman dan punya lingkaran pergaulan?
Sebab, saya melihat orang-orang kerap bergabung dalam organisasi, forum atau komunitas. Saya sendiri pernah melakukannya, tapi tidak betah. Berkumpul dengan banyak orang membuat saya menjadi merasa sangat kecil terutama jika apa yang dipikirkan sama, seragam, tidak berbeda. Nyali saya jadi ciut, segala keberanian pun hilang.
Lagi pula, tak ada kewajiban bagi seorang muslimah untuk masuk ke organisasi masyarakat, bukan? Saya belum mau bergabung di salah satu organisasi. Sebab bagi saya, individu mesti sama tinggi dengan institusi.
Sejujurnya, pertanyaan dari Dini bukan kali pertama dilontarkan pada saya. Saat salat Subuh, saya tidak kunut. Nenek saya bertanya, “kamu Nahdlatul Ulama atau Muhammadiyah?”
Pertanyaan itu tidak saya jawab. Nenek pun tidak mengungkit-ungkit lagi sebab saya masih sering menghadiri pengajian dan membaca barzanji saat marhabanan. Kecuali jika saya tak menunaikan salat dan tak mengaji, Nenek pasti akan marah-marah.
Pertanyaan apakah saya Nahdlatul Ulama atau Muhammadiyah pernah juga dilontarkan oleh Ibu saya sendiri. Saat sekolah, saya melaksanakan salat Jumat. Ibu saya membolehkan tapi dengan satu syarat, mesti diganti salat Zuhur saat sudah selesai. Saya tidak melaksanakan syaratnya. Ibu menghargai keputusan saya. Sejak saat itu, saya memilih untuk tidak berorganisasi.
Sebagai seorang muslim, saat ditanya apakah Islamnya Muhammadiyah atau Nahdlatul Ulama, saya jadi merasa terganggu dan merenung panjang. Sebegitu pentingnyakah keberadaan institusi bagi individu? Tak bisakah seseorang hidup sendirian, tanpa embel-embel bergiat di mana atau diutus dari organisasi apa?
Saya tak bisa meraba, mengapa organisasi menjadi begitu penting bagi eksistensi seorang manusia? Padahal, identitas tentu tak mesti diklaim dengan nama besar organisasi. Ada karya yang bisa mengukuhkannya, atau tindakan yang dilakukan tanpa kepentingan atau berdasarkan kepentingan pribadi, bukan kepentingan kelompok.
Beranjak dari pertanyaan di atas, saya jadi memikirkan mereka yang berbeda agama, mereka yang bukan dianggap sebagai mayoritas. Tak terbayang, bagaimana perasaan mereka yang dianggap minoritas dan ditanya “kamu Islam bukan?” atau “agama kamu apa?” secara tiba-tiba.
Saya pikir, dua pertanyaan itu harus dipikir ulang untuk dilontarkan. Kecuali, mereka sendiri yang memberi tahu atau mengajak berdiskusi. Jika dua pertanyaan itu dilontarkan bahkan sejak pertemuan pertama, entahlah, butuh berapa hari bagi mereka untuk melenyapkan pertanyaan itu dari dalam pikirannya.